Bagian 25

9.1K 576 5
                                    

Keesokan harinya, Marshall melangkahkan kaki keluar dari kantornya dengan perasaan berdebar. Pikirannya terus tertuju pada Tian, dia memutuskan untuk kembali ke toko kue tersebut, berharap bisa berbincang lagi dengan Tian, atau setidaknya ia ingin mengetahui alasan mengapa Tian meninggalkannya 7 tahun yang lalu.

Namun, begitu dia tiba di toko, ada yang aneh. Tian yang dulunya ramah dan hangat padanya, kini hanya menyapanya dengan tatapan kosong dan senyum yang nyaris tidak ada. Dia bahkan tidak tampak mengenali Marshall. Ketika Marshall mencoba memulai percakapan, Tian hanya menjawab singkat, seolah-olah dia adalah pelanggan biasa, bukan seseorang yang pernah meninggalkan kesan mendalam.

Perasaan tidak nyaman mulai menjalari hati Marshall. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Apakah Tian benar-benar melupakannya, atau ada sesuatu yang membuatnya bersikap seperti itu? Perasaan sakit mulai merambat, seperti luka lama yang terbuka kembali. Dia yang sempat melupakan Tian dengan segala beban di hatinya, kini harus merasakan pahitnya dilupakan oleh orang yang diam-diam telah merasuk ke dalam jiwanya.

Marshall berdiri kembali di depan meja kasir dengan membawa dua cupcake diatas nempannya, ia mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang masih ada di dalam dirinya. Dia tidak bisa meninggalkan toko ini tanpa setidaknya mencoba sekali lagi. Mengambil napas dalam-dalam, dia mendekatkan diri sedikit lebih dekat, berharap Tian bisa melihat kebenaran di matanya.

"Tian," ucap Marshall dengan suara lembut namun penuh keputusasaan

"ini aku, Marshall. Marshall dari tujuh tahun yang lalu. Kau... kau pasti ingat, bukan?"

Tian menatapnya dengan alis berkerut, kebingungan jelas tergambar di wajahnya. "Maaf, Anda bilang siapa?" tanyanya, nadanya datar dan jauh, seolah-olah dia sedang berbicara dengan orang yang benar-benar asing.

Marshall merasakan tenggorokannya mengering. Dia tidak percaya bahwa Tian benar-benar melupakan semuanya. "Aku Marshall," ulangnya, hampir memohon.

"Kita bertemu tujuh tahun yang lalu, kita satu asrama. Dan aku tau kau suka duduk dikursi belakang asrama, dan aku selalu memperhatikanmu kau membawa buku untuk membaca di sana."

Namun, bukannya tanda pengakuan, yang Marshall dapatkan hanyalah tatapan yang semakin bingung. "Saya benar-benar tidak ingat, Tuan," jawab Tian, suaranya tetap tenang namun penuh kebingungan.

"Mungkin Anda salah orang. Atau mungkin saya benar-benar tidak tahu siapa Anda."

Marshall merasakan jantungnya serasa berhenti. Kata-kata Tian seakan memutar pisau di luka yang baru saja terbuka kembali. "Tidak, Tian. Kau tidak bisa melupakannya. Kita... kita dulu bahkan sudah..." ucapannya terhenti

Tapi Tian hanya berdiri di sana, tampak seperti seseorang yang mencoba mengingat sesuatu yang benar-benar tidak pernah ada. "Saya minta maaf," katanya dengan nada yang lebih lembut, mungkin karena melihat kesedihan yang jelas di mata Marshall.

"Tapi saya benar-benar tidak tahu siapa anda. Dan harap segera membayar karena dibelakang Tuan ada beberapa orang yang masih mengantri"

Dengan hati yang hancur, Marshall hanya bisa mengangguk lemah dan menyerahkan beberapa lembar uang untuknya. "Lagi-lagi aku yang terluka" gumamnya hampir tidak terdengar, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Tian. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berbalik dan berjalan keluar dari toko, meninggalkan Tian yang masih berdiri di sana dengan ekspresi kebingungan. Sementara di dalam hatinya, Marshall merasa seolah-olah dia telah kehilangan segalanya untuk kedua kalinya.

Tian merasakan sakit yang tajam di kepalanya saat Marshall keluar dari toko. Kata-kata pria itu menggema di pikirannya, membuatnya merasa aneh dan tidak nyaman. Ada sesuatu dalam suara dan tatapan Marshall yang terasa akrab, namun seberapa keras pun dia mencoba, Tian tidak bisa mengingat apa pun. Kepala Tian mulai berdenyut, membuatnya harus memijit pelipisnya untuk meredakan rasa sakit itu.

Pemilik toko, seorang wanita beta yang selalu bersikap lembut pada Tian, memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Tian dan segera menghampirinya. “Tian, kau baik-baik saja?” tanyanya, dengan suaranya yang penuh kekhawatiran.

Tian hanya bisa menggelengkan kepala, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya. “Aku tidak tahu… ada seorang pelanggan tadi yang mengatakan bahwa dia mengenalku, tapi aku tidak bisa mengingat siapa dia. Kepalaku jadi sakit,” ucap Tian dengan suara gemetar.

Beta wanita itu segera meraih bahu Tian, memeluknya dengan hangat. “Tidak apa-apa, Tian. Mungkin dia hanya salah orang. Kau sudah lama tinggal di kota ini, dan mungkin dia hanya salah ingat,” katanya dengan suara menenangkan, sambil terus membelai rambut Tian dengan lembut.

Tian mengangguk pelan, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan. “Tapi… dia sangat yakin mengenalku. Dia menyebut namaku, dan dia tahu hal-hal tentang masa lalu yang aku sendiri tidak ingat."  Tian bergumam, berusaha mencari penjelasan untuk perasaannya yang kacau.

Pemilik toko itu terdiam sejenak, menimbang kata-katanya sebelum berbicara lagi. “Tian, kau sudah pernah bilang padaku kalau ingatanmu tentang masa lalu memang buram. Membuatmu melupakan semua hal, jadi bisa saja pelanggan tadi teman sekolahmu jadi jangan terlalu dipikirin.”

Mendengar kata-kata itu, Tian mencoba menghibur dirinya sendiri. Ia sudah pernah merasakan kekosongan dalam ingatannya sebelumnya, tapi tidak pernah seintens ini. Perasaan yang muncul saat bertemu Marshall begitu kuat, seakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya, namun ia tidak tahu apa itu.

Beta wanita itu menuntun Tian ke kursi di sudut toko, menjauhkannya dari keramaian. “Duduklah di sini sebentar, Tian. Biar Leo yang menggantikanmu. Aku akan ambilkan segelas air. Kau perlu tenang dulu,” ucapnya lembut, sebelum bergegas ke dapur untuk mengambil air.

Sementara menunggu, Tian menatap ke luar jendela, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Marshall. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya berbicara, seolah-olah dia bukan sekadar pelanggan biasa. Tapi Tian tidak bisa mengingat apa pun yang bisa menghubungkannya dengan pria itu. Kegelisahan itu membuat rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi.

Ketika beta wanita itu kembali dengan segelas air, Tian menerimanya dengan tangan gemetar. “Terima kasih,” ucapnya pelan sebelum meneguk air tersebut. Rasa dingin air itu sedikit meredakan kekacauan dalam pikirannya, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit di kepalanya.

Pemilik toko duduk di sampingnya, memberi Tian waktu untuk menenangkan diri. “Kita tidak perlu terlalu memikirkannya, Tian. Jika dia benar-benar mengenalmu, mungkin nanti dia akan kembali dan kita bisa mengetahui lebih banyak darinya. Tapi untuk sekarang, lebih baik kau istirahat dulu.”

Tian mengangguk lagi, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan dan kekhawatiran. Ia tidak tahu mengapa pertemuan dengan Marshall begitu mengguncangnya, tapi yang jelas, ada sesuatu yang besar dan penting yang tampaknya hilang dari ingatannya. Sesuatu yang mungkin bisa menjelaskan semuanya, jika saja ia bisa mengingatnya.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang