Hugging love, having sex until my vagina is swollen is the special way love works
"Aku hanya berharap segala hal yang ada di sini dapat kulaporkan ke agensiku,"suara lembut itu mengalun, membawa sentuhan menggoda yang seolah menari di udara. Kalimat itu menggema dalam keheningan kamar, diiringi cahaya fajar yang perlahan merangkak melalui celah tirai jendela, menciptakan pola bayangan lembut di lantai kayu.
Sosoknya melangkah anggun, seolah setiap gerakan adalah bagian dari tarian yang terlatih. Handuk putih yang melilit tubuhnya membingkai lekuk tubuhnya dengan sempurna, menyisakan kilauan kulit yang lembap sehabis mandi. Rambut panjangnya yang masih basah menjuntai, meneteskan butir-butir air yang perlahan meresap ke dalam kain halus itu.
Max sibuk merapikan ranjang yang berantakan, jejak persetubuhan mereka masih terasa di udara kamar yang remang-remang. Jemarinya cekatan menarik selimut yang kusut, melipatnya dengan gerakan kaku, sementara bau samar parfum Vanesha bercampur dengan aroma tubuh mereka masih melekat. Di tengah kesibukannya, Max berhenti sejenak. Matanya yang tajam melirik ke arah Vanesha, yang berdiri tak jauh darinya dengan santai, tampak tak terpengaruh oleh suasana.
"Kau terdengar seperti mengancamku," ucap Max dingin, suaranya rendah namun cukup tajam untuk memotong keheningan di antara mereka.
Vanesha hanya terkikik pelan mendengar komentar itu. Nada tawanya ringan, tetapi mengandung sesuatu yang membuat bulu kuduk berdiri-sebuah campuran antara godaan dan ancaman tersembunyi. Ia membelai rambut panjangnya yang terurai, membuat beberapa helai jatuh menutupi bahunya yang telanjang.
"Hmm, kau pikir begitu?" balasnya dengan senyum kecil yang menggoda, matanya bersinar seperti seseorang yang tengah bermain-main dengan mangsanya.
"That's a correct guess."Max mendengus, suara beratnya terdengar jelas dalam keheningan kamar. Dengan gerakan tegas, dia sepenuhnya membalikkan tubuhnya, kini berdiri menghadap Vanesha yang hanya berjarak beberapa langkah darinya. Matanya yang tajam memancarkan ketidaksabaran, seperti bara api yang siap meledak kapan saja.
"Jangan bermain-main denganku, Nona,"ucapnya dengan nada rendah dan penuh peringatan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya mengandung ketegasan, seolah dia sedang menarik batas yang tidak boleh dilanggar.
Namun, bukannya gentar, Vanesha justru terkekeh pelan. Tawa itu ringan, tapi penuh dengan provokasi, seperti melodi dari seseorang yang tahu persis cara mengendalikan situasi. Dia memiringkan kepalanya, memperlihatkan leher jenjangnya yang halus, sebelum matanya yang tajam bertemu dengan tatapan Max. Di balik mata itu, ada sorot keanggunan yang dipadukan dengan kelicikan, seperti seekor kucing yang bermain dengan tikus sebelum memangsanya.
"Aku suka bermain," balasnya lembut, tetapi nada suaranya penuh dengan tantangan yang terselubung. Bibirnya melengkung membentuk senyuman kecil, seolah dia menikmati setiap detik ketegangan yang menggantung di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Death Peak
Mystery / ThrillerValda Carlyle dan teman-temannya berkemah di puncak Gunung Yves, tempat indah yang ternyata menyimpan kengerian. Satu demi satu temannya menghilang, dan Valda mendapati dirinya terjebak dalam permainan mematikan yang dirancang oleh seorang pembunuh...