• bukan untuk malam ini saja, kan?

242 39 3
                                    

1 bulan berlalu. Suasana di kampus sempat sepi selama hampir 2 minggu karena ujian tengah semester. Namun, awal bulan ini kembali banyak acara seperti biasanya. Meskipun biasanya pula Haru tidak menjadi bagian yang memeriahkan, kecuali ada futsal di dalamnya.

"tumben, Ru."

"tumben apa?"

"tumben nonton ginian, pasti ada sesuatu."

"berisik lu."

Di tengah perdebatan Haru dan Yuan—ada Erik. Ia hanya diam menantikan acara apa yang sedang ditunggu-tunggu oleh Haru. Sebenarnya pun, Haru sendirian tadi saat ia dan Yuan menemukan lelaki itu.

Duduk di bangku penonton, pada taman kampus yang biasanya digunakan jika ada acara. Padahal masih sangat sepi, pukul 6 sore menjelang malam ini. Persiapan oleh panitia acara itu juga belum selesai.

Erik tidak berminat kemari, tapi Yuan-nya penasaran. Bukan dengan acaranya, melainkan apa yang sedang ditunggu-tunggu oleh Haru.

"oh pantes," celetuk Yuan tiba-tiba.

"apa, sayang?" Erik menoleh.

"ini acara akhir band univ. Haru mau nonton Daf—"

"sotoyyy!" potong Haru sebal.

Yuan menyadari ketika banner mulai dilebarkan. Terpampang jelas ini acara milik band universitas dalam rangka penutupan unit kegiatan mahasiswa. Daffa pernah mengatakan pada Yuan, jika setelah acara ini ia tidak akan melanjutkan kegiatan itu lagi. Karena tujuan anak itu di sini hanya sebagai persyaratan salah satu mata kuliah.

Saat diberitahu oleh Yuan, Haru jadi heran. Apa yang membuat Daffa berhenti—tidak ingin bermain musik lagi seperti ketika ia berada di luar negeri.

"kalian kenapa di sini, sih?" Tiba-tiba saja Haru sewot, akan kehadiran Erik dan Yuan sementara 2 temannya itu sudah datang sejak 30 menit yang lalu.

"mau lihat lu salting nontonin Daffa," balas Erik, sukses membuat Yuan tertawa.

"itu bang Deon drummernya, Yuan mau nontonin dia," celetuk Haru. Ia tersenyum mengejek kala Yuan memandangnya dengan tatapan kesal.

"nggak, anjir. gak usah ngarang. gua aja ga tau!" serunya. Lantas berbalik memandang Erik. "serius enggak!"

Erik mendengus. "kalo mau nonton dia, gua balik aja, ya."

"ih orang enggak. kok percaya Haru, sih!"

"bang Deon kan emang jago main drum. apalah gua cuma nendang bola—heh cil mau kemanaaa?!"

Di sini Haru, tertawa jahat. Berhasil membuat Yuan pergi. Erik, tentunya mengejar lelaki itu. Meninggalkan ia sendirian—hanya dengan orang-orang asing di sini.

Sambutan oleh MC sudah sejak 10 menit yang lalu. Netra Haru yang tadi memandang kepergian Erik dan Yuan—kini bertemu dengan orang yang menjadi tujuan dirinya duduk di acara ini.

Daffa di panggung, berdiri memegang gitar. Jika dulu Haru hanya menonton melalui media sosial Daffa, kini ia akan menyaksikan secara langsung. Dan tanpa sadar Haru tersenyum dibuatnya.

Banyak sekali bakat yang dimiliki Daffa—yang baru terlihat ketika mereka sudah lulus sekolah. Haru ingat, ketika Daffa memuji permainan celo oleh Evo dulu ketika lomba di classmeet sekolah.

Alunan musik mulai terdengar. Namun, Daffa masih belum memainkan gitarnya, belum saatnya. Rupanya, anak itu menemukan Haru pada bangku penonton. Haru yang biasanya pergi saat berpapasan dengannya, bahkan memalingkan muka ketika mereka saling pandang, kini lelaki itu tersenyum.

Daffa ikut tersenyum dibuatnya—tepat setelah itu gitarnya masuk dalam irama musik.

Sementara Haru, ia tidak tahu kenapa tiba-tiba mengeluarkan ponsel dan membuka kamera. Memotret Daffa, karena sekarang Daffa begitu keren di matanya. Ia ingin mengabadikan momen ketika dirinya menyaksikan langsung Daffa bermusik. Karena, ia juga tahu fakta setelah ini Daffa tidak akan melanjutkan musik itu.
















✧✧✧























"tadi gua takut, kalo duduk di sini lu bakal pergi."

Daffa hanya menampilkan 3 lagu. Kemudian, ia terpanggil saat melihat bangku kosong di samping Haru. Membuat mereka duduk bersampingan, menikmati penampilan dari kelompok lain.

"sorry," ucap Haru singkat. Tak lagi ia fokus pada acara itu. Ia justru menolehkan kepala—memandang Daffa di sampingnya. Walau anak itu terlihat menikmati musik yang dibawakan.

Haru tersenyum, lagi-lagi hanya karena menatap Daffa. Sudah sangat lama ia tidak merasakan suatu debaran aneh ini. Yang tidak ia temukan dengan orang lain.

"keren," celetuk Haru.

"mereka?" Daffa menunjuk kelompok band yang sedang tampil.

"bukan, lu yang keren."

Tawa kecil Daffa terdengar. Ia menoleh—mendapati Haru sudah menatapnya. "thanks. itu kayak gua kalo lihat lu main futsal."

"so suddenly?

Pertanyaan dari Haru, membuat Daffa mengerutkan kening bingung. "pertanyaan itu buat lu sendiri, kan? bukannya lu yang serba tiba-tiba?" balik tanyanya.

Tiba-tiba menonton Daffa, padahal hubungan mereka sejak awal bertemu tidak begitu baik. Hangatnya Haru, sudah lama Daffa tidak merasakan ini.

"sorry." Haru kembali melontarkan kata itu.

"jangan minta maaf kalo habis acara ini lu jauhin gua lagi," balas Daffa, terkekeh.

Haru menggeleng. Tiba-tiba jari kelingkingnya ia angkat. "sini. kalo sampe iya, gua stop main futsal," ucapnya.

Daffa membalas tautan jari kelingking Haru. Tidak berekspektasi Haru menjadi Haru-nya di masa sekolah pada malam ini. Meskipun sudah berjanji seperti ini, sebenarnya Daffa pun tidak berharap lebih.

"jangan stop main futsal kalo lu ngisi energi di sana."

Pernyataan yang lebih tua, membuat Haru tertegun.

"terus lu kenapa berhenti main musik padahal lu ngisi energi di sana?"

Tautan kelingking mereka terlepas. Daffa tertawa pelan. "sok tau," cibirnya.

"bukan sok tau." Haru mendengus sebal. "orang kalo menikmati hobinya itu keliatan, tulus dari hati."

Bagi Daffa, kesoktauan Haru selalu benar, masih sama seperti dulu.





✧✧✧


yang teume janlup vote trejo di mama, guysy🤩🙏🏻🙏🏻🙏🏻🫶🏻

dunia (a story after highway) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang