55. Meski tak ingin usai

1K 61 4
                                    



~~~

Kalana termenung ketika sebuah bola kecil menggelinding mengenai kakinya, terantuk tepat pada mata kaki Kalana. Tak berapa lama seorang anak laki-laki berlari ke arah nya, dengan wajah riang yang juga nampak sedikit khawatir.

"Tante maaf ya bola Liam nakal banget, lali na jauh tampai kesini." Suara khas bocah kecil dengan beberapa kalimat yang belum bisa ia ucapkan dengan benar memasuki rungu Kalana. Si anak menunduk mengambil bola yang sebenarnya masih cukup kebesaran untuk ia pegang seorang diri meski sudah menggunakan kedua tangan nya.

"Gakpapa sayang, bola nya nggak nakal kok. Mama kamu mana?" tanya Kalana yang kini duduk berjongkok agar bisa menyamakan tinggi nya dengan si anak.

Kalana tersenyum manis, anak selucu ini selalu bisa membuat Kalana gemas.

Si anak menunjuk ke arah kanan dan agak sedikit membelakangi tempat dimana tadi Kalana berada, "Disana tante, lagi nemenin kakek."

"Tante anterin kamu ke mama ya, mau kan?" Meski sebenarnya jarak ibu si anak hanya berkisar beberapa meter, namun tetap saja Kalana tak akan membiarkan anak selucu ini berjalan seorang diri untuk kembali pada ibu nya.

Si anak hanya mengangguk singkat, kemudian tangan kanan nya segera Kalana ambil untuk di tuntun. Kalana sempat juga mengajukan diri untuk memegang bola nya agar tak kesusahan, tapi anak kecil tersebut bersikeras ingin membawa bola nya sendiri. Kalana turuti tentu saja, Kalana tahu anak kecil terkadang pasti ingin memegang mainan nya sendiri.

Selepas mengembalikan anak kecil tersebut pada ibu nya, Kalana berbalik, melangkah dengan pelan pada tempat ia berada sebelumnya.

Disana, dibangku taman rumah sakit, masih ada Ceilo yang sebenarnya sedari tadi duduk bersama Kalana.

Tadinya Ceilo meminta Kalana untuk berbicara berdua, dengan raut memohon Ceilo meminta waktu Kalana agar perempuan itu mau diajak bicara. Kalana mengiyakan, bukan karena rasa iba namun karena memang merasa jika ada suatu hal yang perlu dikomunikasikan, maka komunikasi kan lah sebelum semuanya menjadi kesalahpahaman seperti yang sudah-sudah.

Namun sampai dengan, mungkin kurang lebih lima belas menit berada di bangku taman, Ceilo masih bungkam. Mereka berdua hanya duduk, termenung, menatap lurus dengan pikiran masing-masing. Sampai dengan sebuah bola menggelinding mengenai kaki Kalana dan kemudian kehadiran seorang anak kecil, barulah keheningan tersebut terpecah.

"Kamu tau hal apa yang paling bikin aku hancur selain keluarga aku yang berantakan?" Ucap Ceilo secara tiba-tiba saat Kalana baru saja kembali duduk, bersisian dengan Ceilo di bangku taman.

Kalana tak menyahut karena rasanya Ceilo bukanlah tengah melontarkan pertanyaan, namun pernyataan.

"Waktu aku tau anak aku pergi. Saat Stefan ngasih tau kalau kamu lagi hamil, aku seneng banget. Rasanya kayak Tuhan ngasih anugerah buat aku ditengah kacau nya hidup aku, tapi nggak berapa lama Stefan ngehancurin impian aku dengan bilang kalau anak itu udah pergi. Anak aku udah ninggalin aku tanpa aku sempat tau kalau dia ada. Tapi semua bukan salah kamu, aku yang salah karena nggak becus sebagai ayahnya. Dendam bikin aku buta sama semuanya sampai aku lupa tentang gimana keadaan kamu." Ceilo menunduk, meski bersisian, namun mereka berdua tak saling pandang, hanya menatap lurus kedepan dengan mulut yang kini mencoba untuk mulai bersuara.

"Kalana, aku tau kesalahan aku sama kamu sangatlah besar. Aku sadar, sudah sepantasnya kamu benci sama aku. Tapi gimanapun aku harus tetap minta maaf sama kamu. Gakpapa kalau kamu nggak bersedia buat maafin aku, karena emang sudah seharusnya begitu. Minta maaf sama kamu itu ibarat sebagian kecil dari kewajiban aku sebagai orang yang punya banyak dosa ke kamu. Selama empat tahun ini aku nggak sempat satu kalipun benar-benar minta ampun sama kamu. Buat semua yang udah aku lakuin ke kamu, aku minta maaf Kalana." Ceilo melanjutkan untaian kalimat nya yang cukup panjang, menoleh ke arah Kalana yang berada di sisi kanan nya, menatap perempuan itu lirih walaupun bergantian, kini Kalana yang menunduk.

Like A StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang