40 (tidak boleh dekati papaku)

585 46 22
                                    

Seperti biasa, Stevan kembali dipanggil ke sekolah karena ulah jahil Rimba. Kali ini, seorang guru baru seorang wanita menjadi korban keusilannya.

Wajah sang guru memerah, entah karena marah atau malu akibat perbuatan Rimba. Sementara itu, remaja itu malah bersiul santai, seolah tidak merasa bersalah sama sekali.

Di dalam ruangan konseling, Stevan merangkul pundak Rimba dengan santai. Sebagai ayah, ia sudah terbiasa dengan ulah putra keduanya.

"Maaf, Bu. Sebenarnya, apa yang dilakukan putra saya?" tanya Stevan dengan nada tenang.

Guru wanita di hadapannya, Neni Ningrum, tampak sedikit terpesona melihat ketampanan Stevan. Namun, sebelum sempat menjawab, Rimba yang menyadari tatapan itu langsung berdiri di depan ayahnya, berusaha menghalangi pandangan sang guru.

"Ibu jangan lihatin papa aku!" pekik Rimba dengan wajah cemberut.

"Rimba, tingkahmu memang sudah keterlaluan. Ibu bisa memaafkanmu, tapi dengan satu syarat," ujar Neni dengan nada serius.

Rimba melipat tangan di dada, matanya menatap malas. "Ibu aja yang lebay. Baru saya siram air dingin dikit udah baper."

"Ibu tidak mempermasalahkan itu. Tapi perilakumu sama sekali tidak mencerminkan seorang pelajar," tegur Neni dengan nada tajam.

Rimba mendengus. "Ibu aja tiap hari gonta-ganti cowok. Ibu hotel ya? Sering dijadiin tempat singgah?" sindirnya santai.

Ucapan Rimba membuat wajah Neni memerah, bukan lagi karena malu, tapi kesal.

"Seharusnya kamu sadar diri, Rimba. Nilaimu di mata pelajaran saya sangat rendah," ujar Neni menahan emosi.

"Dih, aku gak peduli," balas Rimba cuek.

Alih-alih memperpanjang teguran, Neni malah tersenyum menggoda ke arah Stevan. "Pak Stevan, bagaimana kalau bapak jadi suami saya? Nanti saya bisa bantu naikin nilai Rimba dengan mudah."

"Kagak mau punya ibu baru kayak ibu!" protes Rimba dengan ekspresi jijik.

Stevan tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada sopan, "Maaf, Bu. Usia Anda tidak jauh berbeda dengan abangnya Rimba."

"Usia itu cuma angka, Pak," ujar Neni semakin genit.

Rimba langsung menarik tangan ayahnya. "Pak Damar buruan, kita pergi! Aku gak mau punya ibu baru!"

Damar, guru konseling yang sedari tadi menyaksikan interaksi itu, hanya menghela napas. "Rimba, kamu saya skors dua hari, ya."

"Oke, Pak Damar!" sahut Rimba enteng, tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Begitu keluar dari ruangan, Rimba masih menatap kesal ke arah ayahnya. Sementara itu, Stevan hanya tertawa melihat tingkah putranya yang jelas-jelas terlalu protektif terhadapnya.

"Kamu kenapa sih, Nak? Setiap kali ada wanita yang melihat papa, kamu pasti marah," ujar Stevan sambil mengelus pipi kanan Rimba.

"Aku gak suka! Bu Neni itu genit, mau godain papa! Padahal aku gak suka sama dia!" protes Rimba dengan wajah kesal.

"Itu cuma candaan, Nak," sahut Stevan tenang.

"Kakak sudah paham, kok. Bu Neni memang berniat jadi istrinya papa!" ujar Rimba tegas.

"Papa juga gak bakal suka sama wanita seperti itu," balas Stevan santai.

"Jadi papa memang mau menikah lagi?!" kesal Rimba.

Teriakan Rimba langsung menarik perhatian banyak orang. Stevan segera memeluk erat tubuh putranya, lalu tanpa banyak bicara, ia menggendong Rimba dan membawanya pergi menuju kantin.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang