Jaemin menatap dingin pada Siwon yang kini tak berdaya dan hanya ia lempar ke dalam mobil tak peduli ia terjatuh di lantai mobil Mark dengan keras, seluruh kemarahan yang terpendam dalam dirinya belum puas terlampiaskan.
Giselle datang membawa mobil yang dipakai Jeno sebelumnya. Jaemin mendekat ke mobil, meletakkan Jeno dengan hati-hati di kursi belakang. Sementara itu, Ivy dan Karina bergerak cepat, memeriksa luka-luka Jeno dengan cemas sebelum memberi isyarat kepada yang lain bahwa mereka harus segera meninggalkan tempat itu.
"Let's get out of here," Ivy berkata tegas, lalu menatap Jaemin. "You did what you had to, Jaemin. Sekarang giliran kita memastikan Jeno tetap hidup."
Jaemin mengangguk, menguatkan diri, namun tetap memegang erat tangan Jeno yang lemah, seolah tak ingin terpisah. Johnny dan Jaehyun segera mengambil posisi di bagian depan menggantikan Giselle yang ikut membantu memberikan potion untuk menghentikan pendarahan Jeno. Suara mesin mobil lapis baja itu menggema, seakan menjadi peringatan terakhir bagi siapa pun yang masih mencoba mengejar mereka.
***
Di dalam mobil, keheningan tegang menggantung saat tim mencoba mengendalikan emosi mereka. Mark duduk di samping Doyoung, mengamati Siwon yang tak sadarkan diri di sudut lain mobil dengan tatapan penuh kebencian. Meski sudah mengamankan Siwon, ada perasaan yang menggantung di dada mereka semua — ketidakpastian akan kondisi Jeno.
Mobil melaju melewati rintangan terakhir yang ditinggalkan oleh anak buah Siwon, meninggalkan jejak kehancuran di belakang mereka. Di basecamp, tim medis sudah bersiap menyambut mereka, namun Jaemin tidak memedulikan itu. Fokusnya hanya satu — memastikan Jeno tetap bersamanya.
Dalam perjalanan kembali ke basecamp, suara mesin mobil berdengung rendah, dan suasana di dalam mobil diliputi keheningan cemas. Jaemin duduk di samping Jeno yang terbaring lemah, wajahnya pucat, napasnya pendek dan tak beraturan. Detik demi detik berlalu dengan ketegangan yang kian terasa berat, sementara Jaemin tak melepaskan genggaman tangannya, takut jika ia lengah, Jeno akan meninggalkannya untuk selamanya.
Namun tiba-tiba, kelopak mata Jeno mulai bergerak. Jaemin, yang selalu siaga di sampingnya, langsung menyadari gerakan itu. Jeno membuka matanya perlahan, tatapannya kabur dan lemah, tetapi saat pandangannya menangkap wajah Jaemin, sebuah senyum samar muncul di wajahnya yang pucat.
"Jeno... kau sadar?" bisik Jaemin, matanya berkaca-kaca dengan perasaan haru dan cemas bercampur.
Jeno tidak menjawab langsung, dan Jaemin menahan napas, berusaha mendengarkan apa pun yang mungkin diucapkan sahabatnya itu. Dengan sisa kekuatan yang nyaris habis, Jeno menggenggam tangan Jaemin perlahan, jarinya bergerak pelan, dingin, namun erat. Tatapannya tertuju lurus pada Jaemin, penuh dengan ketulusan dan sesuatu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bibirnya bergerak, berusaha membentuk kata yang nyaris tak terdengar.
"I... love you, Jaemin," bisiknya lirih, napasnya tersendat di tengah kalimat itu, namun cukup jelas bagi Jaemin yang mendengarkannya dengan penuh perhatian.
Jaemin terpaku, jantungnya berdebar hebat mendengar ucapan itu. Namun, sebelum ia sempat merespons, melihat ke dalam mata Jeno yang mengaburkan seluruh perasaannya, Jeno kembali kehilangan kesadaran. Kepalanya terkulai lemah di sandaran, napasnya kembali lemah, nyaris tak terdengar. Giselle yang melihat reaksi Jaemin menyadari kondisi Jeno yang memburuk, dengan cepat memeriksa kondisi Jeno.
"Jaehyun, faster!! Jantungnya tak bisa berdetak sendiri, organnya akan mulai shut-down jika terus seperti ini.!" Teriak Giselle pada Jaehyun yang mengemudikan mobil mereka.
Jaehyun langsung mempercepat laju mobilnya, beruntungnya malam itu jalanan lumayan sepi dan mereka sudah dekat dengan basecamp.Saat mobil berhenti di basecamp, para tim medis segera menyambut untuk membawa Jeno masuk ke ruang perawatan darurat. Jaemin mengikuti dari belakang, langkahnya berat namun tatapannya penuh tekad. Kata-kata terakhir Jeno masih terngiang di telinganya, menguatkannya untuk tetap bertahan demi Jeno.
***
Ketika tim medis menempatkan alat pemindai medis darurat di atas tubuh Jeno, layar menunjukkan hasil yang mengejutkan. Paru-parunya hampir kolaps, dan beberapa tulang rusuknya patah, menciptakan ancaman lebih besar pada organ-organ vitalnya. Namun yang paling membuat para dokter tercengang adalah detak jantung Jeno yang sempat hilang — seakan-akan kematian hendak merenggutnya, tetapi tak berhasil sepenuhnya.
Meski berada di ambang antara hidup dan mati, ada yang tak biasa pada tubuh Jeno. Hasil pemindaian menunjukkan keanehan: ada sel-sel asing yang tampaknya bekerja keras untuk memperbaiki jaringan-jaringan rusak di tubuhnya. Mutasi yang telah lama menyatu dengan tubuhnya sekarang bekerja keras, seolah menjadi kekuatan misterius yang menopangnya meski sekarat. Sel-sel itu seakan berperan sebagai lapisan tambahan, memperbaiki sedikit demi sedikit jaringan yang terkoyak tanpa bantuan apa pun.
Jaemin berdiri di luar ruangan tempat mereka membawa Jeno, tatapannya kosong menatap pintu di depannya yang tertutup rapat. Detik bergulir lambat, setiap ketukan jarum jam terasa seperti dentuman keras di kepalanya, sementara suasana di sekitarnya mengabur, tercekik oleh kecemasan yang tak kunjung reda. Tubuhnya tampak tegang, kedua tangan mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, seolah-olah dengan itu ia bisa menahan ketakutan yang bergemuruh di dalam dadanya.
Namun, seiring waktu berlalu tanpa kepastian, pikiran Jaemin mulai berputar. Ia tak tahu apakah Jeno masih hidup, atau apakah sahabatnya itu masih punya kesempatan untuk melihat matahari terbit esok hari. Pikirannya mulai tergelincir ke arah ketakutan yang makin dalam.
Bayangan tentang kenangan mereka mengusik di benaknya, seakan menyeruak menjadi angan-angan kelam yang merobek ketenangannya. Ia mengingat tawa Jeno, tatapan hangatnya, ucapan "I love you" yang baru saja ia dengar di dalam mobil tadi. Perasaan bersalah dan ketidakberdayaan melingkupinya, membuat dadanya terasa semakin berat. Jika Jeno tidak selamat... jika Jeno pergi tanpa kata perpisahan lagi... semua itu menghantui Jaemin hingga membuat pikirannya nyaris tak waras.
"Seharusnya aku bisa melindungimu..." bisik Jaemin kepada dirinya sendiri, suaranya terdengar getir. Satu per satu pikirannya berubah menjadi kegilaan, mencambuk batinnya. Ia ingin masuk, ingin melakukan apa pun untuk membantu Jeno bertahan, tetapi ia tak bisa berbuat apa-apa, hanya terperangkap di luar, menunggu dengan putus asa.
Sekali lagi, Jaemin terhanyut dalam pusaran pikirannya yang semakin gelap, membayangkan skenario terburuk, dan setiap kali bayangan itu muncul, hatinya terasa seperti tercabik-cabik. Perlahan, tanpa ia sadari, tubuhnya mulai gemetar, dan napasnya tersengal, semakin tenggelam dalam teror yang memakannya dari dalam. Jika Jeno tidak selamat, bagaimana ia bisa memaafkan dirinya sendiri?
Pikiran kalut Jaemin buyar seketika saat merasakan tepukan ringan di pundaknya. Ia tersentak, mendapati Karina berdiri di sampingnya sambil mengangkat kotak medis, ekspresinya tenang namun penuh perhatian. Jaemin menatap Karina dengan bingung, baru menyadari bahwa tubuhnya penuh luka dan memar, darah di lengannya sudah mengering namun masih terasa perih. Dalam diam, Karina menuntunnya untuk duduk, meletakkan kotak medis di dekatnya sambil memberikan pandangan tegas yang membuatnya tak bisa menolak.
Tanpa sepatah kata pun, Karina merobek sisa baju Jaemin yang sudah compang-camping, mulai membersihkan luka-luka yang tersebar di lengannya, terutama di sekitar buku-buku jarinya yang memerah dan membengkak akibat pukulan bertubi-tubi yang ia layangkan ke wajah Siwon tadi. Setiap sentuhan kain alkohol yang disapukan Karina membuatnya tersentak, namun ia menahan diri, tak mengeluh, dan hanya menatap kosong ke depan, pikirannya masih tergantung di antara kecemasan yang tak henti merongrong batinnya.
Karina bekerja dengan tenang, tangannya cekatan dan hati-hati, membalut luka-luka Jaemin satu per satu. Ia tahu tidak ada kata-kata yang tepat untuk menghibur Jaemin saat ini, jadi ia hanya memberikan kehadiran yang diam namun mendukung. Saat Karina melilitkan perban terakhir di lengan Jaemin, ia menepuk bahu Jaemin dengan lembut, seakan mengatakan bahwa meskipun situasi tak menentu, Jaemin tidak sendiri.
Jaeminmenarik napas dalam, menatap perban-perban di lengannya, namun tetap takberkata apa pun. Dalam hati ia berterima kasih atas kehadiran Karina, meskipunrasa takutnya pada kondisi Jeno masih meresap kuat di benaknya.
To Be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Bond IN Bondage S2 || Nomin~
Fanfiction"Take one more step and I swear I'll kill you." Ujar Jaemin dengan raut wajah tenang namun membawa nafsu membunuh di matanya. "Be good and I'll bring you to Cloud Nine." Ujar Jeno. _BXB _Boys Love _Hardcore _BDSM _Torture _Punishment _Thriller BUKAN...