Saat malam semakin larut, Marshall duduk sendirian di kantornya, memandangi berkas-berkas yang seharusnya dia selesaikan. Namun, pikirannya berada jauh dari pekerjaannya. Ia mengingat percakapan terakhirnya dengan ibunya, ketika ia memutuskan untuk mengikuti keinginan keluarga untuk menjalin hubungan dengan seseorang yang dianggap cocok. Tapi kini, dia merasakan dorongan kuat untuk mengambil keputusan sendiri, meski itu berarti melawan keinginan ibunya.
Marshall tahu betul bahwa ibunya tidak akan menyetujui jika dia memutuskan hubungannya dengan Shion, terutama karena Shion adalah pasangan yang dianggap sempurna dalam pandangan keluarganya. Tapi dia juga tahu bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa dibeli dengan persetujuan atau status sosial. Selama ini, dia hanya menjalani hidup sesuai dengan ekspektasi orang lain, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin memilih jalannya sendiri tanpa dipengaruhi oleh siapapun, bahkan oleh keluarganya.
Keesokan paginya, Marshall bangun dengan tekad yang baru. Dia tahu bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi, tapi dia siap untuk menghadapinya. Marshall mengunjungi secara pribadi ke perusahaannya Shion, saat Marshall masuk ke kantornya dengan raut wajah datarnya, Shion tahu sesuatu yang buruk mungkin akan terjadi.
"Shion, kita perlu bicara," ucap Marshall dengan suara yang mantap. Shion menatapnya dengan tatapan yang penuh tanda tanya, tapi ada juga rasa khawatir di matanya. "Aku sudah memikirkannya matang-matang, dan aku harus jujur padamu dan pada diriku sendiri. Hubungan kita... aku rasa ini tidak bisa dilanjutkan lagi."
Shion membeku, tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Apa maksudmu, Marshall? Kau ingin putus denganku?" suaranya bergetar, menahan emosi yang siap meledak.
Marshall mengangguk "aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, kini aku sadar aku menyukai Tian lebih dari siapapun, dan mulai sekarang aku akan memperhatikannya dan juga putraku."
"Dan aku tidak ingin menyakiti dirimu lebih jauh. Diluar sana masih banyak alpha yang lebih baik dariku jadi aku harap kau menemukan satu diantara mereka."
Shion merasakan dunia di sekitarnya runtuh. "Apakah selama 3 tahun ini tidak berarti apapun untukmu sampai-sampai kau mengucapkan kata putus dengan mudahnya seperti ini."
"aku tidak akan pernah melepaskanmu begitu saja, Marshall!" serunya, suaranya penuh dengan rasa putus asa.
Air mata mulai mengalir di pipi Shion. "Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Marshall. Kita sudah bersama begitu lama. Kau tidak bisa hanya pergi begitu saja!"
Marshall menghela napas, merasakan beban keputusan ini sepenuhnya. "Maafkan aku."
Shion tidak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya ada air mata yang mengalir deras, menggambarkan perasaan hancur yang dia rasakan di dalam hatinya. Dia ingin marah, ingin berteriak, tapi yang tersisa hanya rasa kehilangan yang mendalam.
Marshall kemudian meninggalkan ruangan itu dengan hati yang berat, tapi juga dengan perasaan lega. Dia berjalan keluar dari kantornya, menghirup udara segar yang seolah membawa kebebasan baru baginya. Masa depannya mungkin penuh dengan ketidakpastian, tapi untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa dia berjalan di jalan yang benar jalan yang dia pilih sendiri.
Untuk menenangkan perasaannya, Marshall ingin mengunjungi Tian dan bertemu dengannya. ketika Marshall melangkah masuk ke toko kue, aroma manis roti yang baru dipanggang menyambutnya dengan hangat. Di sudut ruangan, Marcel, yaitu putranya tengah bermain dengan mainan yang terbuat dari kayu di meja kecil dekat jendela. Marshall tersenyum lembut, merasa hatinya dipenuhi oleh kehangatan yang tak tergambarkan. Anak itu adalah darah dagingnya, sesuatu yang menjadi rahasia yang ia simpan rapat-rapat dalam benaknya.
Dengan langkah tenang, Marshall menghampiri Marcel. "Paman datang lagi," teriak Marcel dengan nada riang, mencoba menutupi perasaan yang sebenarnya bergelora di dalam dirinya.
Marcel mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. "Paman! Lihat, aku sedang membuat menara," ujarnya sambil menunjuk susunan balok-balok kayu yang hampir roboh.
Marshall tertawa kecil dan duduk di sebelah Marcel, mulai membantu memperkuat menara kecil itu. "Kau pintar sekali, Marcel. Menara ini hampir setinggi dirimu!"
Marcel tertawa, dan suara tawa itu menggema dalam hati Marshall, mengisi kekosongan yang selama ini ia rasakan. Ia sangat ingin memberitahu anak itu bahwa ia adalah ayahnya, bahwa mereka memiliki ikatan yang lebih dari sekadar pertemuan singkat di toko kue ini. Namun, rahasia itu masih terlalu berat untuk diungkapkan, terutama ketika Tian belum tahu apa-apa.
Saat mereka asyik bermain, Tian muncul dari dapur dengan tatapan bingung. Dia memandangi Marshall yang terlihat begitu akrab dengan Marcel.
"Marshall," panggil Tian, suaranya sedikit bergetar. "Bisa kita bicara sebentar?"Marshall menoleh, tatapannya bertemu dengan Tian. Dia mengangguk, lalu menepuk lembut kepala Marcel. "Paman akan kembali sebentar lagi, oke? Jaga menara ini baik-baik," katanya sambil tersenyum.
Mereka pindah ke meja yang lebih tenang di sudut toko. Tian duduk di hadapan Marshall, memainkan jemarinya dengan gugup. "Aku... aku ingin bertanya tentang sesuatu," Tian memulai, suaranya pelan tapi penuh tekad. "Tujuh tahun yang lalu, apa yang sebenarnya terjadi?" Tian teringat kembali bahwa ia pernah mendengar Marshall pernah mengungkit tentang 7 tahun yang lalu, bukannya hanya Shion.
Marshall merasakan dadanya seakan diremas mendengar pertanyaan itu. Dia tahu ini akan datang, tapi tidak menyangka Tian yang akan mengungkitnya lebih dulu. Dia menatap pria di hadapannya dengan serius, berusaha menyusun kata-kata yang tepat. "Tian, sebelum aku menjawab, aku juga ingin tahu... kenapa kau kehilangan ingatanmu? Apa yang menyebabkan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!