Keesokan paginya, Rimba berdiri di depan gerbang sekolah dengan wajah murung. Stevan berdiri di sampingnya dengan ekspresi santai, sementara Edward malah sibuk memotret dengan ponselnya.
“Om Edward! Jangan foto-foto, malu tahu!” gerutu Rimba, berusaha menutupi wajahnya dengan tangan.
Edward terkekeh. “Buat kenang-kenangan. Kali aja nanti bos kecil jadi anak baik setelah ini.”
Stevan hanya menghela napas sebelum menepuk bahu Rimba. “Ayo, Nak. Kita selesaikan masalah ini. Papa di belakangmu.”
Dengan langkah berat, Rimba masuk ke dalam gedung sekolah. Mereka menuju ruang guru, di mana beberapa guru dan pemilik mobil yang kacanya pecah sudah berkumpul, termasuk Pak Damar dan Bu Neni yang terlihat masih kesal.
Pak Damar melipat tangan di dada. “Rimba, kamu tahu kenapa kamu ada di sini, kan?”
Rimba menelan ludah, lalu menunduk. “Iya, Pak... Saya minta maaf karena sudah mecahin kaca mobil Bapak dan yang lain. Saya benar-benar gak sengaja, tapi tetap aja, saya yang salah...”
Stevan menepuk punggung Rimba, memberi dukungan agar putranya terus berbicara.
Rimba melanjutkan, meski suaranya terdengar berat. “Saya mau tanggung jawab, jadi saya akan bantu bayar ganti rugi...”
Mata Pak Damar sedikit melembut. “Kamu benar-benar sadar kesalahanmu?”
Rimba mengangguk. “Iya, Pak.”
Bu Neni menatap Stevan sejenak, lalu tersenyum kecil. “Yah, sepertinya putra Bapak ini masih bisa dibina. Tapi tetap saja, dia harus menerima konsekuensinya.”
Stevan tersenyum tipis. “Tentu. Saya sudah menyiapkan dana untuk mengganti kaca mobil yang rusak, tapi setengahnya akan dibayar oleh Rimba sendiri.”
Semua guru tampak terkejut.
Pak Damar menaikkan alis. “Setengahnya? Dari mana dia dapat uang?”
Rimba mendesah. “Papa nyuruh saya kerja buat bayar itu... jadi mulai sekarang, saya bakal jadi anak magang di restoran Papa...”
Edward menahan tawa, sementara Stevan hanya tersenyum puas.
Pak Damar tersenyum kecil. “Bagus kalau begitu. Semoga ini jadi pelajaran buatmu, Rimba.”
Rimba mengangguk pasrah. “Iya, Pak...”
Setelah semuanya selesai, mereka keluar dari ruang guru. Begitu sampai di luar, Rimba langsung menatap Stevan dengan mata memohon.
“Papa, yakin aku harus kerja buat bayar ini?” tanya Rimba sekali lagi, kali saja ayahnya berubah pikiran.
Stevan mengacak rambutnya. “Tentu saja. Ini bagian dari tanggung jawab.”
Rimba merintih. “Yah... nasibku jadi anak magang sebelum lulus SMA...”
Edward menepuk bahu Rimba. “Santai aja. Kali aja lu malah jadi bos muda nanti.”
Rimba hanya mendengus. “Kalau gitu, Papa harus siap-siap digulingkan olehku!”
Stevan hanya tertawa mendengar ancaman putranya. Meskipun sering membuat masalah, ia tahu satu hal pasti Rimba tetaplah anaknya yang paling berharga.
Stevan terkekeh mendengar "ancaman" Rimba. Dengan santai, ia mengusap kepala putranya.
“Kau ini memang selalu membuat masalah, Nak,” ujar Stevan.
“Tapi papa tetap sayang aku, kan?” Rimba menatapnya penuh harap.
Stevan tersenyum, lalu menarik Rimba ke dalam pelukannya. “Tentu saja, Nak. Apa pun yang terjadi, papa tetap sayang kamu.”

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Narrativa generaleNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...