02. Mata dan Ilusi Cawan Tak Diberkahi

5 2 0
                                    

Di dunia ini, di mana semua orang mempertaruhkan satu hal. Jendela dunia mereka ....

Mata adalah sebuah benda krusial yang dimiliki oleh tiap insan, selain untuk melihat betapa indahnya dunia ... di sini mata memiliki hal yang lebih dari sekedar melihat.

Lalu di sana, dua orang yang hendak bertarung. Di kelilingi banyak orang yang menyoraki, mereka hendak mempertaruhkan benda yang paling mereka banggakan.

Mata mereka.

"Mata yang diberkahi, akan memegang cawan suci." Itulah kata salah satu petinggi agama di sana, sehingga diadakan pertandingan mematikan seperti ini.

Para peserta saling membunuh satu sama lain, bertarung memperebutkan hal yang digadang-gadang akan mengabulkan permintaan terdalam dari lubuk hati seseorang.

Mereka saling adu tatap di sisinya masing-masing. Memikirkan strategi apa untuk memenangkannya, untuk tak mati di pertandingan terakhir ini.

Di tengah keramaian yang ada mereka hanya senyap, terdiam saling pandang. Lalu sekelebat, secepat cahaya kilat mereka menerjang satu sama lain. Mencoba meraih satu hal yang sama.

"Matamu dulu yang harus kutumbangkan!"

***

Aku menghindarinya, dia sangat cepat. Tak ayal pula jika dia akan menjadi penerus komandan kekaisaran. Aku tak boleh lengah.

Dia menerjangku dengan cepat, seperti matanya melihatku dengan lambat. Apa yang harus kulakukan? Ayo pikirkan-pikirkan!

Aku lengah.

Tak bisa menghindarinya, aku terpojok. Dia lompat dari dinding ke dinding dan melesat di udara, ingin menghantamku dengan tusukan indahnya itu.

Apa yang kupikirkan?

Ma-matanya terlihat bercahaya. "Aku dapat!" Aku menunduk, membiarkan dia tidak bisa berhenti di udara dan menendangnya dengan memutarkan badanku.

Menahan kekuatanku dengan kedua tangan dan mengeluarkannya ke ujung kakiku.

Mataku melihatnya, kelemahannya. Dia tidak seimbang! Kecepatannya itu, tak berarti apa-apa jika dia tak bisa menjaga keseimbangannya.

Seperti anak kecil yang baru saja belajar berjalan, dia akan jatuh ketika tersenggol dan mungkin itu akan jadi kesempatanku.

Aku tau sekarang. Aku berlari lagi, mengelilingi arena. Membiarkannya dia mengejarku, aku tak peduli. Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pula dengan melempar atribut yang ada di arena.

Membiarkannya menghindari hal itu dengan mudah, lagi-lagi ketika kuterpojok ... matanya bersinar, melesat dengan cepat dan jika aku tak mundue sedetik saja kepalaku pasti akan terpenggal lewat tangannya yang berkumpul pada satu titik itu.

"Kau hebat juga," pujiku sarkas, dia tak bergeming. Air wajahnya sedingin air sungai yang kulihat pagi tadi. Sungguh sombong! Aku akan membalasmu kali ini.

Aku pun kembali berlari, menghiraukan ucapannya yang tak dapat kudengar. Akan tetapi mataku melihatnya, tiap potensi untuk mengalahkannya.

Napasku pun mulai habis, tenagaku mulai menipis. Aku harus lebih waspada lagi. Seperti di pertandinganku yang sebelum-sebelumnya, aku harus menjatuhkan lawanku dalam satu serangan.

Aku akan mengulur waktu lebih banyak untuk membuatnya lebih lengah, aku harus bisa. Aku pasti bisa. Walau kakiku mulai pegal dan keram, walau peluhku berjatuhan begitu deras, aku masih harus bertahan.

Di sana, di sebelah sini. Aku melompat, memanjat melalui tiang lalu berdiri di atasnya. Melihatnya berlari zig-zag di sana dan aku terjun dari ketinggian, membiarkan angin yang mendorongku dari belakang.

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang