28 (siapa pengkhianat itu)

853 67 6
                                    

Selama beberapa minggu terakhir, Rimba bersama tiga sahabatnya—Yuda, Bagas, dan Guan—terus memantau seorang pria misterius dalam bayang-bayang. Mereka tidak pernah bertindak gegabah, menyamarkan keberadaan mereka di tengah keramaian, berpura-pura sebagai pengunjung biasa agar tidak menarik perhatian. Setiap langkah direncanakan dengan hati-hati, memastikan target tidak menyadari bahwa dirinya sedang diawasi.

Seperti biasa, mereka membolos sekolah demi mengumpulkan informasi terbaru tentang pria yang menjadi target mereka. Hubungan Rimba dengan keluarganya belakangan ini memang membaik; ia telah memaafkan ayah dan abangnya. Namun, sifat keras kepalanya membuatnya mengabaikan peringatan untuk menjauh dari bahaya.

Misi ini bukan tanpa risiko. Namun, bagi Rimba, risiko adalah harga yang pantas untuk membuktikan dirinya sebagai anggota penting keluarga Jovetic. Meski hubungan dengan ayah dan abangnya, Argo, mulai membaik setelah konflik panjang, Rimba masih menyimpan tekad kuat untuk menunjukkan bahwa ia layak dihargai. Ia tahu dirinya tidak memiliki karisma dan strategi seperti Argo, ataupun kecerdasan luar biasa seperti Fano, adik bungsunya. Tapi, Rimba percaya bahwa keberanian dan loyalitasnya adalah senjata terkuat yang ia miliki.

Dalam misinya ini, ia hanya mempercayai tiga orang sahabat yang selalu ada di sisinya:

Yuda, pengamat ulung dengan tatapan tajam seperti elang, bertugas memantau setiap gerakan target mereka.

Bagas, seorang pemikir cerdas yang mencatat setiap detail informasi penting di ponselnya untuk menyusun rencana.

Guan, sosok yang memiliki insting tajam dan naluri waspada, selalu memastikan mereka tidak dicurigai oleh siapapun.

Setelah membayar makanan mereka secara cepat, Rimba dan ketiga sahabatnya mengikuti pria itu keluar. Jalanan sudah mulai sepi, memberikan mereka ruang untuk bergerak lebih dekat tanpa menarik perhatian. Langkah mereka semakin cepat dan senyap hingga akhirnya mereka berhasil mempersempit jarak. Ketika pria itu memasuki sebuah lorong gelap yang sepi, Rimba mengambil alih.

Dengan cekatan, ia menarik lengan pria itu dan mendorongnya ke dinding. Gerakannya penuh kekuatan, membuat pria itu tak mampu melawan.

“Apa maumu?!” pekik pria itu, terkejut oleh tindakan tiba-tiba Rimba.

Rimba menatapnya tajam. "Aku yang seharusnya bertanya. Untuk alasan apa kalian mengincar kepala seorang remaja?" tanyanya dengan nada penuh tekanan.

Pria itu terlihat gugup, tetapi mencoba menjawab dengan tenang, "Kematian dia akan menghancurkan musuhku. Dengan begitu, mereka bisa dengan mudah kami kalahkan."

“Motif kalian?” desak Rimba tanpa memberikan ruang untuk berkelit.

"Dendam masa lalu," jawab pria itu, suaranya mulai gemetar.

“Kenapa dendam itu ada?” tanya Rimba lagi.

"Karena dia terlalu menarik perhatian sejak dulu. Dia adalah ancaman yang harus disingkirkan," ucap pria itu akhirnya.

Mata Rimba menyipit, menatapnya tajam. "Aku tahu siapa kau. Jangan bermain-main denganku!" ancamnya.

Namun, pria itu justru tertawa kecil, meskipun jelas terlihat gugup. "Kau terlalu percaya diri, bocah. Kau pikir sedang memburu mangsa, tapi nyatanya kaulah yang masuk ke dalam perangkap kami."

Belum sempat Rimba merespons, pria itu tiba-tiba melayangkan pukulan ke hidungnya. Serangan dadakan itu membuat Rimba mundur beberapa langkah. Saat itulah dari kegelapan, ratusan pria berbaju hitam muncul dan mengepung mereka berempat.

“Ini jebakan.” Yuda berbisik, bersiap.

Ketiga sahabat Rimba segera bertindak.

Guan mengeluarkan gunting kecil dari sakunya, memegangnya dengan cekatan.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang