41

646 50 3
                                    

"Lama tak bertemu, Shin," ujar Luo Binghe.

Shin menatapnya, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Di hadapannya kini berdiri sosok yang dulu hanya dikenal sebagai anak terluka, dibebani dendam yang menghanguskan. Kini, ia melihat seorang pria dewasa dengan garis wajah yang mengisahkan perjuangan panjang dan lelah. Namun, di balik sorot mata gelap itu, ada kilau yang tak pernah padam—sebuah tekad yang mengobarkan energi kehidupannya.

Perhatian Shin teralihkan sejenak. Pandangannya jatuh pada seorang anak kecil dengan mata bening dan senyum ceria. Luo Zishu, bocah itu membawa kehangatan yang asing, memancarkan cahaya seperti mentari yang menerangi kegelapan. Mata Shin kembali ke Luo Binghe, kali ini dengan pemahaman baru.

"Dia sumber kehidupanmu sekarang, bukan?" gumam Shin, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan.

Luo Binghe mengangguk pelan, bibirnya melengkung dengan perasaan lembut yang tak pernah ia tunjukkan di masa lalu.

Shin menyadari, perang yang pernah menguras jiwa mereka kini digantikan oleh perang yang lebih sunyi, lebih halus—perjuangan untuk tetap hidup, bukan demi balas dendam, tetapi demi cinta dan harapan yang hadir dalam wujud seorang anak kecil.

Shin menatap dalam-dalam, mencoba membaca setiap kerutan di wajah Luo Binghe. Ia yakin pria itu telah menemukan cinta sejati dan kasih sayang murni dalam diri Luo Zishu. Namun, Shin juga tahu bahwa anak-anak lain yang kini mengikuti Luo Binghe pun dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Hanya saja, Shin melihat perbedaan yang halus namun jelas, bukan cinta atau kasih sayang mendalam seperti untuk Zishu, melainkan penghormatan, penghargaan, serta rasa tanggung jawab yang tak bisa diabaikan.

Pemahaman ini bukan sekadar dugaan. Shin tahu betapa kompleks hubungan antara Luo Binghe dan anak-anak yang mengikutinya. Anak-anak itu—Yue Qi, An He, Chu He, Qingge, dan Xue Ji—selalu menjadi subjek perhatian Binghe yang unik. Hubungan mereka sulit dijelaskan, sebuah dinamika yang mengaburkan batas antara ikatan darah dan sumpah yang dibentuk oleh takdir.

Luo Binghe memandang anak-anaknya bukan hanya sebagai penanggung jawab, tetapi sebagai perwujudan kewajiban yang diwariskan oleh masa lalu kelamnya. Namun, untuk kelima anak ini, ada perasaan yang lebih dalam, sejenis ikatan batin yang mendekati kasih sayang seorang ayah kepada anak-anaknya.

Shin menghela napas, merasa simpati sekaligus penasaran. Ia paham bahwa Luo Binghe telah berjalan jauh dari sosok penuh dendam yang pernah dikenalnya. Kini, pria itu adalah benteng yang tak hanya melindungi dirinya sendiri, tetapi juga dunia kecil yang dibangunnya dengan hati-hati.

"Anak-anak itu mungkin bukan buah dari hatimu, tapi kau mencintai mereka, dalam caramu sendiri," gumam Shin, menatap Binghe yang hanya menjawab dengan senyuman samar—sebuah pengakuan diam-diam dari hati yang tak mudah terbaca.

Shin merasa waktunya untuk sekadar mengamati Luo Binghe sudah usai. Sorot mata penuh teka-teki itu menuntut jawaban lebih. Meski di dalam hatinya, Shin sudah mengetahui alasan pria itu kembali ke tempat ini, tapi dia tetap bertanya, seolah ingin memastikan.

"Jadi, apa yang membawamu kemari?" tanya Shin, suaranya tenang namun tegas.

Luo Binghe memandangnya, sorot matanya yang biasanya penuh ketegasan. "Aku yakin kau sudah tahu, Shin," jawabnya dengan suaranya datar.

Keheningan menggantung di antara mereka, dipenuhi desah angin yang menerpa dedaunan. Shin menghela napas panjang, merasakan beban yang dipikul pria di hadapannya. Pertanyaan yang seharusnya ia biarkan tetap dalam pikirannya kini terucap, meluncur tanpa bisa dihentikan.

"Jadi, apa kau sudah tahu siapa yang berhak menerima benda itu?" Nada suara Shin berubah, lebih rendah dan penuh kehati-hatian. Dia sedang membahas artefak legendaris, "kepingan penyucian", benda yang bisa memurnikan jiwa atau menghancurkan siapa pun yang tidak layak menerimanya dan memusnahkan segala kegelapan kelam didunia.

Green JadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang