BAB 34

818 124 8
                                    

The Beach of Pain | Rindu terkadang jangan menggebu-gebu
.
.
.

Jeffrey duduk di ruang rapat utama kantornya, tangannya mengepal di atas meja. Berkas-berkas dokumen proyek menumpuk di hadapannya, namun tatapannya terpaku pada layar presentasi di depan ruangan. Di layar itu, William sedang menjelaskan detail tentang penyimpangan anggaran besar-besaran yang terjadi pada salah satu proyek perusahaan mereka.

“Jadi, posisinya sekarang seperti ini pak Jeffrey.” kata William, suaranya terdengar gugup. “Proyek pembangunan manufaktur baru yang dipimpin oleh Pak Rizal sudah resmi berhenti karena penyelidikan dugaan korupsi. Ada selisih angka yang besar, dan kita nggak bisa lari dari tanggung jawab ini.”

Jeffrey menutup matanya sejenak, menghela napas panjang. Rizal, kepala proyek mereka yang seharusnya bertanggung jawab, sekarang malah menjadi pusat masalah. Anggaran membengkak tanpa alasan yang jelas, laporan keuangan dipalsukan, dan sekarang proyek mereka menghadapi risiko pembatalan. Lebih buruk lagi, kepercayaan mitra bisnis mereka juga terancam.

“Pak Rizal sudah saya panggil untuk klarifikasi, tapi beliau belum muncul juga,” tambah William dengan nada pelan.

Jeffrey membuka matanya, menatap tajam ke arah William. “Kalau dia nggak muncul hari ini, pastikan dia nggak punya alasan untuk menghindar lagi. Kirim tim hukum kita untuk panggil dia secara resmi. Ini bukan lagi soal uang, tapi reputasi perusahaan.”

William mengangguk, tapi raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya yakin situasi bisa diselesaikan dengan mudah. “Baik, Pak. Tapi kita juga harus antisipasi kemungkinan pihak klien membawa masalah ini ke ranah hukum.”

Jeffrey meremas pangkal hidungnya. Proyek manufaktur itu adalah salah satu yang terbesar dan terpenting untuk perusahaan teknologi yang ia pimpin, landasan ekspansi masa depan mereka. Dan kini semuanya berantakan.

“Pak.” suara William memecah lamunannya. Ia mendekati Jeffrey sambil menyodorkan sebuah ponsel. “Ini tadi handphone Bapak sempat ketinggalan di toilet.”

Jeffrey menghela napas panjang, meraih ponsel itu sebentar sebelum mengembalikannya ke tangan William. “Kamu simpan dulu saja, kalau ada yang penting langsung hubungi saya."

William mengangguk, menatap Jeffrey dengan tatapan prihatin. “Beberapa hari kebelakang, Bu Rose sempat menelepon dan menghubungi bapak."

Jeffrey terdiam sejenak. Mendengar nama istrinya membuat sesuatu di dalam dirinya mencelos. Ia tahu Rose pasti khawatir. Ia juga tahu sudah dua hari ini ia sama sekali tidak menghubungi istrinya, bahkan untuk sekadar memberi kabar.

“Kalau Rose telfon lagi, bilang saya baik-baik saja. Katakan padanya jangan khawatir. Nanti malam saya akan telepon.” ujar Jeffrey pelan. Suaranya tegas, tapi ada rasa bersalah yang terselip di sana.

“Baik pak.”

- mbw -

Pesawat membawa Rose mendarat di Bali sore itu, tepat saat langit memerah dan matahari perlahan turun ke cakrawala. Pemandangan indah itu seharusnya bisa menenangkan hatinya, tapi entah kenapa, yang ia rasakan justru sebaliknya.

Kosong.

Bahkan suara deburan ombak dan aroma khas garam laut yang menyelimuti udara tak mampu mengalihkan pikirannya dari Jeffrey.

Sudah dua hari sejak Jeffrey pergi tanpa kabar, dan ini bukan pertama kalinya Rose merasa ditinggalkan. Perasaan itu mengingatkannya pada masa kecil mereka, ketika Jeffrey tiba-tiba pergi tanpa memberi tahu apa pun.

Rose masih ingat hari itu dengan jelas. Ketika ia berumur sembilan tahun, dan Jeffrey sebelas. Mereka adalah teman dekat, tetangga yang selalu menghabiskan waktu bersama. Jeffrey sering mengajarinya matematika, sementara Rose selalu membawakannya bekal dari dapur ibunya.

MBW || jaeroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang