𝟒𝟖. 𝐒𝐮𝐝𝐝𝐞𝐧 𝐏𝐥𝐚𝐧 (𝐅𝐥𝐚𝐬𝐡𝐛𝐚𝐜𝐤)

39 5 0
                                    

Disclaimer
Author ingin meminta maaf sebesar-besarnya atas kesalahan fatal yang terjadi. Aku benar-benar tidak menyangka bisa lupa dengan salah satu karakter, padahal sudah berusaha menulis cerita ini dengan sebaik dan sedetail mungkin. Namun, sebagai manusia, tentu saja aku tidak luput dari kesalahan.

Dengan sangat berat hati, aku ingin menyampaikan bahwa karakter yang tiba-tiba hilang, Willow Madison, terpaksa aku hapus. Hal ini karena cerita sudah terlanjur berjalan cukup jauh, dan aku merasa sulit untuk mengintegrasikannya kembali.

Sekali lagi, aku mohon maaf atas kekurangan ini. Terima kasih atas pengertian kalian semua!

.

.

.

____________________________________

A whisper that conveys anxiety

"Apa salahnya melakukan itu dengan suami sendiri?" 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Apa salahnya melakukan itu dengan suami sendiri?" 

Pernyataan yang keluar dari bibir Vanesha membuat keterkejutan terlukis jelas di masing-masing wajah yang mendengarnya. Reaksi mereka beragam, penuh pemahaman yang berbeda-beda. Namun, di antara semua, Valda adalah yang paling terkesiap. Sebagai adik yang mengenal kakaknya dengan baik, ia tak menyangka Vanesha akan mengucapkan hal seperti itu. 

"Apa maksud Kakak dengan itu?!" sergah Valda dengan nada tinggi. Ia tahu persis tragedi yang menimpa suami Vanesha lima tahun lalu—tragedi yang membuat sang kakak harus kehilangan suaminya dalam kondisi yang begitu memilukan. Tetapi, apa-apaan ini? Mengapa Vanesha tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang begitu tak terduga? 

Valda merasa tubuhnya menegang. Ingatannya melayang pada peristiwa kelam itu, yang membuat hidup Vanesha berubah selamanya. Namun, sekarang, seolah tak ada beban, kakaknya justru mengucapkan kalimat itu dengan nada ringan, bahkan ... penuh keyakinan. 

Vanesha hanya menatap Valda dengan tatapan yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung membentuk senyum samar, tetapi matanya tetap tak menggambarkan emosi. Ia tidak menjawab, membiarkan pertanyaan Valda menggantung di udara yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya. 

Vanesha kemudian dengan lembut menepuk pundak Valda, seolah memberikan isyarat agar adiknya tenang. Tanpa memberi kesempatan untuk membalas, ia segera mundur beberapa langkah. Dengan gerakan yang santai namun penuh percaya diri, Vanesha mulai berjalan mengitari ruangan luas yang memancarkan kemewahan dari setiap sudutnya.

Vanesha mengusap permukaan meja kayu mahoni dengan ujung jarinya, senyuman tipis menghiasi wajahnya. Matanya memindai ruangan, seolah mencari sesuatu yang menarik perhatian.

Death PeakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang