******
****
"Dia katakan apa?"baru saja seorang wanita masuk ke sebuah ruangan, tiba tiba dirinya dilayangkan pertanyaan membuat langkahnya terhenti.
Irene tak menjawab, memilih kembali melanjutkan langkahnya dan duduk disebuah sofa tak lupa bersandar juga tas selempangnya diletakkan diatas meja.
Pria bertanya tadi tak mengalihkan tatapannya dari wanita itu.
Irene menghela nafas ketika pria itu terus menatapnya.
"Tentang Calista, bulan purnama, dan empat orang harus Calista bunuh"jawab Irene singkat. Ayolah saat ini moodnya sedang tidak baik.
Pria itu berdiri kemudian melangkah kearah Irene dan mendudukkan dirinya disofa samping Irene terlihat tak menatapnya sedikit pun.
Dia sedikit peka dengan kondisi Irene, dengan begitu dia memilih diam tak mengganggu waktu Irene sebentar.
"Ren, kamu tidak ada niat mengatakan semua ini pada suaminya? Aldrich berhak mengetahuinya"kata pria itu setelah lama terdiam.
Irene menoleh sekilas kearah pria itu namun kembali menatap kearah lain.
"Nggak bisa, kamu saja mengatakan semua ini padanya. Aku nggak mau"tolak Irene.
Pria itu menghela nafas kemudian memandang kedua bahu Irene dan memaksanya menghadap kearahnya. "Irene, kamu tau disana tidak ada saya kan?"tanya pria itu dan Irene langsung menggeleng.
"Lalu, apakah saya harus mengatakan semua tidak saya ketahui pada Aldrich dan hanya meniru ucapanmu tadi tak terlalu jelas itu?"tanya pria itu dan Irene kembali menggeleng.
Pria itu tersenyum manis dan memberikan kecupan singkat di dahi wanita itu. "Sudah paham kan, kenapa bukan saya saja yang mengatakannya pada Aldrich melainkan kamu?"kali ini Irene hanya diam saja mengalihkan pandangannya dari pria itu dengan mulut terus tertutup.
Pria itu memasukkan Irene kedalam pelukannya dan saat itu juga pertahanan Irene runtuh. Pria itu memang peka bukan? Irene ingin menangis saja pria itu langsung tau tanpa harus Irene yang mengatakannya.
Pria itu mengusap usap punggung Irene tak lupa memberikannya kata penenang. "Sudah, jangan menangis lagi nanti dibilangin cengeng sama orang"ucapnya membuat Irene mengeluarkan suaranya.
"Aaaa, nggak mau, mereka juga nggak lihat kok"balas Irene tak terima tak lupa memukul dada pria itu.
Bukannya mengadu kesakitan yang dipukul malah tertawa membuat Irene tambah kesal, ingin sekali dirinya membuang pria itu kelaut Amazon.
"Hahaha, cukup cukup. Agar nona cantik ini tidak kesal lagi, mau kepantai?"ajak pria itu setelah selesai tertawa.
Yang ditawarkan langsung mengangguk antusias tanpa sok jual mahal, sebenarnya Irene ingin sok jual mahal, namun mengingat saat diajak pria itu minggu lalu ke pantai namun ia menolak dan jadilah pria itu tak jadi mengajaknya, memilih mengerjakan berkas sialan itu tanpa mempedulikannya padahal dia kan cuman bercanda doang.
Mereka keluar berdua bergandengan tangan.
Dilain tempat, seorang pria menatap datar orang dihadapannya sedang sibuk membaca sesuatu.
"Saya akan membacanya tuan"kata pria baru saja selesai membaca sebuah selembar kertas.
Pria di panggil tuan itu mengangguk puas kemudian mengalihkan pandangannya. "Selalu bawa, baca saat saya menyuruhmu"
"Baik tuan"
Ruangan itu kembali hening. Pria sedari menunduk terlihat terus mengelap dahinya terdapat keringat padahal di ruangan itu ada banyak AC.
Aldrich menatapnya sekilas dan kembali menatap layar dihadapannya tak mempedulikan pria itu.
"Katakan"titahnya ketika menyadari gelagat asistennya.
Alavin sedikit kaget namun tak urung ia segera mengeluarkan suaranya. "Hm, be-begini, kapan anda ketempat nyonya Calista?"tanya Alavin.
"Besok"
*****
"Liv, disini beneran nggak ada pantai, danau, sama laut?"
"Nggak ada nona"jawab Olivia sembari mengelupaskan Calista mangga.
"Yang benar aja Liv, masa nggak ada laut atau danau?"ucap Calista tak percaya.
Olivia menghela nafas. "Inikan desa bukan kota nona, disini cuman ada sungai aja"jawab Olivia sabar.
Calista sedikit memajukan bibirnya tanda ia cemberut membuat Olivia terkekeh.
"Yaudah deh, nanti kita ke sungai"ujar Calista dan Olivia mengangguk.
"Tapi, besok juga yah"tambah Calista Olivia kembali mengangguk.
"Terserah nona aja, yang penting saya terus tetap ada disamping anda"
Hari sudah mulai sore, di sebuah kayu terlihat seorang wanita hamil sedang menenteng sebuah kantongan berisi bajunya.
"Ayo Liv, kamu lama banget"ajak Calista tak sabaran.
Olivia berjalan kearahnya juga kantongan ia tenteng sembari menghalau cahaya matahari sore.
"Sabar nona, lagian kenapa kita terlalu cepat pergi?"
"Biar kita pulang nggak kemalaman"jawab Calista sembari menarik lengan Olivia.
"Jalannya kemana Liv?"
"Terus aja nona, disana nanti ada pembelokan"Jawab Olivia.
"Oke"
Saat mereka akan berbelok, mereka berdua berpapasan dengan tiga orang lelaki terlihat tampan.
"Eh, Olivia, mau kemana sama si cantik ini?"tanya salah satu dari mereka membuat langkah Olivia serta Calista terhenti. Mereka menatap tiga orang itu.
"Kita ingin ke sungai Dim"jawab Olivia tak lupa senyum manis senantiasa terukir diwajahnya.
Mereka bertiga mengangguk. "Oh, yaudah, hari hati yah"kata Dimas dan dua wanita itu mengangguk kemudian pergi dari sana.
"Cewek tadi cantik banget yah"puji Dimas sembari menatap punggung Calista mulai menjauh.
Dua pria disampingnya mengangguk membenarkan. "Makanya Dim, saya itu suka sama dia, tapi yah kamu tau sendiri dia hamil, nggak mungkin nggak punya suami"ucapnya membuat Dimas menatap bingung kearahnya dengan alis terangkat sebelah.
"Maksud kamu?"tanya Dimas.
"Dia hamil Dim, kamu nggak lihat perutnya tadi yang membuncit?"Alvino balik bertanya dan Dimas menggeleng tanda tidak.
"Ck, terus kamu cuman lihat apa?"tanya Alvino lagi terlihat kesal.
"Mukanya, soalnya kaya bidadari dalam dogeng"jawab Dimas polos hingga mendapatkan jitakan dari Alvino.
"Bodoh"
××××××
100 vote, aku upp...
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration | Divana Or Calista
Random*** Divana Veronika wanita berusia 25 tahun yang meninggal hanya karena novel milik sahabatnya akan dirinya kembalikan terjatuh saat ia menyebrang jalan. Bukannya ke alam baka, dirinya malah terbangun di tubuh seorang wanita berusia 19 tahun yang se...