27. Under The Jail

48 3 0
                                    

27. Under The Jail

Permukaan dingin dari tembok bercat putih itu kini menjadi sandaran punggung pria dengan penyesalan yang menguak begitu kuat dari hatinya. Suasana sel tahanan terasa ramai, banyak orang berlalu lalang melewati Baskara untuk mengambil jatah makan. Namun pria itu tak merasakan keramaian. Pikirannya telah kosong.

Tapi Baskara tak menggubris orang-orang yang mengajaknya untuk makan malam. Pikirannya masih kalut. Seharusnya malam ini ia pulang bekerja dengan membawa banyak camilan seperti yang ia janjikan pada sang istri.

Malam tadi, ia pulang disambut hangat perlakuan manis Marcel yang selalu membuat lelahnya seketika menghilang.  Baskara tentu ingin pulang. Namun ia tidak siap melihat perubahan yang sudah pasti akan terjadi pada Marcel. Ia tidak menyangka bahwa mimpi buruk yang ia alami beberapa bulan silam kini menjadi kenyataan.

Pria itu kini tak punya alasan untuk tetap hidup.

"Bro, makan." seorang pria berusia tiga puluhan itu duduk di samping Baskara.

Baskara meliriknya sejenak, kemudian kembali menatap lurus jeruji besi dengan wajah datar.

"Makan bro, kalo nggak nanti lo bisa mati." lanjutnya.

"Lebih baik gitu." jawab Baskara pelan.

"Gitu gimana? mati maksudnya?" pria itu mengernyitkan keningnya.

"Denger, ya Bro. Nggak usah putus harapan hidup cuma karena masuk penjara. Lo bisa mulai semuanya dari awal ketika udah bebas nanti."

Baskara menatap pria itu dengan tatapan sendu. "Kalo seseorang yang seharusnya jadi harapan terakhir kini udah nggak ada, apa gue harus punya alasan tetap hidup?"

Pria itu diam sejenak, kemudian tersenyum simpul. "Masih ada, Bro. Diri sendirilah yang bisa jadi satu-satunya alasan untuk hidup yang paling setia. Percaya ma gua, hidup bergantung sama orang lain itu merupakan hal yang paling menyakitkan."

Baskara hendak marah mendengar argumen dari orang yang menurutnya hanya bisa ngomong tanpa merasakan itu. Namun ia tertegun ketika melihat mata orang itu menggambarkan pengalaman yang lebih parah darinya.

"Tapi gue nggak punya jati diri kalo kehilangannya." ujar Baskara.

Pria itu terkekeh. "Gue paham maksud lo. Tapi perlu lo tau, di dunia ini yang namanya ikhlas itu cuma omong kosong. Yang ada, terpaksa terus lama-lama terbiasa. Jadi nggak usah terpikirkan apa yang bakal hilang. Lama-lama juga terbiasa."

Mereka sama-sama terdiam meratapi nasibnya masing-masing.

"Masalah apa sampe bisa masuk sini?" tanya Baskara tiba-tiba.

Pria itu menghentikan tindak-tanduk mengunyah, kemudian menjawabnya.

"Gue membunuh geng yang udah perkosa anak gue sampai dia trauma kalo lihat laki-laki. Termasuk gue."

Baskara terperanjat. "Satu geng? berapa orang?"

"Yang gue bunuh cuma empat, tujuh sisanya gue bikin lumpuh."

Saking kagetnya, Baskara sampai melotot mendengar kalimat pria itu. Tak menyangka bila ia akan berbicara dengan seorang pembunuh. Ia belum memiliki anak perempuan, namun ia bisa paham rasa sakit yang pria itu alami ketika anak perempuannya malah bersikap demikian.

"Kalau lo?"

"Culik wanita legal." ucap Baskara. Dada nya kembali sesak mengingat kejadian itu.

"Ah, masih biasa itu, mah. Lagian gue bisa menyimpulkan si cewek nya juga mau sama lo kan? muka ganteng gitu." jawabnya santai.

Hipnotis Baskara (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang