10. Kontraksi

697 116 13
                                    

Siang ini suasana di rumah semakin mencekam seiring dengan rasa sakit yang dialami Jessica. Jennie tetap berada di sisi ibunya, meskipun rasa cemas tak henti-hentinya merayap di hatinya. Ia tidak bisa kemanapun lantaran kondisi Jessica tidak memungkinkan untuk ditinggal sendirian. Jaejoong dan Jisoo masih sibuk diluar. Setiap kali Jessica menggeliat menahan rasa sakit, Jennie hanya bisa menahan napas, berusaha keras untuk tetap tenang meski dirinya mulai goyah.

"Mom, gimana? Apa sakitnya tambah parah?" Jennie bertanya lagi dengan suara yang hampir bergetar, mencoba menutupi ketakutannya.

Jessica hanya menghela napas panjang sambil memejamkan mata.

"Ini cuma kontraksi biasa, Mommy bisa bertahan. Jangan khawatir. Kita tunggu Daddy mu pulang" jawabnya lemah, namun Jennie bisa melihat ibunya menahan kesakitan yang semakin lama semakin intens. Jennie tahu betul bahwa ini lebih dari sekadar kontraksi biasa. Perut Jessica tampak tegang, dan wajahnya semakin pucat.

Jennie, dengan penuh kekhawatiran, mulai merasa semakin panik. Rasa tak berdaya terus menghantui pikirannya. Ia sudah berulang kali menawarkan untuk membawa Jessica ke rumah sakit, tapi Jessica tetap bersikeras ingin bertahan di rumah. Jennie tahu ibunya keras kepala, tapi kali ini ketakutan dalam dirinya semakin membesar.

"Mommy, aku benar-benar takut. Bagaimana kalau ada yang salah? Kita harus ke rumah sakit sekarang" Jennie memohon lagi, suaranya semakin lemah, nyaris putus asa.

Namun Jessica tetap pada pendiriannya.

"Kita tunggu Daddy kamu sebentar lagi ya. Kalau nanti sakitnya tambah parah, baru kita pergi" katanya, meski terlihat jelas bahwa rasa sakitnya semakin tidak tertahankan. Jennie bisa melihat tangan ibunya yang mulai bergetar saat menggenggam sofa.

Waktu berlalu sangat lambat dan kontraksi yang dialami Jessica mulai datang lebih sering dan lebih kuat. Jennie menggenggam tangan ibunya lebih erat, mencoba memberikan dukungan sebanyak yang dia bisa, meskipun dia tahu, itu tidak cukup.

Setiap kali Jessica meringis kesakitan, Jennie bisa merasakan hatinya seolah ikut hancur.

"Mom, aku gak bisa begini terus. Aku gak sanggup lihat Mommy kesakitan kayak gini. Kita harus segera pergi ke rumah sakit" Jennie mendesak lagi, suaranya semakin cemas.

Jessica terdiam sejenak, napasnya tersengal-sengal. Setelah beberapa saat, dia membuka mata, menatap Jennie dengan tatapan lelah tapi penuh kasih.

"Jennie-ya jangan tinggalin Mommy. Mommy cuma butuh kamu di sini sekarang"

Namun, Jennie tahu lebih baik daripada terus menunggu. Ibunya terlihat semakin lemah, dan rasa sakit di wajahnya semakin nyata. Saat kontraksi berikutnya datang, Jessica meringis, tubuhnya tegang dan tangannya mencengkeram lengan Jennie dengan kuat.

"Mom, aku gak bisa nunggu lagi!" Jennie akhirnya berseru, ketakutannya berubah menjadi tekad. Ia mengambil ponselnya dan tanpa ragu menelepon ambulans.

"Mom, aku udah telepon ambulans. Kita harus pergi sekarang, gak bisa nunggu lagi. Aku gak mau sesuatu yang buruk terjadi sama Mommy dan adik bayi"

Jessica, terlalu lelah untuk menolak lagi, hanya bisa mengangguk pelan. Dia tahu, kali ini Jennie benar. Kontraksi semakin kuat, rasa sakitnya tidak lagi bisa ditahan.

"Baiklah, Kamu benar" bisiknya sambil mencengkeram tangan Jennie lebih erat.

Suara sirene ambulans mulai terdengar dari kejauhan, memberi sedikit rasa lega bagi Jennie. Tapi ketegangan masih menyelimuti dirinya. Ia membantu ibunya bangkit perlahan dari sofa, meskipun Jessica hampir tidak bisa berdiri tegak karena rasa sakit yang melilit perutnya. Jennie terus berada di sisi Jessica, menggenggam tangannya dan membisikkan kata-kata penenang, meskipun hatinya sendiri gemetar ketakutan.

Ketika paramedis datang, mereka segera membawa Jessica ke dalam ambulans. Jennie mengikuti di belakang, tidak mau meninggalkan ibunya sedetik pun. Di dalam ambulans, Jennie duduk di samping Jessica, memegang tangannya dengan erat. Detik demi detik terasa begitu menegangkan saat kendaraan melaju cepat menuju rumah sakit.

"Mom, semuanya akan baik-baik saja" bisik Jennie, meskipun dirinya sendiri tidak yakin sepenuhnya. Jessica hanya mengangguk pelan, napasnya semakin terengah-engah. Setiap kali ambulans terguncang di jalan, tubuh Jessica ikut gemetar menahan sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Jessica segera dibawa ke ruang bersalin. Jennie mengikuti di belakang dengan cemas. Dokter dan perawat mulai mempersiapkan proses persalinan dengan cepat. Rasa panik mulai memenuhi ruangan, dan Jennie, meskipun takut, terus berada di samping ibunya, tidak ingin membiarkan Jessica sendirian.

"Mom, aku di sini. Aku akan temani Mommy sampai adik bayi lahir" ucap Jennie, berusaha menenangkan ibunya, meskipun Jessica terlihat semakin kesakitan.

Dokter memeriksa kondisi Jessica dan memberikan instruksi untuk mulai mengejan. "Ibu, sudah saatnya. Tolong dorong sekuat mungkin"

Jessica mengangguk lemah, namun saat mencoba mengejan, rasa sakit yang luar biasa membuatnya nyaris menyerah.

"Nini, Mommy gak kuat lagi sayang" lirihnya dengan wajah penuh keringat.

"Mommy, Mommy pasti bisa. Ayo, aku di sini. Aku akan bantu Mommy. Bertahanlah" Jennie berusaha memberikan semangat, meskipun air mata mulai membasahi pipinya. Ia memegang tangan Jessica erat-erat, sambil mengusap rambut ibunya yang basah oleh keringat.

Jessica mencoba lagi, kali ini dengan seluruh tenaga yang tersisa.

"Aahh…!" teriaknya saat berusaha mengejan, wajahnya memerah karena usaha kerasnya. Jennie bisa merasakan tekanan dan ketegangan di ruangan itu, hatinya semakin kalut.

"Oeekk... Oeekk…" Suara tangisan bayi akhirnya terdengar, namun belum juga Jennie merasa lega, Jessica kembali mengalami kontraksi yang lebih hebat.

"Masih ada bayi kedua, Bu. Tolong dorong lagi" dokter memberi instruksi.

Jennie tetap berada di samping Jessica, memegang tangannya yang mulai gemetar. Jessica, dengan napas yang semakin berat, mencoba sekali lagi. Rasa sakit terlihat jelas di wajahnya, tapi dengan dorongan terakhir, suara tangisan bayi kedua pun akhirnya menggema di ruangan.

"Oeekk… Oeekk..."

Dokter segera meletakkan kedua bayi di dada Jessica, yang tersenyum meski wajahnya terlihat sangat lelah dan letih. Jennie, yang dari tadi berusaha tegar, tidak bisa lagi menahan tangisnya. Dia merasa lega, bahagia, tapi juga sangat takut atas apa yang baru saja terjadi.

"Mommy, aku. Aku gak tahu harus ngomong apa" kata Jennie sambil tersedu-sedu. Jessica, meskipun dalam kondisi lemah, mengangkat tangannya dan menyentuh wajah Jennie dengan lembut.

"Makasih nak, udah nemenin Mommy melewati ini" bisik Jessica dengan senyum tipis.














Tbc




Maaf guys telat, hampir aja lupa buat update soalnya tadi ada rapat dadakan.





Trouble Maker Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang