Bagian 18 [Hamil?!]

11.4K 626 1
                                    

Jangan lupa Vote ya teman, biar aku semangat bikin ceritanyaaa💕

Menjelang memasuki masa ujian kelulusannya, Marshall dan Tian banyak menghabiskan waktu berdua untuk belajar bersama kadang diperpustakaan dan kadang dibelakang asrama.

Tian entah harus bersyukur atau tidak sejak dia mengalami heat, Marsh dan dirinya menjadi semakin sangat dekat. Bahkan Marshall terkadang berinisiatif untuk menemuinya dan lebih banyak berbicara padanya seperti sekarang contohnya.
"Ngomong-ngomong bagaimana sebelumnya peringkatmu bisa naik begitu banyak? seingatku dari 12 ke 5 bukan?" tanya Marshall ditengah-tengah keheningan.

Tian mendongak kearahnya, tanpa berpikir panjang ia menjawabnya dengan kalimat "tentunya dengan sedikit pukulan dan hukuman dari ayahnya" dengan wajahnya yang tersenyum manis pada Marshall.

Marshall mengernyitkan keningnya, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Tian padanya. Tian terkekeh begitu melihat raut kebingungan yang tertulis di wajah orang itu, lalu dengan cepat ia menimpali.
"Aku bercanda, aku belajar lebih keras dari sebelumnya dengan motivasi untuk mengalahkan kalian para top 5, dan ternyata aku berhasil meskipun aku seorang omega yang tidak terlahir dengan otak yang jenius seperti kalian para alpha" Setelah mendengar perkataan Tian barusan, entah mengapa Marshall merasakan perasaan lega di dalam hatinya, di bandingkan dengan jawaban yang Tian berikan sebelumnya.

Lalu Marshall bertanya kepadanya dimana Tian akan menempuh perguruan tingginya. Tian mengangkat kedua bahunya yang mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu. Ia tidak tahu karena ayahnya pasti tidak akan pernah membicarakan dengannya dimana ia akan menyekolahkannya. Tian selama ini hanya mengikuti kemauan ayahnya tanpa menolaknya dan sampai sekarang ia juga terbiasa tanpa bertanya.

Marshall seolah-olah paham dengan jawabannya setelah melihat raut wajah Tian. Marshall tahu bahwa ayahnya adalah orang yang tegas dan berwibawa jadi ia tidak mungkin akan membiarkan anaknya untuk kuliah ditempat yang abal-abal. Dan tentunya Tian tidak bisa memilih sendiri, ayahnya pasti akan otomatis untuk mengatur segalanya, jadi Tian hanya perlu duduk diam dan belajar, begitulah sisi gelap orang ternama dikotanya pikir Marshall.

"kalau aku,, aku kemungkinan akan mendaftarkan diri ke Imperial University London."

Tian melongo setelah mendengar pernyataan Marshall. Pasalnya itu adalah kampus top 1 didunia tapi Marshall berani menyatakannya dengan percaya diri. Namun mengingat nilainya yang luar biasa, tidak ada yang tidak mungkin. Bisa saja ia diterima disana dan jika begitu kemungkinan besar mereka tidak akan bisa bertemu lagi begitu Marshall kuliah disana.

Tian merasa sedikit sedih, tapi ia tidak bisa menunjukkannya secara terang-terangan. Ia tidak ingin Marshall mengetahui tentang perasaannya, cukup dirinya dan Tuhan saja yang tahu.
"Semangat, aku yakin kau pasti bisa." ujar Tian dengan raut wajah pura-pura tersenyumnya.

Hari itu mereka berdua belajar hanya sampai sore hari. Begitu matahari terbenam Tian dan Marshall kembali kedalam kamarnya. Tian melihat Daven dan Etthan juga belajar di ranjang mereka masing-masing. Aneh saja jika melihat Daven belajar sekarang, mengingat selama ini Tian tidak pernah melihat Daven belajar sekali pun di asrama atau dimana pun itu tapi hebatnya lagi bajingan itu tidak pernah keluar dari peringkat 5 besar. Orang yang terlahir jenius memang menakutkan gumamnya.

Daven menatap sinis kearahnya begitu melihat dirinya. Tian mengira Daven tidak menyukai saat dirinya kembali kedalam kamarnya, namun kenyataannya adalah Daven tidak suka saat melihat Tian yang semakin akrab dengan Marshall.

Daven mulai curiga, pasalnya Marshall adalah pribadi yang terkenal karena tidak ingin bergaul dengan orang lain terutama teman sekelasnya sendiri. Meskipun mereka sudah berbondong-bondong untuk mendekatinya, Marshall dengan terang-terangan menjauhkan diri dari mereka. Tapi sekarang anehnya ia malah bisa akrab dengan Tian semudah itu, bahkan mereka pergi bersama, belajar bersama dan bahkan kembali sambil tertawa bersama.
"Apa Marshall juga mengetahui sesuatu?" batinnya berkata sembari melihat kearah mereka berdua dengan tatapan mata tajamnya. Tian tentu saja pura-pura tidak melihatnya dan ia akan mengabaikannya secara terus terang meskipun Daven disebelahnya.

Dua minggu berlalu...
Ujian kelulusan telah selesai dilaksanakan, hasil belajar Tian bersama dengan Marshall juga membuahkan hasil yang mantap. Tian berhasil mendapatkan peringkat kedua, sedangkan tempat pertama sudah tentu mutlak milik Marshall. Seberapa keras pun Tian sudah berusaha dia tidak bisa melampaui Marshall, tapi setidaknya ia lega walau hanya mendapatkan peringkat kedua dengan ini tentunya ia tidak akan mendapatkan hukuman dari ayahnya asalkan peringkatnya yang meningkat bukan menurun.

Tian benar-benar kegirangan setelah melihat hasil pengumumannya. Sedangkan Marshall harus pamit padanya terlebih dahulu, karena ia diminta untuk menghadap kepala sekolah yang kemungkinan berkaitan dengan pendaftaran kuliahnya di London.

Rasa girangnya memudar dalam beberapa detik, seketika merubah Tian menjadi tertunduk lesu, apakah dengan ini berarti ia tidak bisa bertemu lagi dengan Marshall? Mengingat dirinya yang besok juga harus mengemaskan barang-barangnya di asrama karena ayahnya sudah memintanya untuk segera pulang ke rumah meskipun acara kelulusan dan perpisahan sekolah mereka belum diadakan. Untuk orang lain pada umumnya ketika belum resmi lulus dari sekolah tersebut maka tidak diperbolehkan untuk meninggalkan asrama, namun untuk ayah Tian yang notebene seorang donatur disekolahnya bebas untuknya melakukan apa saja termasuk memulangkan Tian sebelum kelulusannya sudah resmi. Jika Marshall tidak memberitahunya, mungkin sampai sekarang ia akan hidup dalam ketidaktahuan mengapa ia memiliki hak pengecualian itu.

Tian kembali kedalam kamarnya, kemungkinan ia akan mengemaskan barang-barang miliknya sekarang. Sedangkan besok ia hanya perlu tinggal menunggu ayahnya untuk menjemputnya.

Etthan sedang memasak sup daging sapi sementara Tian mengemaskan barangnya, entah mengapa ia merasa mual begitu mencium aroma daging yang menyengat hidungnya. Tak mampu untuk menahan isi perutnya yang hendak melonjak keluar, Tian berlari kedalam toilet dan memuntahkan semuanya.

Tiba-tiba saja ia merasa tidak enak badan dan rasa mualnya tidak kunjung menghilang. Disaat itu juga Tian tiba-tiba mendapat panggilan masuk dari Daven, ia sebenarnya tidak ingin menjawabnya namun Daven dengan liciknya tiba-tiba mengirim pesan padanya jika Tian tidak menjawabnya maka ia akan menyebarkan identitasnya hari ini juga.

Tian tidak ingin Daven berulah di detik-detik terakhirnya ia bersekolah. Bagaimanapun mungkin ini juga akan menjadi obrolan terakhirnya dengan Daven jadi Tian memutuskan untuk menjawab panggilan teleponnya.

"Datang ke apartemenku sekarang!! alamatnya sudah aku kirim, aku lupa membawa pakaian ganti tadi malam, sekarang kau ambil pakaianku didalam lemari dan bawa kemari."

"oh iya untuk kunci lemarinya ada di bawah bantalku."

tut panggilan di akhiri~

Tian bahkan belum sempat untuk menjawabnya, si bajingan itu sudah menutup panggilannya. Tian mengikuti arahannya dengan mengambil satu baju dan satu celana didalam lemari lalu dimasukkannya kedalam tasnya.

Tian tetap memaksakan dirinya meskipun dia merasa tidak enak badan. Tian berpamitan pada Etthan dan juga minta maaf padanya karena tidak bisa makan berdua dengannya pasalnya Etthan sudah mengajaknya untuk menunggu dagingnya matang. Tapi Tian juga bersyukur, kebetulan dia lagi tidak ingin makan daging dan dengan ini ia bisa menolak Etthan tanpa merasa tidak enak dengannya.

"Aku mau pergi dulu, maaf sekali lagi tidak bisa makan denganmu."

Terdapat sedikit raut kekecewaan diwajah Etthan namun ia dapat memaklumi jika Tian benar-benar pergi untuk hal yang penting.

"Ah tidak apa, ngomong-ngomong kau mau kemana?"

Tian sempat terdiam sejenak, tidak tahu harus memberitahunya atau tidak. Namun Tian takut jika Marshall kembali ia akan bertanya pada Etthan kemana dirinya pergi meskipun kemungkinannya sangat kecil sekali. Tapi setidaknya Tian mengantisipasi kepergiannya sebentar takut kelak Marshall mencarinya.

"Itu,,,Daven memintaku untuk membawakannya pakaian ganti, katanya tadi malam ia lupa membawanya." Jawabnya dengan jujur.

"Oh...kalau gitu hati-hati dijalan.. " ujar Etthan padanya dengan nada yang sedikit ragu. Namun, Tian pergi begitu saja tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun pada Daven.

"Ha pakaian ganti? selama ini aku tidak pernah melihat Daven memerlukannya, jika ia ingin maka ia akan membelinya dengan yang baru, aneh..." gumam Daven di kala keheningannya setelah ditinggal pergi Tian.


My Roommate's an OmegaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang