Bagian 32 [Kebenaran yang terungkap]

6.4K 449 12
                                    

Tian menghela napas, pandangannya tertunduk. "Dokter bilang itu karena kecelakaan," jawabnya, suaranya rendah dan penuh kesedihan. "dan aku mengalami Hipoksia."

(Note : Hipoksia otak adalah sebutan untuk suatu kondisi di mana otak tidak mendapatkan cukup oksigen. Dalam kecelakaan hampir tenggelam, korban mungkin mengalami kehilangan ingatan dan memiliki penilaian dan koordinasi motorik yang buruk. Jika oksigen terputus selama lebih dari 5 menit, neuron otak mulai mati dan koma atau bahkan kematian dapat terjadi)

Marshall terdiam setelah mendengar jawaban itu, meski sederhana, mengandung banyak sekali beban. Hipoksia kekurangan oksigen di otak yang menyebabkan Tian kehilangan ingatan. Alasan di balik Tian sampai melompat dari jembatan untuk bunuh diri di tujuh tahun yang lalu, apakah dia tahu apa penyebab dari semua itu? tapi dari rautnya sepertinya tidak pikir Marshall.

Tian meminta Marshall giliran untuk menjawab pertanyaanya, tentang apa saja yang ia ketahui.
"Aku tahu beberapa hal” jawab Marshall dengan suara yang nyaris berbisik.

Tian menggigit bibirnya, ada keraguan yang jelas di wajahnya. Tapi kemudian dia mengangguk perlahan, matanya menunjukkan tekad yang kuat. “Aku perlu tahu, Marshall. Apapun itu. Aku perlu tahu apa yang telah terjadi"

"Tian, Marcel adalah anakku.. " ujar Marshall tanpa basa-basi, matanya penuh tekad dan tangannya terkepal kuat.

Tian terdiam, merasakan detak jantungnya yang tak teratur. Kata-kata Marshall barusan terngiang-ngiang di kepalanya, seolah menembus lapisan kabut tebal yang selama ini menutupi ingatannya. Ia menatap Marshall dengan mata yang berkabut oleh campuran emosi yang tak bisa dia namai. Keheningan yang menggantung di antara mereka semakin membuat suasana menjadi tegang.

"Marcel... anak laki-lakimu?" Tian mengulang kata-kata itu dengan suara nyaris tak terdengar, mencoba memproses informasi yang baru saja dia dengar. Ia memalingkan wajahnya, melihat ke arah Marcel yang masih asyik bermain sendirian. Memang wajahnya mereka sangat mirip sekali, bahkan orang luar pun tidak bisa menyangkal jika mereka memang memiliki hubungan darah.

"Ya," jawab Marshall dengan suara yang terdengar berat. "Marcel adalah anak kita, Tian. Darah daging kita. Dan... ada banyak hal yang perlu kau ketahui. Kita... kita tidak hanya sekadar kenal. Dulu, kita teman satu kamar di asrama."

Tian memejamkan mata, mencoba mengingat sesuatu dari masa lalu yang sudah lama terkubur. Tapi ingatannya tetap kabur, hanya menyisakan bayangan-bayangan samar yang tidak memberinya jawaban. "Teman satu kamar?" bisiknya, suaranya mengandung kebingungan.

Marshall menghela napas panjang, merasa dadanya semakin sesak. "Karena... ada sesuatu yang terjadi di antara kita. Sesuatu yang... membuatmu pergi, menghilang tanpa kabar dariku." Dia berhenti sejenak, seolah mencari keberanian untuk melanjutkan.

"Dan aku.. sebelum kau pergi aku juga sempat menandai dan melakukan knotting padamu."

Tian membuka mata, menatap Marshall dengan ekspresi campuran antara kaget dan tak percaya. "Kau... menandaiku?" Sekali lagi, ia meraba lehernya bekas ia melakukan operasi sebelumnya, awalnya ia tidak ingat siapa bajingan yang menandainya, ia menghapus tandanya tanpa mengetahui siapa yang menandainya sebelumnya.

Marshall menggenggam tangan Tian dengan lembut, mencoba menyampaikan rasa sakit dan penyesalan yang selama ini ia pendam.
"Ma-maafkan aku..mulai sekarang aku akan selalu ada disisimu sebagai gantinya "

Tian menatap Marshall dengan mata yang kini penuh amarah, kilatan emosi yang baru saja terpendam selama bertahun-tahun akhirnya meledak. Tangannya yang gemetar terkepal erat, mencoba menahan dirinya agar tidak meluapkan semua rasa sakit dan kecewa yang begitu dalam. Ia menghela napas berat, berusaha menenangkan diri, namun amarahnya terlalu kuat untuk ditekan.

