Jeno mendengus begitu ia melihat Irene memasuki ruangannya.
"Apa kau tahu pasien butuh ketenangan? Tidak baik jika terlalu seringdikunjungi." Keluh Jeno.
Irene hanya membalas nya dengan senyum datar tak mengabaikan keluhannya, "Oh ya? Katakan itu pada orang yang pulang dengan puluhan peluru dalam tubuhnya. Lagipula aku hanya bisa datang ketika Jaemin sedang keluar, karena kau tak akan mau dia khawatir." Sambil menjetik kepala Jeno.
Jeno hanya menghela nafas dan menyodorkan lengannya pada Irene. Ia tahu bahwa Irene mengunjunginya untuk mengecek keadaannya. Ia sudah sadar sejak dua hari yang lalu, namun dikarenakan tegangan listrik yang digunakan untuk menghidupkannya kembali membuat hampir seluruh otot Jeno menegang.
"Kapan aku bisa keluar dari sini? Aku sudah baik-baik saja. Lihatlah." Ia memutar-mutar tangan satunya menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
Irene mendengus, "Saat kau bisa melakukan hal yang sama dengan kakimu." Balas Irene singkat.
Jeno hanya bisa mengerutkan kening mendengar jawaban Irene. Ia menatap kaki yang masih terasa berat dan sulit digerakkan. Di dalam hatinya, ada sedikit frustrasi yang perlahan muncul. Namun, ia tahu Irene tak akan mengizinkannya keluar sebelum benar-benar pulih.
"Jadi aku harus menunggu sampai bisa menari atau bagaimana?" sindir Jeno, mencoba bercanda untuk menyembunyikan kekesalannya.
Irene tertawa kecil, menepuk bahu Jeno dengan lembut. "Kalau kau cukup baik untuk menari, mungkin aku akan mempertimbangkan melepasmu lebih cepat," jawabnya, tetap dengan nada yang tak kalah sarkastik. "Tapi, sampai saat itu tiba, kau harus menjalani fisioterapi secara teratur. Ingat, tegangan listrik yang kami pakai untuk memulihkanmu itu bukan hal ringan, Jeno."
Jeno menghela napas panjang. Meski ia ingin melawan, bagian dari dirinya tahu bahwa Irene benar. Tubuhnya memang telah melalui banyak hal, dan ia sendiri bisa merasakan bahwa kekuatannya belum sepenuhnya kembali. "Baiklah, aku akan menunggu... dan menjalani terapi yang kau katakan itu," gumamnya, menyerah untuk sementara waktu.
Irene tersenyum puas, lalu mengambil alat medis untuk mengecek denyut jantungnya. "Bagus, seperti itu lebih baik. Semakin kau bekerja sama, semakin cepat pula proses pemulihanmu."
Jeno memperhatikan Irene yang bekerja dengan telaten, lalu bertanya, "Jadi, siapa yang sudah mengurusku selama aku koma?"
Irene menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Orang-orang yang sangat mengkhawatirkanmu. Jaemin terutama. Dia bahkan hampir tak pernah meninggalkan ruanganmu."
Jeno tersenyum tipis, mengingat wajah Jaemin yang setia menemaninya. Ada perasaan hangat yang muncul dalam hatinya, seolah kehadiran Jaemin menjadi penyembuh tersendiri. "Ya, aku tahu dia selalu ada di sini," gumamnya pelan. "Dia memang keras kepala."
Irene mengangguk, setuju. "Kau dan dia—keras kepala kalian cocok. Tapi ingat, mereka semua mengandalkanmu. Jadi, pulihlah dengan baik, Jeno. Jangan buat mereka lebih khawatir."
Setelah menyelesaikan pengecekan, Irene berdiri dan membereskan peralatannya. Sebelum keluar ruangan, ia berbalik dan menatap Jeno dengan serius. "Ingat kata-kataku, Jeno. Pulihlah bukan hanya untukmu, tetapi untuk mereka yang telah memperjuangkan kesempatan kedua ini untukmu.". Jeno mengangguk, menerima pesan itu dalam-dalam.
***
Jaemin menyiapkan handuk dan air hangat untuk membasuh tubuh Jeno yang belum bisa terguyur air secara langsung. Ia melihat Jeno yang mengulurkan tangannya dari tempat tidur sudah bertelanjang dada, siap untuk disentuh Jaemin.
Bekas aliran listrik yang masih berbekas jelas di kulit Jeno membuat Jaemin ekstra hati-hati ketika akan membasuh tubuh Jeno. Irene menjelaskan bahwa hal ini karena sekarang tubuh Jeno memiliki tidak hanya elektrolit yang mengandung aliran listrik tapi juga aliran listrik yang secara langsung mengalir mengitari pembuluh darahnya. Meskipun aliran listrik itu tidak sekuat yang dialirkan ketika pemulihan Jeno dan akan meredup seiring waktu, Jaemin tetap berhati-hati untuk membasuh Jeno.
Ketika Jaemin sudah hampir selesai dengan bagian atas tubuh Jeno, pikirannya kembali begitu ia menyadari bahwa ia perlu membasuh bagian bawah Jeno pula. Ia melihat ke bagian selimut yang masih menutupi bagian bawah Jeno.
"Kenapa kau malu-malu? Aku pikir kau sudah terbiasa melihat tubuhku." Cetus Jeno mengetahui pikiran Jaemin.
"Ya, aku terbiasa dengan tubuh Jeno yang kutemui 6 bulan yang lalu." Membalas Jeno dengan side eye-nya.
"Oh? Apa aku perlu membiasakanmu dengan tubuhku lagi? Dari awal?" Jeno bertanya dengan setengah serius. Ia tak menyangka Jaemin benar-benar tidak terbiasa lagi dengan tubuhnya. Apa tubuhnya benar-benar berubah? Ia berpikir tubuhnya hanya menambah bekas seperti petir yang mengalir disekujur tubuhnya, selain itu juga otot-ototnya yang lebih keras dari sebelumnya akibat aliran listrik itu.
Jaemin ingin tertawa melihat ekspresi Jeno yang tak percaya.
"Wait, sekarang aku kepikiran. Aku koma selama 6 bulan, apa yang kau lakukan untuk memuaskan dirimu? Apa kau bahkan tidak melakukan apa-apa selama 6 bulan ini? Dengan tubuh yang sudah kulatih, aku rasa kecil kemungkinan kau bisa menahannya selama itu. Jadi sebenarnya apa yang kau lakukan, Jaemin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bond IN Bondage S2 || Nomin~
Fanfiction"Take one more step and I swear I'll kill you." Ujar Jaemin dengan raut wajah tenang namun membawa nafsu membunuh di matanya. "Be good and I'll bring you to Cloud Nine." Ujar Jeno. _BXB _Boys Love _Hardcore _BDSM _Torture _Punishment _Thriller BUKAN...