23

18.5K 984 13
                                    

×××××

"Ini desanya?"tanya Calista setelah tiba di depan sebuah gerbang atau pintu masuk desa bernama 'Desa Biburi' bisa Calista lihat saat ia memasukinya, terlihat segar dan tak tercemari asap maupun bau sampah.

"Disini udaranya segar yah dibanding di kota"puji Calista sebari beberapa kali menghirup udara segar.

Olivia tersenyum manis menatap sekilas ke arah Calista yang menikmati semilir angin.

"Yah, karena disini, warga tak ada yang mempunyai kendaraan juga dilarang keras menggunakan kendaraan bermesin"jawab Olivia.

Calista terus mengelus perutnya masih terasa sakit namun tak terlalu sesakit tadi saat dihutan.

"Nona mari, anda perlu istirahat"Olivia menuntunnya memasuki sebuah rumah sederhana berbahan kayu.

Ia duduk sebari menatap kepergian Olivia setelah itu kembali mengusap perutnya.

'Anak gue belum makan yah? Aduh gimana nih, gue mau minta tapi gue malu, setiap manusia kan punya rasa malu kalau nggak punya bukan manusia namanya' batin Calista.

Tak lama, seseorang masuk lagi ke kamar saat ini Calista berada, tapi bedanya orang itu membawakan sepiring makanan dan segelas air putih.

Makanan dan minum itu diletakkan di depan Calista sedari tadi menatap bingung Olivia.

"Untuk apa ini?"tanya Calista bengong.

"Untuk di makan nona"jawab Olivia, kan memang benar untuk dimakan?

"Maksud saya, kenapa kamu naro makanan di hadapan saya? Dan siapa yang memakannya?"tanya Calista masih loading.

"Ini untuk anda nona, saya tau anda lapar jadi saya memberikan anda makanan"jawab dengan sabar Olivia.

Akhirnya Calista mengangguk mengerti. "Oh, makasi yah"

"Yah nona"

*****

Seorang pria menuruni sebuah mobil ber miliaran dengan tampang dinginnya juga tatapan tajam membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa ketakutan.

"Telusuri setiap tempat, ada orang bunuh"perintah pria itu di angguki anak buahnya berbadan kekar dan tinggi besar.

"Baik tuan"jawab mereka serempak namun pelan.

Suruhan pria itu mulai melaksanakan perintahnya dan dia hanya menatap mereka yang melaksanakan tugas itu.

Ia menatap tangan kanannya juga mengerti arti tatapan itu, mereka berdua meninggalkan tempat itu menuju ke dalam rumah terlihat menyeramkan tapi tak ada artinya bagi mereka.

"Bagaimana bisa!?"suara teriakan disertai berang pecah terdengar di sebuah ruangan.

"Hanya seorang wanita kalian tidak becus mengawasinya! Cepat cari wanita itu, jika sampai kalian tak menemukannya habis kalian!"titah pria itu dan langsung di angguki mereka cepat.

Mereka segera pergi dari sana.

Pria pelempar kaca tadi mendengus dan kembali duduk dengan kaki diletakkan di atas meja. Tak tau saja, apa yang akan terjadi padanya nanti.

Dan untuk anak buahnya, mungkin dia bisa melihat hanya untuk terakhir ini saja.

Segerombolan pria berjalan membuat pria dan tangan kanannya itu mengumpat di balik tembok. Di sana memang ada lorong namun gelap.

Mereka berdua bisa mendengar percakapan mereka yang membicarakan seorang wanita lolos dari pengawasan mereka.

Hal itu membuat seorang pria mengepalkan tangannya hingga urat urat leher dan nadinya menonjol.

Dia maju kemudian memberikan satu bogeman pada salah satu pria di rombongan itu hingga terjatuh dan membentur lantai setelah itu tak ada lagi pergerakan, mungkin pingsan.

Saat itu juga terjadi perkelahian dengan jumlah tak seimbang, dimana pria tadi hanya berdua sedangkan gerombolan mereka lawan berjumlah sepuluh orang.

Bugh

Bugh

"Shit"pria bermanik mata hazel itu mengumpat setelah ia lengah hingga mendapat sebuah pukulan dibagian rahangnya.

Tetapi dia kembali melanjutkan memukul mereka hingga sepuluh pria itu terbaring tak berdaya dilantai dengan ada begitu banyak muntahan darah.

Ia mengusap ujung bibirnya terdapat darah kemudian menoleh kearah tangan kanannya yang sedikit babak belur.

Dia yang merasa dilihat oleh tuannya pun semakin menundukkan kepalanya sembari berjalan mendekat.

"Pergi"

"Baik tuan"

Mereka pergi dari sana meninggalkan sepuluh orang berbaring tak berdaya disana.

****

"Nona, anda istirahatlah, saya juga akan istirahat, jika anda membutuhkan sesuatu panggil saja nama saya"ucap Olivia dan segera di angguki oleh Calista.

"Sekali lagi makasih yah, saya sungguh berhutang budi"

"Ah, anggap saja saya menolong nona atas berkat pertolongan Tuhan nona"

"Yasudah, selamat malam, semoga tidur anda nyenyak nona"lanjut Olivia dan segera pergi dari sana.

Calista menidurkan tubuhnya di karpet dengan satu bantal berbahan kapuk, kini seluruh badannya telah bersih juga bajunya telah ia ganti menjadi baju sederhana milik Olivia.

Calista sudah biasa dengan hal sederhana seperti ini, jangan lupakan jika dirinya bukanlah Calista asli melainkan jiwa Divana. Divana bukan anak orang kaya maupun miskin, hidupnya yah sederhana saja.

'Kalau gue disini terus aja, pasti nggak akan ada bahaya lagi? Tapi Irene?' pikiran Calista kembali lagi kearah kematian Irene yang tertulis di novel, ia harus menyelamatkannya, namun bagaimana caranya? Sedangkan ia juga seperti ini?

'Apapun itu, semoga lo baik baik aja di sana, gue nggak bisa bantu apa apa selain doa aja, gue yakin Irene sekarang bukanlah Irene dulu yang bodoh' lanjutnya membatin dan tak lama dari itu ia menutup matanya.

Di tempat lain, terlihat seorang wanita sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon.

"Baik nyonya, saya akan menjaganya"

"Saya pastikan itu nyonya"

"Baik nyonya, saya tak akan memberitahu siapapun"

"Baik nyonya"

Tut

Sambungan telepon terputus, wanita itu menaruh ponselnya sembari menatap bulan lewat jendela.

"Jaga diri anda disana nyonya"

××××

Transmigration | Divana Or CalistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang