29. Extended Night

1.8K 336 109
                                    


___________________________________________

ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ♡ﮩ٨ـﮩﮩ٨ـ




"Kamu juga, Sha." Azizi menatap Marsha. "Udah tahu anak-anak tuh masih kecil, kok bisa-bisanya diizinin buat pergi ke tempat kayak gini? Kan kamu juga tahu, tempat kayak gini tuh rawan banget."

"Zi, bisa enggak kita stop dulu ngomongin ini? Kamu bahkan lupa kalau—"

"Kamu enggak nanya ke saya buat izinin mereka datang atau enggak. Belum dari sebulan saya percayain buat jaga anak-anak aja udah gini. Kamu bisa enggak sih sebenernya jagain mereka? Enggak ada becusnya."

Gracie sampai terhenyak kaget, sewaktu Papa bilang seperti itu. Itu kasar sekali, sampai-sampai pelukan erat untuk Papa, Gracie lepaskan beberapa saat.

Lalu rasanya singkat sekali ketika Mama menarik tangan Papa dengan keras sebelum akhirnya satu tamparan dari Mama melayang di pipi Papa dengan sangat keras, sampai beberapa pasang mata di antara mereka menghentikan aktifitas masing-masing.

"Mama!" Teriak Gracie dengan panik.

"Aku selalu nahan-nahan diri ya Zi, tiap kali kamu bilang aku enggak ada buat mereka, aku enggak pernah ngakuin mereka, aku enggak pernah punya peran, aku selalu nahan buat enggak ngomong dan selalu diam aja!" Dada Marsha naik turun, napasnya terengah-engah sambil menunjuk-nunjuk wajah Azizi yang masih terkejut dengan rasa pedas yang sangat pekat di pipinya.

"Kamu serius ngomong aku enggak bisa jagain mereka? Serius kamu masih ngomong gitu? Berani kamu nanya gitu ke aku, Zi?!" Pekik Marsha. Matanya memerah menahan amarah, jeritannya barusan tentu saja mampu membuat orang-orang di sekitar tak tahan untuk tidak mengangkat ponsel dan menyalakan kamera. "Kalau aku enggak bisa jagain mereka, menurut kamu, siapa yang bikin mereka bisa segede sekarang?!"

Marsha menunjuk Gracie berkali-kali, sambil memegangi dadanya yang sesak. Dapat perlakuan seperti itu, tak ada yang bisa Gracie lakukan selain mundur beberapa langkah, untuk menyamarkan suara Mama yang menggelegar. Ia menunduk.

"Sha, udah." Alden mendesis, membiarkan Ashel membawa Cathy mundur dari sana.

"Emang kamu udah bener jagain mereka? Udah ngerasa sempurna ngejagain mereka? Udah merasa paling oke? Bapak mana yang ngerasa kayak gitu kalau tiap hari sehabis kamu cerain aku yang ada kamu cuma ngedoktrin anak-anakku untuk benci sama aku! Akses aku buat ketemu mereka aja kamu batesin, udah ngerasa bapak paling sempurna kamu?!"

"Sha..." Alden menggelengkan kepalanya. Serasa baru beberapa jam yang lalu ia duduk di antara Marsha dan Azizi yang sibuk mengancamnya dan menyumpah serapahi, kini, Alden harus kembali ada di tengah mereka—untuk melerai pertumpahan amarah Marsha saat ini.

"Diem kamu, Den." Marsha menoleh sebentar ke arah Alden, sewaktu kepalanya bergerak tetes-tetes air mata mulai berjatuhan ke pipi. "Kakak iparmu ini... paling bisa kalau soal jelek-jelekin Ibu dari anak-anaknya tapi lupa apa yang udah dia lakuin ke aku dan mereka dulu." Ketika Marsha berbicara, ia sekuat tenaga untuk tidak mengeluarkan isak sedikitpun.

"Sha, saya khawatir—"

"Oh, khawatir? Baru sekarang ngerasa khawatir?!" Marsha mengusap air matanya dengan kasar oleh lengan. "Pernah enggak dulu kamu khawatir ke aku sama Michie waktu Michie masih harus dirawat di Rumah Sakit karena lahir prematur? Pernah enggak dalam keadaan kamu masih enggak stabil kayak gitu, kamu masih harus mikirin biaya Rumah Sakit padahal duitnya udah diambil semua sama suaminya buat party-party sama senior Dokternya itu? Atau pernah enggak saking khawatirnya, Gracie lagi sakit—kamu gendong anak umur delapan tahun itu... lari-larian di pinggir trotoar karena demam tinggi sedang mobil satu-satunya yang ada di rumah lagi dipake Bapaknya buat kasih tumpangan ke senior waktu PPDS? Pernah enggak kamu kayak gitu? Kalau ngomongin khawatir, aku juga khawatir!"

Somewhere Far AwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang