Valda Carlyle dan teman-temannya berkemah di puncak Gunung Yves, tempat indah yang ternyata menyimpan kengerian. Satu demi satu temannya menghilang, dan Valda mendapati dirinya terjebak dalam permainan mematikan yang dirancang oleh seorang pembunuh...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Max semakin terseret dalam intensitas panas yang memenuhi udara di sekitar mereka. Dengan penuh gairah, ia menelusuri lekukan tubuh Vanesha, bibirnya bergerak lembut tapi penuh kekuatan, mencumbu kedua gundukan Vanesha secara bergantian. Sentuhan bibirnya tak hanya membangkitkan gejolak di dalam dirinya sendiri, tetapi juga memicu lenguhan yang keluar dari bibir Vanesha. Suaranya menggema, seolah menegaskan kehadiran Max yang berkuasa atas setiap sentuhan.
Max melanjutkan, merasakan kelembutan kulit Vanesha, mencipta irama yang semakin mempertegas otoritasnya. Setiap desah yang terlepas dari Vanesha menambah intensitas di antara mereka, membuat keinginan itu tak bisa lagi disangkal, membakar atmosfer menjadi semakin mendebarkan.
"Ah, Max ..." desah Vanesha dengan suara lembut yang penuh hasrat.
Mendengar panggilannya, Max mengendurkan tautan bibirnya dari puting Vanesha, meninggalkan jejak kemerahan yang menggoda di sana. Ia menatap Vanesha dengan seringai nakal, mata kelamnya menyiratkan hasrat yang belum tersalurkan.
Dalam udara yang terasa begitu panas, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu masuk, mengganggu aktivitas yang sedang dilakukan Max dan Vanesha. Max menggeram pelan, merasa terganggu.
"Tuan ... Ini saya, Bard. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang penting," suara dari luar terdengar, membuat Max mendesah kesal. Dia menurunkan tubuh Vanesha ke samping. Sementara itu, wanita itu segera meraih gaunnya dan menunggu Max yang bangkit dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu.
Tatapan Vanesha hanya mengikuti punggung Max sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya. Sambil membenahi gaunnya, matanya mencari kesempatan untuk mengamati ruangan itu, termasuk logo Nexus yang terpasang di sana.
Sambil memperhatikan ruangan dengan logo Nexus yang terpampang jelas di dinding, Vanesha menangkap samar-samar percakapan antara Max dan Bard. Nada suara Bard terdengar tegang, sementara jawaban Max mengandung kemarahan yang terpendam. Wanita itu tersenyum tipis, menikmati ketegangan yang terjadi, setelah selesai Max menutup pintu dengan keras dan melangkah cepat ke arahnya.
“Ada apa?” tanya Vanesha, alisnya sedikit terangkat, berusaha menebak apa yang membuat pria itu terlihat begitu gusar.
Max menatapnya dengan intens, mata abu-abu gelapnya menyala penuh kecurigaan. Tanpa menjawab, ia mendekat, seolah mencoba menyingkap kebenaran dari ekspresi Vanesha.
“Apa kau memanggil mereka?” suaranya dingin, hampir seperti desis ular.
“Siapa?” Vanesha balas bertanya, tatapannya polos, tetapi ketegangan di udara tidak bisa diabaikan.
“Anggota timmu ... FBI. Apa kau memanggil mereka ke sini?” Max menekankan setiap kata, rahangnya mengeras.
“Oh ... Untuk apa? Aku wanita tangguh,” jawab Vanesha, bibirnya melengkung membentuk senyum sinis yang membuat Max mendengus kesal.