04. Take Precedence

11 2 0
                                    

Deretan awan berbaris rapi di angkasa mengadakan apel yang dipimpin matahari oranye hingga suaranya mengenyahkan kegelapan di ufuk timur dan memanggil burung-burung beterbangan.

Pagi ini aku harus mengantar anakku (bukan anak kandung, sebenarnya, walaupun demikian anggap saja anak sendiri) ke rumah sakit untuk mengadakan pemeriksaan rutin, setelah kutulis surat izin absen sakit untuk gurunya, anak itu mau mengenakan baju ganti dan sarapan, lalu kami berdua menaiki bus trans.

Tidak enak sejujurnya karena pagi buta kami harus berdesakan dengan wanita tua yang membawa tas belanjaan besar juga pegawai sif pagi yang berwajah kusam. Sesampai di rumah sakit sudah banyak pasien yang mengantre, segera kuambil nomor urut berebut dengan yang lain, kutarik napas saat mendapat angka seratus delapan belas. Walau begitu anakku mau diajak menunggu kusuruh dia membeli susu di koperasi untuknya, sedangkan diriku termenung menghitung satu per satu angka di papan digital terus bertambah sampai mendekati milik kami, akhirnya tiba juga giliran anakku dan kata dokter gejalanya sudah membaik, tetapi harus tetap mengonsumsi obat agar sembuh walau aku tidak yakin apakah penyakit anakku bisa disembuhkan aku angguk-angguk saja.

Sesampai rumah aku pamit ikut arisan dengan keengganan dan waswas ibu-ibu tetangga mengobrol aku curiga lirik mereka sepertinya obrolannya aman maka aku memasuki percakapan dan sayang sekali wanita tukang drama di kompleks mencemoohku dengan menyebut anakku anak haram tanpa ayah dan anak pungut tanpa asal-usul jelas aku tidak bisa berkata apa-apa dan langsung kabur pulang ke rumahku menangis di kamar bersimpuh ke kasur sampai seprainya basah anakku masuk dan kuusap air mata kuteguk ludah agar berhenti tangisan, "Ada apa?" tanyaku lembut, dia butuh dibantu mengerjakan tugas sekolah ternyata maka kutunjukkan caranya dia anak yang cepat mengikuti mengapa banyak yang merundungnya di sekolah sampai harus absen berhari-hari sungguh gurunya ingin kuhajar.

Suatu hari di pagi yang dingin, anakku kuajak ke pasar, tiba-tiba perhatiannya teralihkan ke penjual burung liar di pojok dia meminta satu maka kuturuti yang paling cantik adalah beo mungil yang kata pria penjaja bisa menirukan suara aku tertawa kecil mana bisa itu apalagi harganya murah sekali. Anakku sangat menempel dengan beo, tetapi tak pernah kudengar bisa menirukan suara, hanya kicauan yang indah.

Aku lagi-lagi bermimpi buruk tentang sosok gelap pada malam yang acak di jendela melebarkan sayap dan berteriak melengking.

Ketika pulang dari kerja, aku sudah muak dengan semua atasanku menyinggung urusan keluargaku gara-gara pekerjaan yang tak becus, si provokator menambahkan dengan kata-kata menyakitkan tentang anakku. Tidak akan kumaafkan mereka. Tidak akan kumaafkan. Anakku, tolong balaskan dendam ibumu. Matanya menyala seperti beo di kandang yang memiliki lingkaran kuning kuat di antara kornea cokelat.

Pagi harinya, orang-orang di kompleks mati dengan keadaan tercabik-cabik. Aku tidak bersalah karena memang aku dan anakku tidak terlibat, tetapi untuk jaga-jaga aku pindah ke tempat yang lebih sepi, keluar dari pekerjaanku, bilang ke keluargaku di kampung bahwa aku baik-baik saja. Sepulang dari menjaga kios buah, kubawakan pisang favorit anakku. Dia masih ada kegiatan ekstrakulikuler sampai jam lima sore, saat kumasuki kamarnya beo di dalam kandang mengeluarkan suara, yang menirukan kata-kata malam itu, dari sosok gelap yang tidak kuingat, kini sangat jelas ingatan ini. Dia selalu datang tiap malam ke kamar anakku untuk menjenguknya sebelum kami pindah.

Namun, mengapa tidak diriku? Apakah aku hanya alat? Dia tidak mencintaku? Aku mencintainya! Bertanggungjawablah! Akan kucari sampai ketemu, ayah dari anak yang kucintai ini.

🍀🍀🍀

Penulis: William_Most

Cerpen 3 Tema: A Long JourneyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang