Pikiran Marshall terus kembali ke percakapan mereka tadi, kata-kata yang keluar dari mulut Tian, seolah-olah dia adalah orang asing. Seakan semua kenangan masa lalu mereka telah terhapus begitu saja. Marshall mengira bahwa mungkin Tian sangat membencinya begitu dalam hingga dia memutuskan untuk melupakan seluruh masa lalu mereka, termasuk dirinya.
Namun, yang paling membingungkannya adalah anak kecil yang dia lihat kemarin di toko kue itu, tapi hari ini ia tidak melihatnya. Bocah yang mirip sekali dengannya. Apakah mungkin? Apakah bocah itu adalah anaknya? Anak mereka? Marshall menggelengkan kepalanya, mencoba menyingkirkan pikiran itu. Tapi jika benar, mengapa Tian tidak menggugurkannya saja beberapa tahun yang lalu.
Pikiran ini semakin meresahkannya. Jika anak itu benar-benar miliknya, bagaimana dia bisa memperbaiki kesalahan yang telah dia buat? Marshall terus mengemudi, melewati jalan-jalan yang pernah dia kenal dengan baik, kini terasa asing membawanya semakin jauh dari toko kue itu.
Ketika dia akhirnya sampai di rumah, Marshall merasa seolah-olah dia baru saja melewati pertempuran panjang. Dia duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Perasaannya bercampur aduk antara keinginan untuk mengetahui kebenaran dan rasa takut bahwa apa yang dia temukan mungkin lebih menyakitkan daripada yang dia bayangkan.
Marshall mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindari kenyataan selamanya. Jika anak itu benar-benar anaknya. Dia harus berbicara dengan Tian lagi.
Marshall merogoh hpnya dan menghubungi sekretarisnya untuk segera mencari tahu apa yang terjadi pada Tian selama 7 tahun itu. Ia tidak bisa tinggal diam saja.
Malam itu, Marshall terjaga di tempat tidurnya, memandangi langit-langit yang gelap. Di dalam pikirannya, wajah Tian dan anak kecil itu terus muncul, menghantuinya dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dan di hatinya, ada satu perasaan yang tidak bisa dia abaikan yaitu keinginan untuk memperbaiki semua ini, untuk mengetahui kebenaran.
Seminggu kemudian, Emily yang merupakan sekretaris kepercayaannya Marshall, kembali ke kantor Marshall dengan setumpuk dokumen di tangannya dengan ekspresi serius di wajahnya. "Tuan, saya menemukan beberapa hal yang mungkin anda ingin ketahui," katanya sambil meletakkan dokumen-dokumen itu di meja Marshall
Emily membuka salah satu berkas dan mulai menjelaskan. "Saya menemukan catatan medis yang menunjukkan bahwa Krystian pernah dirawat di rumah sakit sekitar tujuh tahun yang lalu, tak lama setelah anda meninggalkan kota ini. Menurut catatan itu, dia mengalami kecelakaan dan sempat kehilangan kesadaran selama beberapa hari."
Marshall merasakan jantungnya berdegup kencang. "Kecelakaan? Apa yang terjadi padanya?"
Emily menghela napas dan membuka berkas berikutnya yang ada di tangannya. "Sebelum kecelakaan itu terjadi, Krystian diketahui sedang hamil. Tapi yang lebih mengerikan adalah bagaimana keluarganya memperlakukannya. Ayahnya, yang rupanya sudah punya calon istri keduanya, ternyata tengah mengandung seorang alpha, ayahnya memanfaatkan situasi ini untuk mengusir Tian dari rumah dan bahkan...." ucapan Emily sempat terhenti.
"Bahkan apa?" jari-jari Marshall sudah terkepal dengan erat. Sorot matanya tajam juga menakutkan.
"Bahkan ayahnya memutuskan hubungan keluarga dengannya, dengan alasan Krystian mencoreng nama baiknya karena telah hamil diluar nikah."
Marshall merasa seakan seluruh dunia runtuh di hadapannya. "Dia hamil... dan diusir oleh ayahnya? Karena aku" suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam rasa bersalah yang tiba-tiba menghantamnya. Emily mematung tidak tahu hendak melakukan apa, tapi matanya penuh simpati.
Emily, yang biasanya tegas dan profesional, tampak ragu-ragu sejenak sebelum berbicara, mengetahui bahwa apa yang akan dia sampaikan informasi yang terakhir ini mungkin akan menghancurkan bosnya lebih jauh.
"Tuan," Emily memulai dengan nada hati-hati,
"Masih ada satu informasi terakhir."
Emily menghela napas dalam sebelum melanjutkan. "Ternyata kecelakaan yang dialami oleh Krystian... bukanlah kecelakaan biasa. Berdasarkan beberapa saksi mata yang saya selidiki, kecelakaan itu sebenarnya adalah percobaan bunuh diri."
Kata-kata Emily menghantamnya dengan kekuatan yang tak pernah dia bayangkan. "Percobaan bunuh diri...?" Dia mengulang kata-kata itu, seolah-olah mencoba memahaminya, tetapi kepalanya dipenuhi oleh kekosongan dan kengerian saat membayangkannya.
Emily mengangguk pelan, suaranya hampir berbisik. "Ya, Tuan. Krystian mencoba mengakhiri hidupnya dengan melompat dari sebuah jembatan besar. Tapi untungnya, dia berhasil diselamatkan oleh seorang wanita beta yang sekarang menjadi pemilik toko kue tempat Krystian bekerja. Wanita itu kebetulan ada di tempat kejadian dan membawa Krystian ke rumah sakit tepat waktu dan kandungannya juga berhasil diselamatkan"
Marshall menundukkan kepala, tangannya gemetar. Marshall tidak bisa menahan rasa bersalah yang begitu besar menghantamnya, seperti gelombang pasang yang tak tertahankan. "Aku tidak ada di sana untuknya," gumamnya, suaranya penuh dengan penyesalan.
"Jika saja aku tidak meninggalkannya... jika aku tahu... mungkin semua ini tidak akan terjadi
Marshall memejamkan matanya, mencoba menahan air mata yang mengancam akan mengalir. Gambaran Tian, yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan, terus meneror pikirannya.
"Emily," kata Marshall setelah beberapa saat, suaranya gemetar.
"Apakah ada yang menjelaskan, mengapa dia melakukan itu?"
Emily menggeleng pelan. "Maaf, Tuan. Hanya itu yang bisa saya temukan. Saksi-saksi yang saya temui tidak tahu banyak detail, hanya yang mereka ketahui wanita beta itu menyelamatkannya dan telah merawatnya sejak saat itu."
Marshall akhirnya bangkit dari kursinya, merasakan beban berat di pundaknya yang semakin tak tertahankan. Dia berjalan ke jendela kantornya, memandang keluar dengan tatapan kosong. "Aku harus bertemu dengannya lagi," katanya, suaranya hampir tidak terdengar.
"Aku harus bicara dengannya,..dan kalau bisa, menebus semua yang telah terjadi."
Emily menatap punggung Marshall yang tampak semakin rapuh. "Jika anda membutuhkan bantuan apa pun, Tuan, saya di sini."
Marshall mengangguk, meskipun dia tidak menoleh. "Terima kasih, Emily. Tapi ini sesuatu yang harus aku lakukan sendiri. Aku sudah cukup membuat kesalahan."
Emily meninggalkan Marshall sendirian di kantornya, memberikan ruang yang dia butuhkan. Marshall terus berdiri di sana, menatap tanpa melihat, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan yang lebih pahit dari yang pernah dia bayangkan. Tidak peduli betapa sulitnya itu. Dia harus menghadapi kenyataan ini, dan dia harus menemukan cara untuk menebus kesalahannya pada Tian.
Jangan lupaaa vote yaa friendsss😍
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!