Alangkah indahnya jika sebelum baca votee dulu kawan😌
Marshall kembali ke kantornya dengan hati yang sangat senang, karena ia merasa puas berhasil mendapatkan nomor telepon Tian, hal ini merupakan langkah awalnya untuk mendekatkan dirinya lagi pada Tian.
Saat pintu ruangannya terbuka, Marshall sedikit terperanjat saat melihat kekasihnya yaitu Shion duduk di kursinya, wajahnya menunjukkan ketidaksabaran dan kekesalan yang tak bisa disembunyikan. "Marshall," suara Shion terdengar tegas, penuh kekecewaan yang tak dapat disamarkan, "mengapa beberapa hari ini kamu begitu sulit ditemui? Setiap kali aku mencoba menghubungimu, kamu selalu sibuk atau tidak menjawab. Bahkan, ketika aku ingin menjemputmu pulang kerja, kamu sudah pulang duluan."
Marshall menarik napas dalam, mencoba menenangkan badai kecil yang mulai berkecamuk di dalam dirinya. "Maafkan aku, Shion," katanya lembut, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Aku hanya banyak pekerjaan yang harus diurus belakangan ini. Ada banyak hal yang perlu diselesaikan."
Shion tidak bisa begitu saja menerima jawaban itu. "Aku mengerti kamu sibuk Sayang, tapi ini berbeda. Rasanya seperti kamu sedang menghindariku dan mengabaikanku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa ada yang kamu sembunyikan dariku?" Tatapan Shion tajam, seakan mencari setiap celah di wajah Marshall, berharap menemukan kebenaran yang tersembunyi.
Marshall merasakan tekanan dari pertanyaan Shion, tapi dia tak bisa mengungkapkan segalanya, setidaknya belum. "Tidak ada yang aku sembunyikan, Shion. Kamu hanya terlalu sensitif. Aku benar-benar hanya sibuk dengan urusan pekerjaan, itu saja,"
Perkataan itu tak berhasil menenangkan Shion. "Marshall," suaranya kini lebih pelan, namun tak kalah dalamnya dengan kekecewaan, "aku sudah cukup lama bersamamu, aku tahu ketika ada sesuatu yang tidak beres. Kamu bisa berusaha menyembunyikan apapun, tapi aku tahu ada yang berubah." Shion berbicara dengan suara yang lebih pelan, namun tetap tak bisa menyembunyikan rasa sakit yang mengiringi kata-katanya.
Shion mendekat, berdiri tepat di hadapan Marshall. Tatapannya tajam, penuh dengan campuran kemarahan dan kekecewaan yang sulit diabaikan. "Aku tidak akan memaksamu untuk memberitahuku Marsh. Tapi tolong, jangan seperti ini lagi."
Marshall menatap Shion, ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Seandainya dia bisa menjelaskan semuanya, tapi dia tahu bahwa mengungkapkan terlalu banyak akan membawa lebih banyak masalah. "Baiklah" ujarnya ragu
Shion menghela napas panjang, menyadari bahwa dia takkan mendapatkan jawaban yang diinginkannya. "Baiklah, Marsh. Tapi ingat, aku di sini untukmu. Jangan tinggalkan dan abaikan aku meskipun apapun yang sedang terjadi."
Marshall mengangguk, meskipun di dalam hatinya ada perasaan bersalah yang semakin membesar. Ia bingung harus bagaimana, Shion adalah orang yang sangat dicintai oleh ibunya, ia ingin mengakhiri hubungan dengannya tapi ia tau ibunya pasti akan menentangnya. Apalagi keluarga nya dan keluarga Shion sudah membicarakan soal pertunangan yang mungkin akan diadakan pada tahun ini. Awalnya ia baik-baik saja meskipun ada keraguan didalam hatinya, namun beberapa hari ini sejak kemunculan Tian, Marshall merasa ia harus segera mengakhiri semuanya sebelum terlambat.
Shion menatap Marshall sekali lagi, berharap bisa menemukan jawaban yang tersembunyi di balik matanya. Tapi ketika dia tak menemukan apa-apa, dia memutuskan untuk pergi, meninggalkan Marshall sendirian dengan pikirannya. "Aku percaya padamu, Marshall. Tapi jangan biarkan kepercayaan itu sia-sia."
Setelah pintu tertutup di belakang Shion, Marshall menghela napas panjang, duduk di kursinya dengan perasaan yang tak karuan.
Shion tidak bisa tenang setelah percakapan di kantor itu. Sesuatu dalam sikap Marshall dan cara dia menghindari pertanyaan dan jawaban-jawaban yang terdengar tak tulus membuat Shion semakin curiga. Tidak ingin tinggal diam, Shion memutuskan untuk mencari tahu sendiri apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia tahu bahwa Marshall tidak akan memberitahunya dengan sukarela, jadi dia harus menemukan jawabannya dengan caranya sendiri.
Dia mulai dengan hal-hal kecil seperti log panggilan, pesan-pesan yang masuk, dan catatan jadwal Marshall. Shion tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan pada awalnya, tapi ada satu hal yang menarik perhatiannya beberapa hari terakhir, Shion mendengar dari karyawan di perusahaan Marshall, bahwa bosnya sering mengunjungi sebuah toko kue kecil di pinggiran kota terkadang di jam kerja, jam istirahat maupun pulang kerja. Shion menyadari toko kue itu adalah tempat yang sebelumnya pernah mereka kunjungi bersama.
Toko kue itu? Kenapa Marshall sering ke sana? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di benaknya. Shion memutuskan untuk mengambil langkah berikutnya. Dia perlu melihat sendiri apa yang terjadi di tempat itu. Keesokan harinya, Shion mengambil cuti di kantornya untuk tidak masuk, dengan alasan kesehatan. Dia sudah bertekad untuk mengikuti Marshall saat jam makan siangnya, melihat apa yang membuat kekasihnya begitu sering pergi ke toko kue itu.
Saat Shion sampai di toko kue yang dimaksud, dia tidak masuk. Sebaliknya, dia memilih untuk duduk di dalam mobil, memperhatikan dari kejauhan. Dia tahu bahwa terlalu cepat masuk bisa membuat Marshall curiga jika dia kebetulan ada di sana. Dia ingin mengamati dulu, memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Beberapa saat kemudian, Shion melihatnya, yaitu Marshall keluar dari mobilnya dan masuk ke toko kue itu dengan langkah yang tenang namun pasti. Raut wajahnya terlihat berseri dan bersinar seolah-olah ada orang penting yang hendak ditemuinya. Shion tetap berada di tempatnya, menunggu Marshall keluar kembali. Setelah hampir satu jam, Marshall akhirnya keluar dari toko, terlihat santai namun ada senyum tipis di wajahnya yang tidak biasa. Itu membuat Shion semakin penasaran.
Begitu Marshall pergi, Shion memutuskan untuk masuk ke toko itu. Dia harus melihat sendiri siapa atau apa yang membuat Marshall begitu tertarik datang ke sana. Ketika dia melangkah masuk, aroma manis dari kue-kue segar segera menyambutnya, tetapi matanya segera tertuju pada seorang pria muda yang berada di belakang kasir. Shion merasa ada sesuatu yang berbeda tentang pria itu sesuatu yang entah bagaimana membuat hatinya tak tenang.
"Tian, apakah ada yang bisa saya bantu?" suara lembut wanita dari belakang kasir itu membuat Shion tersadar. Wanita itu tampaknya adalah pemilik toko dilihat dari seragamnya yang tampak berbeda, pemilik toko itu senyumnya ramah. Tetapi nama yang disebutkannya "Tian" segera menarik perhatian Shion. Pria itu, Tian, mendongak dan tersenyum sopan, tetapi di balik senyumnya ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Shion tertegun "Tian" nama itu tiba-tiba terasa familiar, meskipun dia tidak bisa mengingat dari mana. Dia memutuskan untuk memesan sesuatu, hanya untuk alasan tetap di sana lebih lama. Saat Tian menyiapkan pesanannya, Shion memperhatikannya dengan seksama setiap gerakan dan setiap ekspresinya.
Tian dengan sendirinya yang mengantarkan makanan keatas meja Shion.
"Terima kasih" ujar Shion dengan raut wajah datarnya.Shion sedikit kesal, apakah selama ini Marshall kemari untuk bertemu dengan omega itu, atau si pemilik toko? Untuk menemukan jawabannya ia harus menyelidiki diam-diam Marshall mulai sekarang.
"Marshall adalah milikku! aku tidak akan mengizinkan siapapun untuk merebutnya dariku." batinnya berkata
Ketika Shion akhirnya keluar dari toko itu, pikirannya penuh dengan kecurigaan. Dia harus berhati-hati mulai sekarang, karena apa yang dia lakukan sekarang mungkin bisa menghancurkan hubungannya dengan Marshall mengingat Marshall tidak menyukai orang-orang yang ikut campur dalam urusannya. Namun, Shion juga tahu bahwa dia tidak bisa berhenti sekarang. Dia akan menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!