Bagian 14

10.6K 746 1
                                    

Tak tega untuk meninggalkan Leon dengan luka yang tergores ditangannya, Marshall pergi ke kamar untuk mengambil hansaplast dan obat untuk mengobati lukanya.

Marshall merasa jijik begitu ia masuk kedalam kamar mereka yang masih dipenuhi dengan feromon Tian. Marshall tergesa-gesa mencari obat-obatan pribadinya dengan menggunakan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya sibuk untuk menutupi hidungnya. Setelah menemukan apa yang ia cari, Marshall bergegas keluar. Hampir saja ia muntah jika berada didalam sana terlalu lama.

Pertama Marshall membersihkan lukanya dengan menggunakan antiseptik agar tidak infeksi baru ia menempelkannya dengan hansaplast. Mungkin karena mereka berdua duduk terlalu dekat, Marshall dapat mencium feromon omega yang duduk disampingnya tapi anehnya feromonnya berbeda dengan aroma yang ia cium di beberapa menit yang lalu.

Aroma yang tadi ia hirup samar-samar seperti aroma vanilla sedangkan omega yang duduk disampingnya sekarang beraroma bunga. Entahlah mungkin tadi karena feromon Tian lebih dominan jadi Marshall tidak terlalu mengingat bagaimana aroma Leon.

"Terima kasih, maaf merepotkanmu" ujar Leon dengan malu-malu, Marshall hanya mengangguk untuk menanggapinya.

Mungkin insiden tadi adalah sebuah kesempatan emas untuknya. Leon sempat dendam pada Tian, mengingat ia bahkan tidak mau membantunya untuk memberikan suratnya pada Marshall, namun karena berkatnya ia bisa bertemu dengan Marshall jadi Leo akan melupakan dendamnya. Daripada dendam, Leon pikir ia sebaiknya malah harus berterima kasih dengan alpha tadi meskipun dia yang menyebabkannya terluka seperti ini.

Leon merogoh kantung sakunya dan memutuskan untuk menyerahkan dengan sendirinya surat yang ada ditangannya.

Marshall menerimanya dengan senang hati, Leon memintanya jangan membacanya sekarang ia sangat malu mengingat isi suratnya adalah tentang ajakannya pada Marshall untuk berkencan dengannya, ia bahkan sampai mencantumkan nomor hpnya dibawahnya, untuk memastikan apa jawaban yang akan diberikan oleh Marshall padanya kelak.

Karena sudah tidak ada urusan lagi Marshall berpamitan pada Leon dengan alasan ia masih ada tugas yang perlu dikerjakan sekarang juga. Leon juga ikut berpamitan meskipun ia tidak rela, ia masih ingin duduk berdua dengan Marshall dan mengobrol dengannya. Namun setelah melihat sikap dinginnya, Leon berpikir sepertinya Marshall tidak terlalu ingin menghabiskan waktu berduaan dengannya. Leon dan Marshall berjalan kearah yang berlawanan. Leon akan kembali ke kamarnya begitu juga dengan Marshall.

Hari mulai gelap namun Tian tidak kunjung kembali kedalam kamarnya, tetapi tidak hanya Tian yang tidak ada Daven si penyebab kekacauan ini juga ikut menghilang. Mereka tahu Daven pasti akan pergi ke bar milik pamannya dan biasanya subuh dia baru kembali. Tapi tidak dengan Tian, jika hari sudah mulai tampak gelap ia akan segera kembali ke kamarnya meskipun belajarnya belum selesai.

Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, masih tidak ada tanda-tanda akan kehadiran Tian. Marshall merasa sedikit khawatir setelah mengingat kembali apa yang ia katakan pada Tian tadi siang, bukankah itu sedikit kasar tapi mengingat apa yang ia lakukan pada Leon bukankah itu masih belum seberapa pikir Marshall.

"Hey, apa kau tidak merasa aneh mengapa Tian belum kembali di jam segini? biasanya jam segini bahkan dia sudah tertidur pulas."

Etthan melanjutkan perkataannya "Ini juga bukan hari minggu jadi tidak mungkin ia pulang ke rumah bukan?" tanya Etthan pada Marshall tiba-tiba, sepertinya dari tadi mereka berdua memiliki pemikiran yang sama namun Etthan yang lebih dulu mengutarakan rasa penasarannya pada Marshall.

Marshall mengangkat kedua bahunya mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu.

"Huf, ini memang salah Daven.. "

Marshall sontak menoleh kearah Etthan, jelas-jelas ini adalah salahnya mengapa ia malah menyalahkan Daven pikirnya.

"Daven?" Marshal menaikan sebelah alisnya, penasaran dengan mengapa Etthan malah menyalahkan Daven.

"Apa kau tidak tau? Daven tadi siang tidak sengaja menumpahkan feromonnnya dan baunya benar-benar menyebar kemana-mana. Sepertinya Tian pergi karena itu, apalagi Daven adalah alpha dominan. Aku juga bahkan memutuskan untuk pergi daripada harus mencium aroma wiski sialan yang memabukkan itu."

Marshall refleks duduk dan matanya tidak berhenti menatap kearah Etthan. Jadi tadi siang itu bukanlah feromonnya Tian, Marshall ternyata salah paham padanya, ia mengira itu adalah feromon Tian yang sengaja ia tumpahkan untuk memikat Leon. Tapi mengapa ia tidak mengakuinya dan memilih untuk dikatai olehnya secara habis-habisan.

Marshall mengacak-acak rambutnya, ada apa sebenarnya semua ini. Aroma samar-samar vanila tadi apakah itu adalah feromon Tian yang sebenarnya, tapi mengapa aromanya tercium seperti seorang omega. Marshall merasa kepalanya pusing saat mencoba untuk menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang berada di dalam kepalanya.
"Biasanya Tian belajar dimana?" tanya Marshall yang sudah berdiri tegak untuk menunggu jawaban dari Etthan.

Etthan sempat berpikir sejenak, mencoba mengingat kembali dimana ia pernah melihat Tian sebelumnya.
"Oh iya dibelakang asrama, biasanya aku buang sampah di belakang terus tidak sengaja meli... "

Belum selesai Etthan berbicara, Marshall sudah berlari keluar dan bahkan ia tidak sengaja membanting pintu kamarnya.
"Woi, apa harus terburu-buru begitu?" teriak Etthan di dalam kamarnya merasa kesal karena ditinggal begitu saja oleh Marshall.

Marshall menyalakan senter di hpnya, ia tidak berhasil menemukan siapapun dibelakang asramanya. Hanya ada sebuah kursi kosong tergelatak disana, namun ia tidak menemukan sosok Tian yang duduk dikursi itu.

Malam itu Marshall merasakan hembusan angin lembut seperti membawa kesegaran dan kesejukan yang menangkan hatinya, pantas saja Tian suka belajar disini ternyata tempatnya sangat nyaman. Mungkin karena hembusan angin itu Marshall dapat dengan samar-samar mencium aroma vanilla persis seperti tadi siang.
"aroma ini.. inilah aroma yang samar-samar aku hirup darinya."

Marshall mencoba mengikuti mana arah aroma ini berasal. Tanpa sadar aroma vanila itu berhasil menuntunnya kedalam sebuah hutan, semakin ia berjalan ke dalam hutan itu maka aromanya semakin kuat dan pekat. Mustahil, apa Tian ada di dalam hutan yang penuh dengan semak-semak tajam itu.

"Bukankah aroma ini seperti aroma omega yang sedang heat?"

"Jangan bilang.. "

Marshall berlari masuk kedalam semak-semak itu, jika ia tidak memastikan dengan matanya sendiri maka ia tidak akan bisa menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang ada di dalam kepalanya.

Aromanya semakin kuat begitu Marshall berdiri tidak jauh dari sebuah pohon besar yang ada di depannya. Sepertinya disana ia juga mendengar samar-samar suara seseorang yang tengah menangis tersedu-sedu.

Kepingan puzzle terakhirnya ada disebalik pohon besar itu, Marshall maju tanpa sedikit keraguan di langkah kakinya.

"Apakah benar Tian yang ada disebalik pohon itu?" gumannya pelan.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang