• bye-bye

163 40 3
                                    

"lawan sepadan buat Vincent emang cuma elu, sama-sama gila lu berdua."

Revan meringis balik menatap Erik yang berdiri di pintu ruangannya sambil membawa infus. Mukanya datar, tak senang akan kehadiran Revan sebagai pasien juga di rumah sakit. Ia memandang lengan Revan yang diperban akibat luka tembakan.

"lu sendiri gimana? cepet sembuh atau Yuan jadi punya gua."

Erik mendengus. "bukannya lu dateng bantuin Daffa? dari kemarin lu berdua juga deket banget, kan?" celetuknya.

"deket buat berantem terus gigi gua patah gara-gara laki lu itu maksud lu?"

"ngapain juga lu nonjok Daffa ga ada alesan, jadi Yuan juga gua sebel."

"kayak Daffa anak lu berdua aja."

Hening.

"lu jangan terlalu berani, Van."

Revan menekuk alisnya, bingung. "kenapa, anjing?" tanyanya ketus.

"gua perlu lu tetep hidup. at least kalo gua ga ada, Yuan ada yang nemenin."

Pernyataan Erik ini, sukses membuat Revan berdiri. Ia mendekat—menarik baju Erik dengan pandangan tajam. Seolah melupakan mereka berdua adalah pasien, dan sedang berada di rumah sakit.

"jangan kalah, bangsat." Revan berucap emosi.

"besok gua operasi."

Sontak Revan melepaskan baju Erik.

"Yuan tau?"

"gak. jangan bilang dia."

"Haru tau? Jemi?"

Lagi-lagi Erik menggeleng. "gua cuma bilang sama lu. besok Haru mau ngajak Daffa balikan. Jemi juga udah oke mau bantu urusan Daffa. jangan gangguin mereka."

"lu tetep harus bilang Yuan, Rik. gila jahat banget, anjing lu." Tubuh Revan melemas padahal baru tadi ia merasa tembakan pada lengan tidak seperti apa-apa.

Muka pucat Erik, rupanya memendam sakit begitu dalam pada jantungnya usai kecelakaan kemarin.

"lu kayak gitu jadi makin yakin operasinya ga berlangsung oke," celetuk Erik.

"lu duluan, sat!" Revan kesal, matanya berair. Benar, seharusnya Revan bisa mengucapkan segala kata-kata positif seperti—ia akan menemui Erik usai operasinya berjalan lancar. Tapi mendengar kabar itu, entah kenapa otaknya banyak memikirkan hal buruk.

"lu tau, kan, hidup kita emang bergantung sama jantung." Erik menyandarkan diri pada dinding, melipat tangan di dada. "if it were Yuan in my place, I’d give him my heart."

Revan menggeleng. "denger gua ya, bangsat. lawan sakit, lu. jangan biarin dia menang."

Keras kepala, kepribadian Revan yang mendominasi. Membuat Erik tertawa getir di tempatnya.

"Daffa bakal ngerasa bersalah abis bikin lu masuk ke proyek dia."

"gua yang maksa masuk, by the way."

"sama aja. ga mau tau gua bakal di sini sampe lu selesai operasi," dengus Revan.

"Yuan gua sendirian, bangke."

"dia panitia, banyak temennya."








✧✧✧










"bangsat—lu pasti mau bikin rem mobil gua blong, kan?"

Daffa, yang kesadarannya nyaris hilang, kini sekuat tenaga mencoba tetap terjaga. Matanya menatap tajam pemuda di atas tubuhnya yang kini menodongkan pisau—nyaris menusuknya andai Daffa tak segera melawan.

"pinter juga, lu," sahut Vincent.

"salah orang lu, goblok," desis Daffa sinis.

Ia menendang tubuh Vincent membuat pisau yang dipegang lelaki itu terpental jauh. Dengan sisa kesadarannya, Daffa bangkit. Ia hendak berlari.

Namun, kakinya ditahan—membuatnya tersungkur ke bawah lagi. Daffa terjatuh lagi. Napasnya berat, tubuhnya terasa rapuh, tetapi ia tetap melawan. Vincent, wajahnya masih bersih akan luka, meninju muka Daffa di bawah.

"kalo masih lu lanjutin proyek bangsat lu itu..." gumaman Vincent terjeda.

Daffa menyeka darah di bibirnya dengan punggung tangan. "kalo masih gua lanjut kenapa, sat? biar manusia pada tau kelakuan bengis lu."

Dengan gerakan cepat, Daffa meninju balik wajah lelaki itu. Memutar posisi mereka—ia marah, memukuli tubuh Vincent penuh dendam. Seolah melupakan fakta jika punggungnya sempat dijatuhi beban begitu besar tadi, tetapi Daffa tidak peduli. Emosinya mengalahkan rasa sakitnya.

Yang lebih tua melawan lagi. "gua gak segan bikin orang mati kalo ikut campur urusan gua!" serunya, kembali menyerang dengan pukulan keras. Tinju Vincent menghantam rahang Daffa, membuat tubuhnya terhuyung. Tetapi Daffa tidak menyerah. Ia berguling ke samping, meraih tasnya yang jatuh di dekat mereka, lantas melempar itu ke arah Vincent

Vincent jatuh terkapar Alih-alih segera pergi, Daffa mendekat lagi, berjongkok di samping lelaki itu.

"berani-beraninya lu bilang gitu padahal urusan lu ngerugiin banyak orang. gak ada otak lu, tolol."

Nyeri, Daffa merasakan nyeri begitu menjalar di punggungnya. Ia berusaha untuk tidak terlihat sedang menahan rasa sakit. Sayangnya, air mukanya mudah ditebak.

Vincent mengambil kesempatan, mendorong lagi tubuh Daffa hingga tersungkur. Namun, belum sempat ia layangkan serangan lagi—seseorang menendangnya hingga jatuh.

Daffa sama terkejutnya, tapi bergegas berdiri. Mengambil tasnya.

"lu sama Yuan pergi dari sini. kalo denger sesuatu kacangin aja. cctv arah sini dimatiin sama ini setan." Itu Revan—entah datang darimana, tapi Daffa melihat pistol di saku lelaki itu.

Revan itu, cukup berbahaya.

"gua gak tanggungan kalo lu mati malem ini," ucap Daffa pada Revan yang fokus menahan tubuh Vincent.

"buruan pergi, sial!"




Pandangan Daffa kosong selama beberapa menit usai mengingat ulang kejadian semalam. Ia jadi paham kenapa Haru begitu mewanti-wantinya.

Maniknya tertuju pada Haru yang kini tidur menguasai kasur.

"Daffa udah? ayo berangkat." Yuan bertanya dari luar kamar, sudah rapi.

"iya. nanti ada break sampe jam 5 habis gladi bersih, kan? mau ke Erik dulu gak? gua mau ikut habis wawancara nanti," sahut Daffa sambil memakai sepatunya.

"iyaa."

"bentar, kak."

Daffa berdiri, menarik napas dalam-dalam. Memutar badannya kembali menatap Haru yang tertidur pulas. Ia tak tahu Haru tidur jam berapa. Pagi tadi Daffa terbangun karena pundaknya pegal dijadikan bantalan oleh Haru. Ia tidak masalah—wajah Haru terlihat sekali jika sedang lelah.

Ia bangunkan Haru untuk pindah ke kamar—sambil ia mengekori karena hendak menumpang mandi.

"Ru, dateng lebih awal, ya. gua mau main gitar sambil lihat lu," bisik Daffa. Mengusap rambut hitam pekat Haru yang terasa lembut di tangannya.

Begitu ia menarik diri, tangan Haru bergerak mengambil lagi tangan Daffa. Padahal Haru matanya terpejam—tapi seolah bisa melihat pergerakan Daffa sekarang. Daffa yang terkejut akan pergerakan itu, kembali terduduk di tepi ranjang.

Perlahan mata Haru membuka. Senyumnya mengambang tipis. Secara tiba-tiba, ia mengangkat kepala, menjatuhi satu kecupan singkat pada dahi Daffa.

Si empu mematung. Setelahnya, Haru kembali memejamkan mata seolah tidak terjadi apa-apa. Meninggalkan Daffa sendirian menahan ledakan dalam hatinya.

"udah gila..."

✧✧✧

dunia (a story after highway) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang