"Kau bisa berenang?"
"Aku bisa. Tapi kakiku kram."
Annales mengusap wajahnya sendiri karena air membuat matanya perih. Keduanya terombang-ambing di tengah laut, tidak tenggelam karena berpegangan pada patahan body mobil yang terapung.
Gelombang air laut berulangkali menghantam wajah mereka berdua, membuat keduanya tenggelam didalam air beberapa kali. Oya dengan sigap memeluk tubuh Annales saat gulungan ombak datang hampir menenggelamkan mereka lagi. Untungnya, Oya masih bisa bertahan, berpegangan pada patahan body mobil itu.
"Naik ke punggungku," Pinta Oya.
Annales pun menurut saat Oya membantunya naik keatas punggung pria itu. Melingkarkan kedua tangannya di leher Oya- sebagai pegangan.
Disaat seperti ini, tidak ada yang bisa mereka berdua pikirkan, selain menyelamatkan diri. Tidak ada rasa benci ataupun marah pada satu sama lain. Apalagi Annales merasa sangat bergantung pada Oya kini. Nyawanya hanya akan selamat kalau Oya berhasil menyelamatkan diri. Atau bisa saja Annales mati karena terlalu banyak menelan air laut.
Oya berenang dengan Annales di punggungnya. Meskipun terasa mustahil. Akhirnya mereka tiba di pesisir pantai dengan pasir putih. Oya membaringkan tubuhnya sambil mengatur napas, satu lengannya menutup matanya sendiri karena silau matahari. Annales melakukan hal yang sama di samping pria itu.
"Kenapa kau bilang masih mending jatuh ke dalam jurang daripada laut? Buktinya kita masih hidup?" Tanya Annales, menoleh ke
samping kearah pria itu.Oya menjawab tanpa membuka matanya. "Jurangnya tidak curam. Aku pernah terjun ke dalam." Oya mengatakannya dengan santai, seakan nyawa yang ia pertaruhkan dengan berulangkali masuk kedalam jurang tidak lah penting.
"Maksudmu, sebelumnya kau pernah mengalami kejadian seperti tadi?"
"Bukan pernah. Tapi sering." Oya kemudian bangkit, melepas atasannya sendiri hingga bertelanjang dada kini.
"Lepaskan pakaianmu," pintanya pada Annales.
Annales lalu memeluk tubuhnya sendiri. Namun belum sempat ia membuka mulut, Oya menambahkan. "Kau bisa sakit. Setidaknya siang ini kita bisa menjemurnya untuk dikenakan nanti."
Annales pun menurut. Melepas pakaiannya dengan dengan hati-hati. Oya kemudian menjemur pakaian itu ke atas batu di pesisir pantai itu. Annales kini hanya mengenakan dalaman. Hal yang lumrah karena mereka kini berada di pantai. Hanya saja, Annales merasa tidak nyaman karena asing dengan tempat yang saat ini mereka pijaki. Selain asing tempatnya cukup terpencil. Terbukti sedari tadi tidak ada orang selain mereka berdua.
"Kita akan bermalam disini sampai Kazuma datang."
"Serius? Ditempat ini?" Annales tidak bisa membayangkan malam yang akan ia lewati. Annales benci nyamuk. Ia tidak suka dingin. Langkah kaki Annales mengikuti Oya yang tengah mengumpulkan ranting kayu. "Bagaimana kalau Kazuma tidak datang mencari kita?"
"Kau meremehkan anak buahku?"
"Bukan begitu. Hanya saja, apapun bisa terjadi. Mana tahu diantara anak buahmu ada yang berkhianat, justru merasa senang kau terdampar di tempat antah berantah ini."
"Mereka masih membutuhkanku. Terutama Mine. Aku belum diijinkan mati karena belum memberikan pewaris untuk Yamaguchi."
Annales melihat Oya yang layaknya manusia purba kini. Menggunakan kedua batu untuk membuat api. Jelas pria itu kelihatan emosi beberapa kali sampai akhirnya perapian berhasil menyala. Diatas langit, warnanya sudah menguning. Sebentar lagi akan memasuki waktu petang menjelang malam. Oya membuat tombak runcing menggunakan pisau lipat yang beruntungnya tersimpan dengan baik di saku kantong celananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Yakuza
Romance[21+] Annales ingin keluar dari bayang-bayang gelap dunia Mafia. Namun Ayahnya sendiri malah menjualnya pada bos Yakuza bernama Toyama Natsuke.