Saat menunggu panggilannya tersambung, Tian terus memanggil nama Marshall, berharap ada sedikit respons darinya. Tapi Marshall tetap diam, wajahnya terlihat tenang meski darah masih mengalir pelan dari lukanya. Pemandangan itu membuat Tian merasa semakin bersalah.
Akhirnya setelah sekian lamanya operator di ujung sana mengangkat panggilannya, dan Tian mulai terbata-bata menjelaskan situasinya. Ia memohon mereka untuk segera datang, suaranya terdengar putus asa dan panik. Ketika ia menutup telepon, Tian kembali ke sisi Marshall, menggenggam tangannya erat-erat, seolah takut jika ia melepaskan, Marshall akan pergi untuk selamanya.
Sambil menunggu ambulans datang, Tian tidak bisa menahan air mata yang terus mengalir. Di tengah derasnya hujan dan gemetar tubuh yang tak terkendali, Tian merasakan kilatan ingatan yang tiba-tiba menyeruak dari masa lalunya. Perasaan takut yang menggigit ini bukanlah hal baru, ada sesuatu yang sangat familiar tentangnya, sesuatu yang pernah ia rasakan bertahun-tahun yang lalu. Hatinya berdebar semakin kencang, seolah mengingatkan pada saat-saat sebelum ia membuat keputusan paling gelap dalam hidupnya.
Waktu itu, Tian berdiri di tepi jembatan, menatap ke dalam kegelapan yang dalam di bawahnya. Hatinya dipenuhi dengan putus asa, kesedihan, dan rasa takut yang mencekam. Ia takut pada apa yang akan datang, takut pada apa yang akan ia tinggalkan, namun lebih dari segalanya, ia takut pada rasa sakit yang tidak pernah berhenti. Itu adalah rasa takut yang begitu kuat hingga merasuki setiap inci dirinya, mengaburkan penilaian dan membutakan mata hatinya.
Sekarang, di tengah malam yang gelap dan dingin ini, perasaan itu kembali menghantuinya. Ketakutan yang sama, keputusasaan yang sama. Namun kali ini, ketakutan itu bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi itu juga untuk Marshall.
Saat ia menggenggam tangan Marshall yang dingin, kenangan-kenangan itu semakin jelas. Detik-detik sebelum ia melompat dari jembatan, ia memikirkan semua yang ia tinggalkan, termasuk Marshall. Ia ingat bagaimana rasanya ketika tubuhnya terjun ke dalam air yang membekukan, dan bagaimana perasaan takut itu berubah menjadi kepasrahan saat air mulai menenggelamkan dirinya. Namun, entah bagaimana, ia selamat dari itu dan di sinilah ia sekarang, menghadapi ketakutan yang sama, namun dengan keberanian yang berbeda.
Ketika suara sirene ambulans akhirnya terdengar semakin mendekat, Tian merasakan seberkas lega yang begitu besar. Ia tetap menggenggam tangan Marshall, mengabaikan dinginnya hujan yang terus-menerus mengguyur tubuh mereka. Ketika para paramedis tiba dan mulai melakukan pemeriksaan, Tian berusaha untuk tetap tenang meskipun hatinya terasa ingin pecah. Mereka bergerak cepat, menempatkan Marshall di tandu dan segera membawanya ke ambulans. Tian tidak mau melepaskan tangan Marshall sampai akhirnya seorang paramedis memintanya untuk memberi ruang.
Tian mengikuti ambulans dari belakang dengan mobilnya, jalanan yang licin tak lagi menjadi penghalang. Seluruh pikirannya hanya tertuju pada satu hal yaitu memastikan Marshall selamat. Ketika mereka tiba di rumah sakit, Marshall langsung dibawa ke ruang gawat darurat. Tian berdiri di sana, basah kuyup dan kedinginan, namun ia tidak memedulikannya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan, dan ia hanya bisa berharap semuanya akan baik-baik saja.
Beberapa saat kemudian, pintu ruang gawat darurat terbuka, dan seorang dokter keluar menghampirinya. “Luka di kepalanya cukup dalam, tapi dia akan baik-baik saja setelah dijahit,” kata dokter itu, berusaha menenangkan Tian. Meskipun berita itu memberikan sedikit ketenangan, kecemasan di hati Tian masih belum sepenuhnya reda. Ia merasa ada beban berat di dadanya yang belum bisa ia lepaskan.
Namun sebelum ia bisa sepenuhnya tenang, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari ujung lorong. Tian menoleh dan melihat seorang wanita yang tidak asing begitu mirip dengan wajah Marshall, wajahnya penuh dengan kepanikan, berlari ke arahnya. Itu adalah ibu Marshall, didampingi oleh Shion yang tampak tak kalah cemas. Ibunya tiba setelah mendapatkan panggilan dari rumah sakit bahwa anak laki-lakinya telah mengalami kecelakaan.
Wanita itu langsung menghampiri Tian, matanya yang dipenuhi kecemasan dan kekhawatiran menatapnya tajam. "Apa yang terjadi? Di mana Marshall?" tanyanya dengan suara yang penuh dengan kegelisahan.
Tian membuka mulutnya, mencoba menjelaskan situasi, tetapi suaranya tercekik di tenggorokannya. Ia hanya bisa mengangguk ke arah pintu ruang gawat darurat, masih berusaha mengendalikan perasaannya yang campur aduk. Ibu Marshall tidak menunggu lebih lama, ia langsung melangkah menuju pintu, siap untuk masuk dan menemui anaknya. Shion, yang sejak tadi berdiri diam di samping ibu Marshall, melirik ke arah Tian dengan ekspresi yang sulit dibaca.
Ada kilatan sesuatu di mata Shion, sesuatu yang Tian tidak bisa pahami. Apakah itu kecurigaan? Rasa bersalah? Atau mungkin… kebencian? Tian tidak bisa memastikan, tetapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Sebelum Tian sempat berpikir lebih jauh, Shion pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata, mengikuti ibu Marshall ke dalam ruang gawat darurat.
Tian hanya bisa berdiri di lorong rumah sakit itu, sendirian. Ia merasa seperti orang luar dalam momen yang seharusnya menjadi miliknya. Meskipun dia yang menemukan Marshall, meskipun dia yang berada di samping Marshall ketika kecelakaan itu terjadi, pada akhirnya, dia tetap merasa asing di dunia yang kini dikelilingi oleh orang-orang yang sebenarnya lebih dekat dengan Marshall.
Hatinya terasa berat saat dia memutuskan untuk duduk di kursi tunggu. Beberapa menit berlalu, dan setiap detik semakin memperkuat rasa cemasnya.
Ketika pintu ruang gawat darurat kembali terbuka dan ibu Marshall keluar dengan wajah yang sedikit lebih tenang, Tian mendekat. "Maaf tante, bagaimana keadaannya?" tanyanya pelan, berusaha menahan gemetar di suaranya.
“Marshall masih pingsan, tapi dokter bilang dia akan segera sadar. Kepalanya dijahit, dan mereka akan mengawasinya untuk sementara waktu,” jawab ibu Marshall dengan nada yang lebih lembut, meskipun masih ada kekhawatiran di setiap nada suaranya.
Ibu Marshall memandang Tian dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada campuran kelelahan, kekhawatiran, dan sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat Tian merasa tidak nyaman. Setelah beberapa saat keheningan yang berlalu, wanita itu akhirnya berbicara dengan suara yang lembut tapi tegas. "Saya sudah dengar semuanya dari Shion dan saya juga tahu kamu begitu peduli pada Marshall. Tapi... apa yang terjadi malam ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.” Ibu Marshall berhenti sejenak, seolah-olah sedang memilih kata-katanya dengan hati-hati.
"Shion mengatakan Marshall berubah beberapa hari ini sejak bertemu denganmu. Dia menjadi lebih pendiam, sering pergi sendiri, dan bahkan mengabaikan pekerjaannya. Shion khawatir, dan sekarang setelah kecelakaan ini... saya juga khawatir.” Nada suara ibu Marshall penuh dengan kesedihan, tapi ada juga rasa tanggung jawab yang kental.
Tian terdiam, mencoba menahan rasa bersalah yang merayap di hatinya. Benarkah dia yang menyebabkan semua ini? dan mungkinkah Marshall begitu terganggu karenanya hingga kecelakaan ini terjadi?
"Marshall... dia adalah anakku satu-satunya. Saya tidak ingin melihatnya menderita. Saya hanya ingin dia bahagia. Jadi, jangan biarkan dia terjebak dalam perasaan yang mungkin akan menyakitinya lebih dalam lagi.” Ibu Marshall meletakkan tangan di bahu Tian, memberikan tekanan lembut namun bermakna.
Tian menunduk, merasakan betapa beratnya beban kata-kata itu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Seluruh kejadian malam ini, kecelakaan, ingatannya yang samar-samar mulai kembali, dan kini nasihat dari ibu Marshall, semuanya seperti menambah beban di pundaknya yang sudah rapuh.
Tian menghela napas panjang, mencoba merangkai pikirannya. “Sebagai gantinya aku tidak akan bertemu dengannya lagi” akhirnya dia berkata, meskipun suaranya terdengar lemah.
Ibu Marshall tersenyum kecil, meskipun kesedihan masih tergurat di wajahnya. “Itulah yang saya harapkan. Saya hanya ingin yang terbaik untuk anak saya. Semoga kamu menepati janjimu! jangan ganggu anak saya mulai detik ini juga!”
Saat ibu Marshall berjalan kembali ke ruang rawat, Tian tetap berdiri di lorong, hatinya benar-benar diliputi perasaan sedih yang sangat mendalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!