Beberapa hari setelah pertemuan yang penuh emosi itu, Marshall duduk di kantornya dengan pikiran yang masih berat. Ia tidak bisa berhenti memikirkan Tian. Bayangan wajah Tian yang penuh luka dan kemarahan terus menghantuinya. Namun, saat dia mencoba fokus pada pekerjaannya. Suara telepon yang berdering di meja membuatnya tersentak dari lamunannya. Nama ibunya terpampang di layar, membuatnya merasa sedikit cemas
Dia mengangkat telepon dengan perasaan yang bercampur aduk. “Halo, Ma.”
"Marshall, apa yang sudah kamu lakukan?” suara ibunya terdengar tajam, tanpa sapaan. Ada nada ketidaksenangan yang jelas, seolah menuntut penjelasan segera. “Mama baru saja mendapat kabar bahwa kamu memutuskan hubunganmu dengan Shion. Apa yang terjadi? Dan kenapa kamu tidak mengatakan apapun padaku?
Marshall menghela napas, mencoba mengumpulkan kekuatannya. "Ma, aku merasa hubungan itu tidak bisa dilanjutkan lagi. Ada terlalu banyak hal yang tidak sejalan di antara kami. Aku merasa itu adalah keputusan terbaik untuk kami berdua."
"Tapi Shion adalah pasangan yang sempurna untukmu!" ibunya bersikeras, nada suaranya terdengar frustasi. "Dia cerdas, berkelas, dan dari keluarga terpandang. Mengapa kamu tiba-tiba memutuskan semuanya? Apa ada orang lain yang membuatmu berubah pikiran?"
Marshall terdiam sejenak, merasakan keengganan untuk membahas Tian dengan ibunya, terutama karena ia tahu ibunya tidak akan menerima alasan itu dengan baik. "Tidak, Bu. Ini bukan tentang orang lain. Ini tentang aku dan perasaanku. Aku sudah berpikir matang-matang, dan aku yakin ini adalah jalan yang benar."
Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, ibunya menyela dengan suara yang kini terdengar lebih dingin. "Shion telah berbicara padaku, Marshall. Dia sangat terpukul oleh keputusanmu, dan dia bilang ada sesuatu yang terjadi yang kamu sembunyikan dariku. Dia bilang ada seseorang yang sedang mencoba mempengaruhimu."
Marshall menutup matanya, mencoba menahan rasa frustrasi yang mulai membuncah. "Ma, aku sudah bilang, ini bukan tentang orang lain. Ini murni keputusan pribadiku. Shion dan aku tidak cocok dan dari awal aku memang tidak menyukainya ma!"
"Marshall, kau tahu Shion adalah pilihan terbaik untukmu. Dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita, dan kau harus mempertimbangkan perasaan kami juga," kata ibunya, suaranya terdengar lebih memerintah.
Marshall mengepalkan tangannya di atas meja, merasa dorongan untuk membela keputusannya. "Ma, aku menghargai pendapatmu, tapi ini hidupku. Aku yang menjalani hubungan itu, dan aku yang tahu apa yang terbaik untuk diriku sendiri."
Ibunya terdiam beberapa saat, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk membalas. Namun, ketika dia akhirnya berbicara lagi, suaranya terdengar lebih lembut, hampir memohon. "Marshall, aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu tahu betapa aku peduli padamu. Jangan biarkan keputusan ini menjadi sesuatu yang akan kau sesali nanti."
Marshall merasa darahnya mendidih, tapi ia menahan diri untuk tidak meledak. Di ujung telepon, ibunya terdiam lama, sebelum akhirnya berkata dengan nada getir, "Shion hanya ingin yang terbaik untukmu. Jangan biarkan dia tersakiti tanpa alasan, Marshall. Ingat, kau tidak bisa bermain-main dengan kehidupan orang lain tanpa konsekuensi."
Marshall menutup matanya, merasa pusing dengan pembicaraan yang tidak berujung ini. "Ma, aku sudah memutuskan. Tolong, hormati itu."
Dengan itu, telepon terputus, meninggalkan Marshall duduk sendirian dalam ruangannya yang kini terasa semakin sunyi. Dia tahu ibunya akan mencoba segala cara untuk memperbaiki hubungan dengan Shion, dan itu membuatnya semakin yakin bahwa keputusannya adalah yang tepat.
Malamnya, Marshall menemukan dirinya di sebuah klub malam yang gemerlap, di sudut kota yang selalu berhasil menariknya ketika dia ingin melarikan diri dari kenyataan. Lampu-lampu neon berkilauan, mengisi udara dengan warna-warna cerah yang menyilaukan mata, sementara musik yang berdentum keras menyelimuti setiap sudut ruangan, menenggelamkan pikiran-pikiran gelap yang sejak tadi mengganggu benaknya. Dengan gelas berisi alkohol di tangan, Marshall mencoba menenggelamkan rasa bersalah dan kebingungan yang terus menghantui sejak percakapannya dengan sang ibu.
Di sekelilingnya, orang-orang menari dengan liar, saling bercampur dalam riuh rendah suasana malam itu. Marshall hanya duduk di bar, meneguk minuman yang terasa semakin pahit di lidahnya, mencoba menghilangkan perasaan hampa yang terus merayap.
Tak lama kemudian, seorang omega yang ramping dengan mata menggoda dan senyum penuh arti mendekat ke arahnya. Omega itu tampak berpengalaman, langkahnya penuh percaya diri saat mendekat, mengenakan setelan yang pas di tubuhnya dan memancarkan feromon manis yang langsung menyelimuti Marshall seperti kabut yang menenangkan. Feromon itu mengalir pelan, menggelitik hidung Marshall, merasuk dalam kesadarannya yang mulai kabur karena alkohol.
"Hai," sapa omega itu dengan suara yang lembut, hampir mendesah. Ia bersandar di bar, wajahnya mendekat ke arah Marshall. "Kau terlihat seperti sedang membutuhkan teman malam ini."
Marshall mengangkat pandangannya, matanya yang setengah tertutup memandang omega itu dengan rasa penasaran yang samar. Mungkin, pikirnya ini yang dia butuhkan yaitu pelarian sementara, sesuatu yang bisa membantunya melupakan semua masalah. "Mungkin," jawabnya pendek, lalu mengangkat gelasnya lagi dan meneguk sisa minumannya.
Omega itu tersenyum tipis, merasakan bahwa Marshall sedang rentan, dan itu adalah kesempatan yang tak bisa dilewatkan. "Aku bisa jadi teman yang sangat baik," katanya dengan nada penuh godaan, lalu mendekatkan tubuhnya ke Marshall, membuat feromonnya semakin kental di udara.
Feromon itu menembus batas pertahanan Marshall yang sudah rapuh karena alkohol. Perasaan hangat dan rasa butuh yang kuat mulai menguasai pikirannya. Dia menatap omega itu sekali lagi, kali ini dengan mata yang lebih liar dan kosong, seperti seseorang yang terperangkap dalam kebingungan dan putus asa. "Mungkin kita bisa pergi ke tempat yang lebih... tenang," ucap Marshall akhirnya, suaranya sedikit serak karena minuman.
Omega itu mengangguk, matanya berbinar puas. "Aku tahu tempat yang sempurna," balasnya, lalu menggandeng tangan Marshall, menariknya perlahan dari bar. Mereka berjalan melewati kerumunan orang yang menari, menuju pintu keluar klub malam yang sibuk. Di luar, malam terasa dingin, tapi feromon yang memenuhi udara di antara mereka membuat setiap hembusan napas terasa hangat dan menggoda.
Tak lama, mereka sampai di sebuah hotel yang berada tidak jauh dari klub itu. Hotel itu tidak mewah, tapi cukup nyaman untuk pertemuan singkat seperti ini. Marshall tidak berpikir panjang, tidak memedulikan sekelilingnya atau apapun yang mungkin terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah dorongan untuk menghilang, untuk melupakan semuanya.
Mereka memasuki kamar dengan pintu yang segera ditutup di belakang mereka. Omega itu segera mendekat, menarik Marshall ke dalam pelukan hangatnya, dengan senyuman yang penuh misteri dan niat tersembunyi. Feromon manisnya semakin kuat, semakin mengaburkan pikiran Marshall yang sudah setengah mabuk.
Dalam keremangan kamar hotel, Marshall merasakan kekosongan di dalam dirinya. Mungkin untuk malam ini dia memilih untuk menyerah, membiarkan diri larut dalam pelarian yang menyakitkan, berharap mungkin besok pagi semua beban itu akan hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!