Sesuai janjinya dua hari lalu, Stevan kini berada di area kampus tempat putra sulungnya, Argo, berkuliah. Kehadiran Stevan yang memancarkan kharisma sebagai pria dewasa menarik perhatian banyak mahasiswi. Bahkan, beberapa dari mereka terang-terangan memuji dan menyatakan suka kepadanya, membuat suasana sedikit canggung.
Di belakang Stevan, dua sosok tampak mengawalnya dengan tatapan tajam siapa lagi kalau bukan Rimba dan Fano. Keduanya sengaja izin tidak masuk sekolah hari ini. Awalnya, Stevan melarang mereka ikut. Namun, setelah kedua putranya mengancam akan mogok berbicara kepadanya jika tidak diizinkan, Stevan menyerah. Demi menjaga hubungan dengan mereka, ia akhirnya meminta izin langsung kepada wali kelas masing-masing.
Saat Stevan berdiri di dekat salah satu gedung kampus, Argo muncul mendekat bersama sahabat sejatinya, Arik Bramanty. Berbeda dengan kebanyakan orang, Argo adalah tipe yang sulit membuka diri kepada orang lain. Itulah mengapa Arik menjadi satu-satunya teman dekatnya sejak SMP. Meski usianya terpaut dua tahun lebih tua, Arik berusia 20 tahun, sementara Argo baru 18 tahun persahabatan mereka tetap erat.
Argo memang anak yang cerdas dan sering lompat kelas. Bahkan, pada usia 12 tahun, ia sudah duduk di kelas dua SMP. Pertemuan pertamanya dengan Arik terjadi secara kebetulan, saat Arik menjadi siswa baru di sekolah yang sama. Sejak itu, mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan.
“Wih, Abang sama Bang Arik!” seru Rimba dengan nada ceria begitu melihat kakaknya datang bersama sahabatnya.
Namun, Argo langsung menegur adiknya. “Rimba, panggil dia Mas. Abang nggak suka kamu manggil orang lain dengan sebutan Abang.”
Rimba hanya mengangguk kecil, sementara Fano yang usianya baru sembilan tahun berlari ke arah Argo tanpa basa-basi. Ia memeluk kedua kaki kakaknya sambil merengek, meminta digendong.
“Abang, gendong aku, dong!” pinta Fano dengan manja.
Argo hanya tersenyum kecil dan, tanpa banyak protes, mengangkat adiknya ke pundaknya. “Adek ini beratnya nambah terus. Tapi nggak apa-apa, biar Abang yang gendong.”
Sementara itu, Stevan mengalihkan perhatian dengan sebuah pertanyaan. “Ruangan tempat Papa harus rapat itu di mana, Abang?” tanyanya, sedikit kebingungan dengan arah di kampus yang luas ini.
Argo melirik ke sekitarnya, memastikan lokasi yang dituju. “Abang antar ke sana. Tapi Papa tahu nggak? Mahasiswi di sini kalau lihat duda keren kayak Papa, langsung pada melotot,” gerutunya, sambil berjalan mendahului.
Stevan tertawa kecil mendengar komentar putra sulungnya. “Aish, kamu ini sama aja kayak adik-adikmu. Suka berlebihan,” jawabnya dengan nada bercanda.
Namun, Argo tidak peduli dan tetap melangkah lebih dulu, memastikan Stevan tidak tersesat. Di samping Stevan, Rimba yang berusia 15 tahun berjalan sambil memeluk tubuh ayahnya dari belakang.
Stevan hanya membiarkan tingkah manja putranya. Ia sudah terbiasa dengan sikap protektif ketiga anaknya. Mereka sangat menyayangi ayahnya, bahkan dengan tegas menolak ide Stevan untuk menikah lagi.
Meski begitu, Stevan tidak merasa keberatan. Baginya, ia tidak perlu menikah lagi karena cintanya kepada mendiang istrinya, Lusiana, sudah terlalu besar. Lusiana adalah wanita yang selalu ada di hatinya, dan ia merasa tidak butuh pengganti.
“Papa, cepetan, dong. Sebelum mahasiswi di sini bikin kerumunan,” keluh Argo yang berjalan lebih dulu, memotong lamunan Stevan.
“Ya, ya. Papa ikut,” sahut Stevan sambil tersenyum. Di belakangnya, Fano tertawa kecil dari atas pundak Argo, sementara Rimba masih setia menempel pada tubuh ayahnya.
Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan, dengan suasana hangat khas keluarga kecil yang selalu mengutamakan kebersamaan di atas segalanya.
Di koridor kampus, keluarga Jovetic menarik perhatian banyak orang. Sosok Stevan yang tampak karismatik, diiringi oleh ketiga putranya yang memiliki kepribadian unik masing-masing, membuat mereka menjadi pusat perhatian. Di tengah-tengah keluarga itu, Arik, sahabat dekat Argo, tampak santai saja. Dia sudah terbiasa dengan suasana hangat sekaligus unik dari keluarga sahabatnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
قصص عامةNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...