Marshall berdiri di depan rumah besar keluarganya, menggenggam tangan Tian dengan erat. Marcel berdiri di samping mereka, matanya penuh dengan rasa ingin tahu saat memandang bangunan megah itu. Marshall tahu bahwa ini bukanlah pertemuan yang mudah, terutama mengingat masalah yang rumit antara dirinya dan ibunya, terutama soal Tian.
"Mama tidak pernah menyukai Tian," Marshall berkata pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tian mendengar dan menundukkan kepalanya sedikit, seolah rasa takut dan cemas menggerogoti hatinya.
"Aku akan mencoba yang terbaik," jawab Tian, suaranya bergetar, tetapi ada kekuatan di balik kata-katanya.
Mereka bertiga melangkah masuk. Udara di dalam rumah terasa tegang, seperti menunggu sesuatu untuk meledak. Di ruang tamu, ibu Marshall, seorang wanita paruh baya dengan tatapan tegas, duduk di kursi. Wajahnya tak menunjukkan banyak emosi saat Marshall memperkenalkan mereka.
"Ma," Marshall memulai, suaranya terdengar sedikit kaku. "Ini Marcel, putra yang aku bicarakan kemarin."
Mata ibu Marshall beralih dari Marshall ke Marcel, tanpa ekspresi yang jelas. Marcel, yang biasanya ceria, merasa sedikit canggung di hadapan sosok nenek yang begitu dingin.
"Dan Marcel, ayo sapa nenek" pinta Marshall dengan nada yang sangat lembut pada putranya.
"Nenek," Marcel tiba-tiba berkata, dengan senyuman lebar. Dia mengeluarkan sebutir permen dari saku celananya dan berlari menuju neneknya. "Ini buat nenek!"
Ibu Marshall menatap permen yang disodorkan Marcel. Untuk sesaat, ekspresi keras di wajahnya mengendur. Dia memandang cucunya, yang berdiri dengan penuh harapan di depannya, seolah tidak tahu bagaimana harus bereaksi.
Perlahan, dia mengambil permen itu dari tangan Marcel. “Terima kasih,” katanya pelan, dan untuk pertama kalinya, senyuman tipis muncul di wajahnya.
Marshall menatap adegan itu dengan terkejut. Dia tahu ibunya sangat tidak mudah terkesan, terutama terhadap sesuatu yang berhubungan dengan Tian. Namun, Marcel, dengan kepolosan dan keceriaannya, telah berhasil menembus dinding yang selama ini menghalangi hati ibunya.
Tian yang berdiri di samping Marshall merasa lega, meski ia masih merasakan ketegangan di dalam ruangan. Dia tahu perasaan ibu Marshall terhadapnya tidak akan berubah begitu saja hanya karena permen. Namun, melihat bagaimana Marcel bisa membuat neneknya tersenyum memberinya harapan kecil bahwa semuanya bisa membaik.
"Nenek, nenek tidak suka ayah datang kemari?" tanya Marcel polos, sementara neneknya masih memegang permen itu dengan raut yang lebih lembut dari sebelumnya.
"Tidak, nenek senang" jawab ibu Marshall, suaranya lebih tenang sekarang. "Nenek tidak keberatan"
Mereka bertiga kemudian duduk, dan suasana yang awalnya dingin perlahan mulai mencair. Ibu Marshall mulai bertanya-tanya tentang Marcel, tentang apa yang dia sukai dan bagaimana sekolahnya. Percakapan itu berjalan lancar, seolah-olah ketegangan awal tidak pernah ada.
Namun, di sela-sela percakapan, Tian tetap diam. Dia tahu bahwa meskipun ibu Marshall telah menunjukkan sisi lembutnya kepada Marcel, hubungan mereka masih rapuh.
Setelah beberapa saat, ibu Marshall beralih ke Tian. "Jadi, kamu yang membesarkan Marcel sendirian selama ini?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Tian mengangguk pelan. “Ya, dengan bantuan dari orang lain juga,” jawabnya. Dia merasa detak jantungnya semakin cepat, takut jika pertanyaan berikutnya akan lebih menyakitkan.
Ibu Marshall mengamati Tian dengan tatapan tajam, seolah menimbang-nimbang sesuatu. "Kamu telah melalui banyak hal," katanya akhirnya, dengan nada yang lebih halus dari yang Tian duga.
Tian hanya bisa menunduk, tidak yakin bagaimana menanggapi. Rasanya aneh, mendengar kalimat seperti itu dari seseorang yang ia pikir akan membencinya.
Marshall memperhatikan perubahan di wajah ibunya. Ia tahu, meski masih ada jarak dan ketidakpastian, setidaknya hari ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.
Marcel, yang duduk di antara mereka, tampak senang. Baginya, ini hanyalah pertemuan keluarga yang menyenangkan. Ia tidak tahu tentang masa lalu yang rumit, tentang luka-luka yang belum sembuh di hati orang dewasa di sekelilingnya.
Ketika pertemuan itu berakhir, ibu Marshall bahkan memberi Marcel pelukan kecil sebelum mereka pamit pulang. "Jangan sungkan untuk datang lagi," katanya kepada Marshall dan Tian, dengan senyum tipis yang masih menghiasi wajahnya.
"Dan untuk pernikahan kalian, jangan lupa memberitahuku kapan rencananya."
Tian dan Marshal saling bertatapan, keduanya tersenyum lebar setelah mendengar ibunya Marshall berkata langsung perkataan itu didepannya.
Marshall memeluk ibunya dan mencium pipinya berkali-kali "Baik ma, Marshall akan memikirkannya terlebih dahulu."
Di dalam mobil, dalam perjalanan pulang, Marshall merasa beban di dadanya sedikit terangkat. "Aku tidak menyangka mama akan bersikap seperti itu," katanya, mencuri pandang ke arah Tian yang duduk di sebelahnya.
Tian tersenyum kecil. "Marcel benar-benar ajaib, ya?"
"Ya, dia adalah keajaiban kita," jawab Marshall dengan penuh keyakinan, menggenggam tangan Tian dengan hangat.
Sesampainya di rumah, suasana terasa lebih tenang. Marcel sudah tertidur di kursi belakang, kelelahan setelah hari yang panjang. Marshall membawanya ke kamar dan menidurkannya dengan hati-hati, menatap wajah anaknya yang damai sebelum keluar dari kamar.
Sementara itu, Tian langsung menuju dapur. Meskipun hari ini telah cukup melelahkan, ia kembali merasa lapar meskipun sudah makan yang cukup masakan ibu Marshall yang enak.
"Apa yang ingin kamu makan?” Tian bertanya lembut, berdiri di depan lemari dapur, tangannya menyusuri deretan bahan makanan.
Marshall mendekatinya, berdiri di belakangnya sambil menyentuh pundaknya lembut. "Aku tidak terlalu pilih-pilih. Masak saja apa yang kamu suka."
Tian tersenyum tipis dan mulai mengeluarkan beberapa bahan sayuran segar, daging, dan beberapa bumbu. Dia memutuskan untuk membuat sesuatu yang sederhana tapi hangat, sup ayam dengan sayuran. Saat dia mulai memotong sayuran, Marshall berdiri di sampingnya, memperhatikannya dengan penuh perhatian. Suara pisau yang memotong sayur memenuhi ruang dapur yang sepi, sementara aroma bumbu mulai mengisi udara.
"Aku masih tak percaya kita bisa sampai di titik ini.”
Tian berhenti sejenak, menatap panci di depannya. "Maksudmu?"
"Bertemu Marcel, melihat ibuku menerima hubungan kita, dan sekarang... kita, di sini bersama. Rasanya seperti mimpi yang tidak pernah kusangka bisa terjadi.”
Tian mengangguk. Dia merasakan hal yang sama. "Aku juga tidak pernah membayangkan hal ini," Tian mengakui.
Marshall tersenyum, merasa hatinya senang setelah mendengar kata-kata Tian. Setelah beberapa saat, masakan pun siap. Tian menyajikan sup dan nasi goreng di atas meja kecil di ruang makan mereka. Sederhana, tapi penuh kehangatan. Mereka duduk bersebelahan, menikmati aroma masakan yang baru saja dimasak.
Marshall menyendok sup ke mangkuknya, mencicipinya perlahan. “enak sekali. Kau selalu pandai memasak sejak kita sekolah dulu.”
Tian tersenyum kecil, merasa sedikit malu. "Aku hanya membuat yang sederhana. Ini yang biasa aku masak untuk Marcel."
"Dia beruntung punya ayah sepertimu," kata Marshall sambil memandang Tian dengan lembut.
Tian terdiam sejenak, menatap mangkuk supnya. Ada perasaan hangat yang menyebar di dadanya. Selama bertahun-tahun, dia tidak pernah merasa begitu dihargai. Kini, di samping Marshall, dia merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kehangatan rumah.
Setelah makan malam, Marshall membantunya membersihkan meja dan mencuci piring. Tidak banyak yang mereka bicarakan, tapi keheningan yang nyaman memenuhi ruangan. Mereka sudah tidak membutuhkan banyak kata-kata untuk saling memahami.
Selesai beres-beres, Tian duduk di sofa, menghela napas panjang. Marshall duduk di sebelahnya, meraih tangan Tian dan menggenggamnya dengan lembut. "Aku mencintaimu" bisiknya dengan nada sedikit menggoda.
Tian memandang Marshall, melihat ketulusan di matanya. “Aku juga mencintaimu” jawabnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Roommate's an Omega
Fanfiction"Sialan, kau seorang omega tapi selama ini sekamar dengan kita para alpha..? " Homophobic GET OUT MY WAY!!!