"Daf, lu mau gak balikan sama gua—eh, Daf, balikan yuk?"
Erik merinding. Menoyor kepala Haru kemudian pasca Haru mengucapkan itu ke arahnya.
"jelek banget, dongo. yang romantis dikit," cebiknya kesal.
"langsung cium aja kali ah, kayak biasanya."
"bego."
Haru cengengesan. Ia kembali menyandarkan tubuh pada dinding. Menatap ke lapangan futsal—tempat teman-temannya sedang bermain. Ia dan Erik sedang beristirahat.
"maba sibuk," komentar Haru kemudian.
"samperin aja ntar malem Daffa di feb, sama Yuan sana," celetuk Erik.
"sama elu dong," ajak Haru. "gua malu kalo sendirian."
Erik mendengus geli. "ada urusan ntar malem gua."
"dih selingkuh, aduin Yuan—"
"aduin aja, si Yuan juga selingkuh mulu ama elu, ama Daffa, ama Revan, ama semua orang."
"wih banyak juga ya pacarnya Yuan."
"bangsat."
Erik malas, mood-nya sedang jelek, tapi Haru suka mengejeknya di saat-saat seperti ini. Ketika Erik sedang tidak mentolerir kedekatan Yuan dengan siapa pun, termasuk Haru.
"serius lu ntar malem mau kemana?" Haru kan ingin ikut juga.
"bisnis gelap."
"begayaan bisnis gelap, mafia lu?"
"bukan, koruptor."
"goblok siah."
Erik tertawa kecil. "ya udah ayok ikut," ajaknya.
✧✧✧
Pukul 9 malam. Daffa menggendong gitar bass, yang menjadi temannya beberapa hari ini—ia bawa pulang. Itu gitar milik salah satu anak band yang dipinjamkan untuk Daffa.
Begitu ia menuju parkiran, dering dari ponselnya terdengar. Daffa berhenti, melihat si penelepon, kemudian ia angkat sembari kembali melanjutkan jalannya.
"kenapa, Wan?"
"lu di mana?"
"masih di kampus, baru mau balik."
"salah satu narasumber kita, ada yang meninggal."
Daffa berhenti lagi.
"narasumber dari wawancara?" tanya Daffa memastikan.
"iya. yang semester 7—AWAN! yang ini juga meninggal, harinya sama!!"
Suara seseorang di dekat Awan masuk ke dalam panggilan itu. Daffa berhenti. Sekali lagi, ia teringat ucapan Erik yang berkomentar jika proyek kelompoknya cukup berbahaya.
"Daf, lu denger, kan? kita perlu kumpul, lanjut bahas di grup."
Telepon dimatikan sepihak. Sebenarnya Daffa tau, dunia Awan itu dunia yang berbeda. Ia sudah kagum ketika Awan nampak begitu bisa banyak hal. Awan juga yang mengide untuk terus mengawasi para narasumber walau caranya kurang etis—tapi, demi keselamatan mereka.
Kemudian, setahunya juga Awan tergabung dalam komunitas yang dikelola orang-orang demi menjaga keamanan kota ini. Ia sendiri tak begitu paham. Sepertinya, orang-orang di sana cukup hebat. Tapi Daffa tidak tertarik dengan mereka, ia hanya kagum.
"Daffa, kenapa nggak pulang?"
Ia menoleh, kaget usai tepukan pada pundaknya. Mendapati Yuan, menatapnya heran. Ponselnya nyaris terjauh jika ia tidak sigap menangkapnya lagi.
Daffa diam beberapa saat. Pikirannya melayang kemana-mana. Ia perlu Yuan sekarang. Dan ia ingat Erik malam ini ada agenda—yang berarti Yuan akan sendirian.
"kak, boleh bantu gua?" tanyanya tiba-tiba.
Yuan memiringkan kepalanya, bingung. "bantu apa?"
"jawab jujur." Tangan Daffa bertengger di pundak Yuan, kanan dan kiri, berjaga-jaga agar lelaki itu tidak kabur.
Namun, bibir Daffa seolah kelu. Ia terus terngiang-ngiang akan peringatan dari Erik di awal-awal proyeknya berjalan.
"Haru sama Yuan, bukan bagian dari project kalian."
✧✧✧
"Daffa itu gila anyway. dia ngelakuin apa aja biar semua yang dia target tercapai."
Di mobil Erik, Haru bercerita. Alasan putusnya dengan Daffa, yang sudah lama ia pendam dari Erik. Lalu ia juga menceritakan betapa tersesatnya Daffa di masa sekolah. Namun, Haru selalu menambahkan jika Daffa sekarang jauh lebih baik.
Haru banyak bercerita malam ini. Erik bahkan tidak menduganya. Tapi, ia biarkan, ia dengarkan, memberikan balasan, komentar, memvalidasi perasaan Haru. Membayar rasa penasaran Erik akan Haru yang selalu penuh kekhawatiran pada banyak orang.
Sejak awal mereka bertemu, Haru orang yang jiwa pemimpinnya kuat, itu terlihat. Sayangnya Haru selalu menolak jika ditunjuk menjadi ketua. Katanya, ia tidak bisa bertanggungjawab.
Setelah insiden mengerikan kala itu, Haru lebih keras kepala, temperamental, lebih pendiam, tapi tidak yang selalu diam, ada banyak bagian dari Haru yang berbeda. Mungkin trauma, pikir Erik.
"orang kayak Daffa emang kelihatan masa lalunya gelap," gumam Erik.
"iya. semua orang deket dia diambil Tuhan. dia pernah ada di fase takut jalin hubungan sama gua. Daffa takut gua juga diambil," lanjut Haru.
Erik meringis. Membayangkan seberat apa Daffa di masa sekolah.
"berati sekarang Daffa kelihatan makin... dewasa," celetuk Erik.
"ya kali mentalnya stuck di umur belasan, Daffa gak selemah itu," cibir Haru.
"yaya gak ada yang bilang dia lemah. dia tumbuh makin baik," ucap Erik. "banyak yang berubah kalo denger dari cerita lu. kecuali hobinya buat halalin segala cara biar semua yang dia mau dia dapetin."
Haru setuju. Meskipun ia belum melihat momen itu lagi.
Keheningan mereka di tengah macetnya jalanan malam ini, pudar ketika ponsel Erik berbunyi. Erik menyenggol lengan Haru, menyuruh lelaki itu mengangkatnya.
Di sana terpampang nama Revan.
"apaan, Van?" sapa Haru.
"Yuan gak ada di kampus tuh, udah balik kali."
Haru mematung.
Yang diucapkan Revan, sama seperti yang ia ucapkan pada Erik melalui telepon, 1,5 tahun yang lalu. Yang membuat penyesalannya terus mengikuti hingga hari ini. Ketika ia berpikir kesalahan terbesarnya hanya cukup di insiden Galang, rupanya berlanjut.
✧✧✧
![](https://img.wattpad.com/cover/378028498-288-k183344.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
dunia (a story after highway)
Fanfictionisi dunia berjalan sesuai takdir, dan tidak pernah bisa ditebak, bahkan oleh Haru sekalipun. ⚠️tw // bxb ⚠️lanjutan dari buku sebelumnya yang berjudul, highway. ✧06/10/24