Tian menepis tangan Marshall dengan kuat
"Marshall," suara Tian terdengar lebih tajam dari yang pernah Marshall dengar sebelumnya, "Kau datang ke sini, membawa semua kenyataan ini, dan berharap aku akan begitu saja menerima semuanya? Setelah tujuh tahun lamanya aku hidup dalam kebingungan, tanpa tahu siapa diriku, tanpa tahu kenapa hidupku berantakan seperti ini?"

Marshall membuka mulut untuk menjawab, namun Tian tidak memberinya kesempatan. "Lalu di mana kau selama ini?" lanjutnya dengan nada yang lebih tinggi. "Aku hamil dan aku harus mengurus Marcel sendirian. Aku bahkan tidak tahu siapa ayahnya! Setiap malam, aku harus bertanya-tanya kenapa hidupku hancur seperti ini. Kenapa aku tidak memiliki satu keluargaku pun disisiku."

Marshall menunduk, merasa terpukul oleh setiap kata yang keluar dari mulut Tian. Dia tahu Tian berhak marah, tapi itu tidak membuat rasa sakitnya berkurang. "Tian, aku.. "

"Kau tidak tahu apa-apa tentang kesulitan yang kuhadapi," potong Tian, suaranya kini terdengar pecah oleh isakan. "Aku tidak hanya kehilangan ingatan, Marshall. Aku kehilangan hidupku. Aku kehilangan masa depanku. Sementara itu, kau hidup dengan nyaman dengan kekasihmu, sementara aku harus bergantung pada kebaikan Alisya yang bahkan tidak memiliki banyak untuk dirinya sendiri."

Tian mengusap air matanya dengan kasar, berusaha tetap tegar. "Selama bertahun-tahun aku harus bertahan hidup dengan berbagai pekerjaan hingga baru bisa sampai tahap ini. Kami tidak punya banyak, tapi setidaknya aku bisa memberikan sedikit masa depan untuk anakku. Tapi kau? Kau datang sekarang, seolah-olah semua ini bisa diperbaiki dengan beberapa kata maaf? Itu tidak cukup."

"Kemana kau selama ini hah?"

Marshall mengangkat wajahnya, matanya yang kelam menunjukkan penyesalan yang mendalam. "Tian, aku tahu aku terlambat. Aku tahu aku telah mengecewakanmu, maaf aku tidak mencarimu karena waktu itu aku....aku sedang berada di London."

Tian menggelengkan kepalanya dengan putus asa. "Selama ini aku hidup dalam bayang-bayang. Tidak tahu apa yang terjadi, siapa yang bisa kupercaya. Kau bilang Marcel adalah anakmu, tapi di mana tanggung jawabmu selama ini? Di mana kau ketika aku membutuhkanmu?"

Marshall merasakan dorongan kuat untuk mendekati Tian, untuk memeluknya dan mencoba menenangkan amarahnya, tapi dia tahu bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan. Tian berhak marah, dan dia harus menerima itu. "Tian, aku tidak akan pernah bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tapi aku di sini sekarang, dan aku akan melakukan apapun yang bisa kulakukan untuk menebus kesalahanku."

Tian menatap Marshall dengan mata yang penuh luka, seolah-olah semua rasa sakit dan ketidakadilan yang dia rasakan selama bertahun-tahun akhirnya menemukan sasaran. "Kalau kau benar-benar ingin menebus kesalahanmu, Marshall, maka pergilah. Pergilah dari hidupku, biarkan aku sendiri dengan Marcel. Aku tidak membutuhkanmu lagi."

"Jika itu yang kau inginkan" ucap Marshall dengan suara yang parau, "Aku akan pergi. Tapi ketahuilah, aku akan selalu ada untuk Marcel dan aku tidak akan menyerah untuk kalian berdua. Jika suatu hari kau berubah pikiran, atau jika ada yang kau butuhkan... aku akan berada di sisimu."

Dengan itu, Marshall berbalik, meninggalkan toko kue dengan perasaan yang lebih berat daripada sebelumnya. Setiap langkah yang dia ambil terasa seperti beban di hati yang tak terangkat, sementara suara isak tangis Tian masih bergema di telinganya. Tapi dia tahu, mungkin inilah saatnya untuk memberikan Tian ruang yang dia butuhkan, dan berharap suatu hari, luka di antara mereka akan sembuh, meski itu hanya sedikit.

My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang