Bagian 34 [Tragedi]

6.9K 495 6
                                    

Saat omega itu mulai mendekatkan tubuhnya, menggoda Marshall dengan cara menyentuh di bagian sensitifnya dan melepaskan feromonnya yang memabukkan, tiba-tiba saja bayangan wajah Tian melintas di benaknya. Marshall teringat tatapan penuh kemarahan dan kesedihan Tian ketika ia terakhir kali melihatnya di toko kue. Wajah itu menyelinap ke dalam pikirannya seperti angin dingin yang menyapu seluruh tubuhnya, membangkitkan perasaan bersalah yang sempat ia abaikan.

Detik itu, rasa mual menyerangnya dengan cepat. Marshall merasa seperti tenggelam dalam penyesalan yang mendalam, teringat bagaimana Tian memandangnya dengan mata yang penuh luka, meminta jawaban yang tak bisa ia berikan. Marshall teringat bagaimana Tian memarahi dan menyuruhnya pergi, mengungkit betapa sulitnya hidup yang harus dijalani seorang diri selama bertahun-tahun, sementara Marshall sebagai ayah dari anaknya tak pernah muncul untuk membantunya. Perasaan hampa yang tadi coba ia tutupi dengan alkohol dan pelarian ini kini muncul kembali.

Tanpa berpikir panjang, Marshall tiba-tiba mendorong omega itu menjauh darinya dengan kekuatan yang mengejutkan. Omega itu terhuyung, kehilangan keseimbangan, lalu terjatuh ke lantai dengan suara berdebum yang keras. Omega itu menatapnya dengan pandangan terkejut dan terluka, tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.

"Keluar!" seru Marshall dengan suara keras dan kasar, penuh dengan emosi yang mendadak membuncah. Dadanya terasa sesak, campuran antara marah pada dirinya sendiri dan kebingungan atas perasaan yang kini menguasai pikirannya. "Pergi dari sini sekarang juga!"

Omega itu, yang masih terkejut dengan perlakuan tiba-tiba Marshall, hanya bisa mengangguk ketakutan. Dengan cepat, ia bangkit dan meraih pakaiannya yang berserakan di lantai, tidak ingin berlama-lama di sana. Marshall memalingkan wajahnya, tidak ingin melihat omega itu. Baru saja dia hampir kehilangan kendali gara-gara feromon omega itu.

Marshall terduduk di tepi tempat tidur, merasa hampa dan lelah. Jantungnya berdebar keras, masih terpengaruh oleh kemarahan yang mendadak muncul. Namun, kali ini kemarahannya tidak diarahkan pada siapapun selain dirinya sendiri.

"Apa yang aku lakukan?" gumamnya dengan suara penuh penyesalan, menyadari betapa rendah dirinya telah jatuh.

Marshall menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa malu pada dirinya sendiri. Ia tahu bahwa yang dia lakukan barusan adalah pelarian bodoh yang tidak akan menyelesaikan apapun. Hanya akan menambah lapisan baru pada penyesalan yang sudah menumpuk dalam hidupnya.

Marshall merogoh ponsel di sakunya, ia mencoba menghubungi Tian namun Tian tidak menjawab panggilannya dan Pesan-pesan yang ia kirim tidak pernah mendapat balasan.

Tanpa memikirkan konsekuensinya, Marshall bangkit dari tempat tidur, meraih kunci mobilnya, dan keluar dari kamar hotel. Hujan turun dengan deras di luar, membasahi jalanan yang gelap. Angin malam berhembus kencang, seolah berusaha menghentikannya, namun Marshall tidak peduli. Kepalanya masih berputar karena alkohol, namun dia benar-benar ingin bertemu dengan Tian saat ini juga.

Dia masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. Wiper kaca depan bergerak cepat, mencoba membersihkan air hujan yang terus menerus mengaburkan pandangannya, namun itu tidak cukup. Jalanan basah dan licin, membuat setiap manuver yang Marshall lakukan menjadi lebih berbahaya. Tapi semua itu tidak penting baginya saat ini.

Saat mobil melaju di tengah hujan deras, Marshall merasa kepalanya semakin berat, pandangannya buram. Suara dentuman hujan di atap mobil seolah menjadi latar belakang yang menakutkan, menggema di dalam ruang sempit itu. Jalanan tampak seperti bayangan yang samar, lampu-lampu jalan memancarkan cahaya yang terdistorsi, membuatnya semakin sulit berkonsentrasi. Meski keadaan semakin buruk, Marshall tidak berhenti.

Marshall merasakan dunia seakan berputar cepat di sekelilingnya, pandangannya semakin kabur, dan suara dentuman keras terdengar sebelum segalanya menjadi gelap. Dalam detik-detik terakhir sebelum semuanya memudar, satu pikiran terlintas di benaknya yaitu Tian.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang