• parkiran

205 37 2
                                    

"lu sama Haru tuh kenapa?"

Daffa, memicingkan kepalanya kala pertanyaan itu keluar dari mulut Aldo yang tak sengaja ia jumpai di kantin saat sedang mengantri untuk membayar sekarang.

"lu masih nanya kenapa?" Ia heran, sungguh.

2 bulan kuliah, sering sekali ia berpapasan dengan Haru. Ia yang mencoba tersenyum walau si empu tidak membalas senyumnya, bahkan memalingkan muka. Ia yang tak jarang juga berada di lift yang sama ketika sedang ada mata kuliah prodi dan berakhir hanya saling diam seolah tak saling kenal.

Pernah juga Daffa mendapati Haru sedang antri lift, tetapi ketika ia datang, Haru justru pergi dan memilih naik tangga padahal ia tahu kelas Haru ada di lantai 7. Ia tahu, karena setiap ia turun di lantai 4, Haru kadang masuk dari sana.

Jelas sekali lelaki itu menghindarinya. Ini efek dari putus tidak baik-baik—jika kata Aldo.

Sedang mengantri di kantin seperti ini, Daffa jadi teringat Haru pernah membayar makanannya saat Daffa pertama kali ke kantin—ia tidak tahu jika di sini tidak menerima tunai.

Dan Daffa juga pernah mendengar Haru berdebat dengan salah satu temannya yang panitia ospek jurusan karena para maba disulitkan dengan tugas yang begitu berat seperti—menulis biografi 100 kakak tingkat di jurusan dan wajib memasukkan foto.

Awal saat tugas itu keluar, Daffa juga menjadi bagian dari banyaknya orang yang kesal. Namun, ia juga sadar dengan hanya mengeluh tidak akan menyelesaikan apapun. Lagipula, Daffa sudah mengerjakan, kurang dari 20 orang lagi. Bahkan nama Aldo pun sudah ia tulis pada buku besarnya.

"lu bisa gak antri? lu tadi nerobos antrian," cibir Daffa pada Aldo.

"lah kan ada elu. ya udah sekalian. antrian sepanjang ini bayangin," sahut Aldo cengengesan.

"Do! titip dong!"

Hingga seseorang bersuara dari arah samping. Ketika Daffa menoleh—ia mendapati Haru, dan 2 temannya. Yang mendekat ke arah Aldo hanya 2 orang itu, sementara Haru sendiri—

"gua cari kursi."

Itu yang ia katakan sebelum memilih pergi.

"lu berdua antri," kesal Aldo, pada Revan dan Jemi.

"nih 3, Haru, gua ama Jemi," ucap Revan sembari memberikan 3 kertas makanannya pada Aldo, tak peduli balasan si empu.

"oh iya, Daffa—" Revan tiba-tiba mengganti pandangannya ke arah Daffa yang sejak tadi ikut menatapnya. "katanya lu kurang banyak. ntar malem ke latihan rutin futsal. Haru udah bilang ama anak-anak katanya gapapa kalo mau ada maba yang minta, ajak temen lu juga gapapa."

Daffa mengerutkan kening. "Haru bilang gitu?"

"dia gak bilang kalo Daffa yang kurang. dalihnya sih kasihan maba yang kurang banyak tanda tangan kating. tapi itu mah modus aslinya mau bantuin lu doang," sahut Jemi sambil tertawa.

"kalo ada panitia gimana? emang gapapa?" tanya Aldo heran.

"aman. yang panitia osjur tuh ntar malem ada rapat," balas Revan.

"oh, oke... ajak temen gapapa?" Daffa bertanya lagi, memastikan.

"gapapa. atau lu mau dateng ama gua? gua jemput—"

"ssst udah udah, yang buaya diem," potong Aldo sembari menatap Jemi kesal.

Si pelaku hanya tertawa kecil.











✧✧✧













"minum, Ru—" Suara kecil Yuan membuat Haru mendongak. Ia mengambil gelas yang diberikan oleh temannya itu, meneguknya sekali.

"kalian seprodi tapi kok tugasnya kayak beda gitu," celetuk Yuan lagi, kali ini sambil menoleh pada Erik di sampingnya. Kontras sekali Erik yang tenang dan sumringah bersama Yuan, sementara Haru loyo tengah menjatuhkan kepala di atas meja.

"ya kan gua ngerjain laprak tepat waktu. kalo Haru kaga—"

"pala lu, monyet," potong Haru ketus.

Dari tempat kasir, dapat ia lihat Aldo beserta Revan dan Jemi berjalan ke arah mereka.

"membawa anak soshum ke kantin teknik itu pamali, denda 5 juta," protes Revan begitu duduk di depan Erik.

"kok Daffa gak diajakin ke sini?" cibir Yuan, abai akan ucapan Revan.

"ga mau dia, kating semua katanya," sahut Aldo tertawa.

"ga mau lah dia, ntar dia ke sini Haru pergi."

Sontak Haru mendelik pada Erik. "mana ada gua begitu?" kesalnya.

"mana ada? lu nanya mana ada habis kesekian kali maksa gua naik tangga gara-gara ada Daffa antri lift??" Erik menggeleng-gelengkan kepala, aneh sekali temannya ini.

"parah lu, bro." Jemi menepuk-nepuk pundak Haru. "keterlaluan. cowok semanis Daffa lu gituin. buat gua aja, ya?"

"deketin aja sono, kayak mau ama lu aja." Haru mendengus.

"Daffa tuh mahal seleranya—"

"yang kayak Haru? mahal?" Revan menunjuk Haru sebelum mendapat injakan pada kakinya di bawah meja oleh si empu.

Lagi-lagi Aldo tertawa. "nggak juga, sih."















✧✧✧

















Hampir pukul 10 malam, lapangan futsal milik fakultas masih saja sangat ramai. Daffa mengembuskan napas lega, duduk di pendopo samping lapangan usai menulis nama 15 orang lebih. Ia hanya perlu menambahkan deskripsi.

"bener kata Mama. resiko gua balik kesini ngulang semua dari awal," gumamnya pelan.

"Daf! gua balik duluan, ya!"

Daffa mendongak, mengangguk pada 2 temannya.

"lu jangan lama-lama. parkiran ditutup bentar lagi."

"iyaa!"

Ia masih fokus pada ponselnya setelah 10 menit. Mengedit setiap foto dan mengurutkan sesuai nama yang sudah ia tulis.

Lama kelamaan Daffa menyadari, anak-anak futsal makin banyak yang pamit pulang. Bergegas ia merapikan barang-barangnya. Kemudian, segera menuju pada parkiran.

Masih tak jauh dari lapangan futsal, suara berat dari orang yang menghindarinya 2 bulan ini terdengar.

"parkiran mobil tutup jam 10."

Sontak Daffa mengecek jam tangannya. Sementara ini sudah hampir setengah 11. Ia menghela napas panjang. Lalu memutar tubuhnya.

"oke, thanks." Tak ada pilihan lain, ia harus menuju pintu keluar utama.

Namun, lagi-lagi celetukan Haru membuatnya berhenti.

"oke apa? lu mau ojol? lagi musim begal."

Daffa mengerutkan kening. "terus lu nyuruh gua tidur di sini?" tanyanya datar.

"tunggu sini, gua ambil motor di kost."

✧✧✧

dunia (a story after highway) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang