Nadzar yang penuh penyesalan

185 4 0
                                    

"Akang, habis ini kita mau bulan madu kemana? Gak papa kang, sebagai ungkapan syukur, semua biaya biar Jingga yang tanggung" .

Glek.
Aku berusaha menelan saliva susah payah saat Jingga yang tengah menghapus make up sehabis resepsi ini berujar dengan menatapku dari pantulan cerminnya.

"Bulan madu?" Aku bertanya dengan mengerutkan kening, berpikir lebih jauh. Ah, boro-boro bulan madu, untuk menyentuhnya saja aku belum berani.

"Iya bulan madu, kang Ahmad mau kan bulan madu?" ujarnya beranjak mendekatiku yang tengah duduk ditepi ranjang dengan memainkan ponsel ditangan.

Semakin Jingga mendekat, aku berusaha menahan napas. Bukan karna grogi, tapi karena indra penciumanku begitu peka dengan aroma tubuh gadis itu. Cukup agak bau, mungkin karena selama ini kehidupan Jingga tidak luput dari aktivitas peternakannya, jadi aroma tubuhnya agak sedikit berbeda dari kebanyakan wanita yang aku kenal.

"Kang, kenapa diam aja?" Ia bertanya seraya duduk di sampingku.

"Boro-boro bulan madu, dekat dengan kamu aja akang harus tahan napas apalagi bulan madu? Mungkin napas akang sudah kehabisan neng. Mandi dong neng, kalau perlu sabunnya satu batang perhari, biar wangi"

Ingin aku mengatakan hal itu, tapi aku tak kuasa jika harus menyakiti wanita yang kini sudah menyandang status istriku. Takut tiba-tiba aroma tubuhnya mendadak menjadi wangi semerbak aroma mawar melati. Kan takut, iya takutnya dia jelmaan nyai pantai selatan.

"Neng, akang gerah nih. Akang duluan yang mandi ya?" Izinku berusaha untuk menghindar.

Tanpa menunggu persetujuan, aku berlari terbirit-birit memasuki kamar mandi hotel yang cukup megah ini. Ah seandainya aku tidak bernadzar seperti ini, aku mungkin saat ini hidupku masih baik-baik saja dengan segala aktivitas ku.

Flsback on.

"Kalau tahun ini aku masih gak lulus tes CPNS, akan aku nikahi perawan tua di desa ini" aku berucap dengan tegas seraya menatap buku-buku latihan soal seperti hari-hari biasanya sebagai persiapan menghadapi ujian tes CPNS yang akan diadakan seminggu lagi.

Sudah lima kali aku mendaftar, tetapi nihil. Aku masih saja belum lulus juga, padahal persiapanku sudah dikatakan matang. Belajar dengan giat, berkas sudah lengkap tapi apalah daya tangan tak sampai. Masih belum rezeki.

"Kalau ngomong gak usah sembarangan Mad, itu jatuhnya nadzar. Bapak gak tanggung jawab ya," ucap Bapak seraya menjitak kepalaku gemas.

"Yang benar saja, kamu mau menikahi juragan jingga? Anaknya almarhum mpok Alfa?" Sementara disampingnya, emak menyahut dengan pekikan kaget. Matanya melotot, kepalanya menggeleng-geleng tak percaya.

"Emang perawan tua di desa ini cuma dia doang mak?" Aku bertanya heran, sekaget itu kah bidadari tak bersayapku.

Bapak tersenyum mengejek, dari tatapannya aku menduga jika pertanyaanku itu akan mendapatkan jawaban yang tidak akan aku inginkan.

"Siapa lagi Mad, hanya dia. Semua gadis di desa ini kan gede dikit udah dinikahin, kalau enggak ya pada pergi ke kota. Ya, cuma dia. Kamu yakin?"

Nah kan, benar saja dugaanku.

"Biar saja Mak, biar bapak sendiri yang akan melamarkan untuknya nanti. Lagi pula, Sobari pamannya neng jingga itu sahabat dekat bapak pasti gak sulit buat dapatin restunya, ya walaupun keadaan kita jauh berbeda." ucap Bapak seraya tertawa sumbang.

Aku merenggut, "Gak akan terjadi itu, Ahmad pastikan. Tahun ini Ahmad akan lulus CPNS!" jawabku telak dengan penuh percaya diri.

Hari-hari berlalu, aku belajar dengan sungguh-sungguh hingga waktu tes tiba aku dengan mudah mengerjakan soal ujian tes tersebut.

Istriku Juragan JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang