30

14.1K 674 21
                                    

Typo tandain
××××

Prang

"DASAR WANITA TAK BERGUNA!"teriak seorang pria paruh baya mencaci maki seorang wanita tak lain tak bukan istrinya setelah melempar sebuah gelas berisi kopi.

Seorang perempuan baru saja masuk menghentikan langkahnya, ia hanya bisa diam menatap pertengkaran dihadapannya.

"WANITA SAKIT SAKITAN! TAK BISA DI ANDALKAN! MENYESAL SAYA NIKAHI KAMU!"lanjutnya dan segera pergi dari sana melewati perempuan baru masuk itu.

Ia hanya melirik ayahnya saat ayahnya melewati dirinya dan menatap ibunya yang luruh ke lantai tak lupa tangisan tertahan tak menyadari bahwa ada anaknya yang menatapnya dari kejauhan.

Perempuan itu berjalan perlahan hingga sampai di dekat ibunya.

"B-bu"panggil perempuan itu gugup membuat sang ibu mendongak menatapnya dan segera menghapus air matanya.

Wanita itu berdiri dan segera dibantu Thalia, yah Thalia Quesy, wanita yang telah berkerja sama dengan Giselle.

"Eh kamu udah pulang yah Lia, bagaimana dengan kerja kelompokmu?"tanya sang ibu membuat Thalia terdiam membisu. Wanita paruh baya itu tak tahu saja jika Thalia bukannya pergi kerja kelompok melainkan menggoda suami orang.

Apakah Thalia akan berkata jujur? Tidak, Thalia tak akan berkata jujur namun terus berbohong hanya untuk bisa menghidupi ibunya.

Mereka tinggal dirumah mereka sendiri namun bagai seorang pembantu bahkan pembantu lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka yang berkerja tapi tak memiliki gaji.

Thalia segera tersenyum agar ibunya tak curiga. "Tugas kelompokku sudah selesai ibu"jawab Thalia sembari membantu ibunya berjalan.

"Kenapa setiap hari kamu selalu izin kerja kelompok?"sang ibu kembali bertanya membuat senyum Thalia pudar.

"Aku juga tidak tahu ibu, ibu guru terus memberikan tugas kelompok"

****

"Liv, aku mau beriin sesuatu sama kamu"Calista berjalan mendekati Olivia sedang sibuk menyiram tanamannya.

Olivia berbalik menatap Calista namun tak menghentikan pekerjaannya. "Anda ingin memberikan saya apa nona?"

Terlihat Calista menatap sebuah kertas saat ini ia pegang.

"A-aku mau kamu simpan kertas ini baik baik dan berikan kertas ini untuk Audrey bersamaan dengan bayi aku nanti"kata Calista sembari meraih satu tangan Olivia kemudian menaruh kertas dan menutupinya.

Olivia menurunkan selangnya, menatap wajah Calista yang tersenyum kemudian kembali menatap kertas ditangannya.

"Nona, and-"

"Stt, sudah, yang penting kamu simpan ini baik baik, jangan katakan pada siapa pun tentang hal ini yah"pinta Calista dengan mata berkaca kaca.

"No-nona, a-anda jangan seperti ini nona, saya mohon, oke oke, saja akan jujur siapa saya tapi jangan seperti ini. An-anda sedang hamil, bagaimana dengan anak anda nanti nona?"mohon Olivia dengan mata berkaca kaca juga.

Sekuat apapun Calista menahan air matanya tapi tetap saja air mata itu tanpa permisi jatuh dari pelupuk matanya.

Calista menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tau lagi harus apa Liv, sebisa mungkin aku menghindari kematian tetap saja takdirku kematian yang cepat itu"kata Calista membuat Olivia menangis terisak.

"Jadi, hanya ada satu permintaanku Liv, hanya satu, tolong berikan kertas itu pada Audrey"pinta Calista sekali lagi membuat Olivia mau tak mau harus mengangguk.

"Jika ini yang terbaik untuk nona, maka apapun akan saya lakukan"

***

Irene memakan apel yang sudah dipotong dengan wajah murung, menatap kosong kedepan.

'Calista tau nggak yah kalau gue bukan Irene melainkan Vio?'

'Dia marah nggak yah sama gue?' ada begitu banyak pertanyaan dikepala Irene hingga suara seseorang menyadarkannya dari ke termenungan.

Bisa Irene lihat, seorang pria merangkul wanita yang memeluknya sembari menatap dirinya penuh ejekan namun tak dipeduli oleh Irene.

Mungkin jika jiwa Irene asli dia akan mengamuk dan menjambak wanita itu namun saat ini bukanlah Irene asli melainkan Sofie Violetta yang menempati tubuh Irene.

"Ngapain kamu disitu? Pergi, saya ingin makan"titah pria tak lain Julian itu membuat Irene menatapnya malas namun tak urung ia berdiri dan pergi dari sana tanpa pamit sedikit pun.

Giselle menatap bingung Irene yang pergi begitu saja tanpa melakukan sesuatu, biasanya dia akan memberikannya pelajaran namun apa ini? Julian juga sama, menatap bingung punggung wanita sedang menaiki tangga itu.

Brak

Irene menutup pintu tak santai dan naik ke tempat tidur, dia memeluk guling erat sembari menatap langit lewat jendela kamarnya yang terbuka.

"Kalau gue nggak masuk ke dunia ini, apa lo nggak bakalan kerepotan yah Na?"gumam Irene.

"Hah, gue keknya harus berjuang untuk membuat alurnya happy ending dengan pemeran utamanya bukan lagi si setan dan sampah itu melainkan Calista dan Aldrich, tapi bagaimana? Gue harus gimana?" Irene mendudukkan dirinya sembari menggigit kuku panjangnya.

"Ada dua pemeran yang akan dimatikan, satu gue dan dua Calista"

Setelah berpikir keras tiba-tiba sebuah ide muncul diotaknya.

"Jika novel itu membutuhkan dua tumbal, berarti bisa dong nyawa aku sama nyawa Gisel jalang itu aja? Atau sekalian Julian taik sama si gisel aja yang mati?"

"Tapi emangnya bisa? Sepertinya... Cukup sulit dan tak mungkin"gumam Irene menunduk dengan setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya.

"Iv, gue mau lo hibur gue pake candaan lo"

******

"Non, kok nona kebanyakan diam? Biasanya anda paling heboh"suara Olivia membuat Calista menoleh dengan wajah murungnya.

"Coba senyum dikit no-"belum selesai Olivia menyelesaikan ucapannya, Calista langsung memotong.

"Aku butuh sendiri Liv, maaf yah"kata Calista membuat Olivia tersenyum tipis dan segera menganggukkan kepalanya kemudian pergi dari sana tak lupa menutup pintu.

Setelah Olivia pergi, air matanya tak bisa lagi ia bandung, Calista menangis tertahan disana.

"Yatuhan, kenapa harus aku dan sahabat aku yang dapat ini semua? Kenapa? Apa kesalahan yang telah kami berdua perbuat? Aku capek, capek terus mikirin gimana caranya buat sahabat aku tetap hidup, capek gimana caranya agar aku bisa lihat bayi masih belum lahir ini, aku capek Tuhan.."

Tanpa Calista sadari, Olivia mendengar itu semua dari balik pintu. Olivia menahan isakkannya agar tak terdengar

'Calista kamu tenang saja, aku bisa mengorbankan diriku, karena semua ini penyebabnya adalah aku, aku dengan tega buat kamu masuk kedunia ini dan memberikan tawaran pada Irene, atau bisa dibilang Sofie' setelah membatin Olivia pergi dari sana tak lupa mengusap pipinya terdapat bekas air mata.

Sebuah tangan kekar mematikan komputer itu dan berdiri dari duduknya dengan wajah mengeras.

"Kamu tak akan bisa pergi dari hidupku Calista, mau kamu Divana Veronika, aku tetap tak peduli, karena bagi aku kamu adalah Calista. Istriku dan jiwa asli tubuhmu yang sebenarnya"

××××××××

•••••
••••
•••
••

•••••••••

Transmigration | Divana Or CalistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang