"gua punya gitar senar 7, tapi senarnya putus 1. jadi gak gua bawa ke sini. padahal, itu gitar kesayangan gua."
Daffa ingat ia kemari sekali—hanya saat pemakaman Galang. Ia terlalu takut menerima fakta saat itu. Dan pergi ke luar negeri tanpa sempat kemari, adalah penyesalan terbesarnya.
"gua jahat, ya. sempet sengaja gak kesini," ucap Daffa lirih.
"bukan lu yang jahat. tapi mereka yang bikin Galang pergi."
Celetukan Bian terdengar. Ia sering kemari, membersihkan, menaburkan bunga baru, dan mendoakan tentunya. Kadang saat gemas dengan Haru dan Daffa, ia juga menceritakan pada Galang.
"lu inget gak, Lang? gua cerita kalo Daffa jadi anak band," ucap Bian kemudian, sambil ia tersenyum.
"dulu lu maksa gua belajar gitar biar bisa ngajarin lu, kan? gua udah bisa, gua udah seneng main bass kayak yang lu mau. ayo mau belajar nggak, Lang?" Daffa juga tersenyum—pedih. Lututnya melemas, hingga ia memutuskan untuk duduk saja alih-alih berjongkok seperti tadi. "maaf gua cuma bisa bales sampe mereka bonyok aja waktu itu. soalnya gua gak mau disamain kayak mereka yang udah bikin nyawa lu ilang."
Bian di sini diam. Hanya menepuk-nepuk pundak Daffa—suaranya makin bergetar karena menangis. Daffa yang sejak kecil menempel dengan Galang, sudah menjalani 2 tahun hidupnya tanpa Galang.
"lu pasti gak nyangka gua tiba-tiba disuruh belajar di luar sama Papa. eh Papa meninggal. kenapa, Pa?" Kali ini Daffa melirik makam di sebelah makam Galang—makam Papanya.
Ia bahkan lontarkan candaan pada Mama jika ia meninggal, ia ingin berada di sebelah Galang juga, sama seperti Papa. Dan apabila tempat itu penuh, maka pindahkan saja makam Papanya—sebelum Mama memukul pundaknya emosi.
Tapi, Daffa masih mau hidup, kok. Ia hanya perlu menjalani hidupnya dengan benar sekarang. Sudah habis kenakalannya di masa sekolah dan sudah cukup ia mengecewakan Papanya.
"tega Papa meninggalnya pas gua lagi gak di sini. tolong omelin Papa, Lang," gumam Daffa.
Bian terkekeh kecil mendengarnya. Ia bisa membayangkan Galang akan menyahuti seperti apa dan percakapan keluarga itu pasti akan mengalir begitu panjang tak kunjung selesai.
Ia jadi berharap, semoga pada dimensi lain—Galang dan Daffa tetap hidup bersama dengan situasi yang jauh lebih baik dari ini.
✧✧✧
"kok lu dateng? katanya mau nemenin Yuan kerkel?"
Erik yang baru tiba di lapangan futsal menggeleng. "ntar jam 10 kata dia selesai."
"rumahnya Junior itu gelap jalanannya," cibir Haru sebal.
"dia ngabarin gua kalo udah kelar," sahut Erik.
"lu percaya? ntar dia jalan kaki lagi gara-gara lupa kalo lu mau jemput dia kayak kemarin?!" Tiba-tiba saja Haru emosi.
"kalem, kalem." Revan berdiri, menarik pundak Haru untuk mundur kemudian.
"ya makanya gua ingetin dia nanti? tenang aja ga akan lupa."
Beruntungnya, Erik tidak mudah terpancing amarahnya. Ia tahu, hal yang membuat Haru lumayan sensitif.
"lagi musim begal." Haru mendengus, sebelum kembali menuju ke lapangan.
"iye, Ru."
Kematian Galang—bukan hanya meninggalkan trauma pada Daffa. Namun, pada Haru juga. Yang rasa bersalahnya mungkin akan terus menemani hidupnya.
Ia yang hingga saat ini selalu bertanya-tanya, kenapa ia tak mengantarkan Galang pulang seperti yang Daffa minta. Mungkin, dunia akan berjalan dengan jauh lebih baik.
"lu nggak cemburu, kan?"
Suara Aldo menginterupsi Erik kala hanya mereka berdua di tepi lapangan.
"lebih ke heran, sih," sahut Erik. "gua penasaran sama orang yang bikin dia gitu, kenapa lu ceritanya gak spesifik?" cibirnya pada Aldo.
"gua gak sanggup buat cerita lebih."
Selain Haru dan Daffa—hari itu juga begitu membekas lukanya pada Aldo. Ia yang terlihat tegar menjadi sandaran bagi teman-temanya. Akan sangat bohong apabila Aldo mengatakan ia baik-baik saja dengan kematian Galang. Sayangnya, tidak ada yang menanyakan apakah ia baik-baik saja, karena orang yang bertanya seperti itu adalah dirinya.
✧✧✧
Malam nanti Daffa akan pulang dengan Mamanya. Namun, sore ini ia menemui seseorang dulu. Janjian pada danau di dekat rumahnya—yang dulu.
Suasana danau masih sama seperti 2 tahun yang lalu. Ramai jika sore, banyak orang jogging, mengobrol, atau hanya diam menikmati angin.
"woi anak linjur."
Sapaan yang—menyebalkan. Daffa mendongak, mendengus ke arah si pelaku.
"gua udah jadi anak elektro lagi, Vin," ketusnya.
Gavin hanya tertawa kecil. Ia duduk di samping Daffa sembari memberikan 1 cup minuman.
"thanks."
Gavin semakin tinggi, sangat tinggi. Bahkan Daffa bisa membayangkan Gavin dan Haru lebih tinggi Gavin—tapi kenapa ia tiba-tiba memikirkan Haru?
"long time no see. Vano apa kabar di sana?"
"good. abang lu?"
"kuliahnya keteteran, dia mentingin kerja."
Daffa terkekeh kecil. "pantes gua ga pernah lihat dia di kampus."
"ribuan orang di kampus lu masih ngarep ketemu abang gua??"
"gua ketemu Haru mulu, tapi gak ketemu Septian."
Haru lagi. Daffa memalingkan mukanya, tak mau merespon godaan dari Gavin seperti yang dilayangkan setelah ini.
"cie. balikan kaga?"
"kaga. diem lu."
✧✧✧
![](https://img.wattpad.com/cover/378028498-288-k183344.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
dunia (a story after highway)
Fanfictionisi dunia berjalan sesuai takdir, dan tidak pernah bisa ditebak, bahkan oleh Haru sekalipun. ⚠️tw // bxb ⚠️lanjutan dari buku sebelumnya yang berjudul, highway. ✧06/10/24