Sebenarnya, Stevan sudah tahu siapa yang mungkin mengincar keselamatan putra keduanya, Rimba. Namun, dia memilih untuk lebih berhati-hati bertindak, karena orang itu juga bagian dari orang yang sangat dia sayangi.
Di belakang Stevan, Edward tampak kesal melihat Stevan yang mondar-mandir dengan gelisah. Dengan jengkel, Edward melemparkan sepotong daging ikan mentah ke arah Stevan. Dengan santai, Stevan menangkapnya dan meletakkannya di atas meja.
“Kau kira aku hewan yang diberi makan mentah seperti ini?!” kata Stevan, nada suaranya jelas menunjukkan kekesalan.
“Biasanya kan kau suka, Stevan,” sahut Edward, nada santainya semakin memancing amarah.
“Kenapa sih putra tengahku itu begitu keras kepala?! Terkadang rasanya seperti menghadapi diriku sendiri,” gerutu Stevan, frustrasi.
“Sama persis seperti kamu dulu,” jawab Edward dengan santai, seolah tak ada yang istimewa.
“Rimba itu seperti Lusi. Mungkin karena waktu hamil Rimba, istriku sangat menginginkan anak perempuan,” ujar Stevan dengan nada penuh penyesalan.
“Kenapa nggak kamu perlakukan Rimba dengan berbeda?” tanya Edward, menatap Stevan dengan serius.
“Walaupun Rimba bukan perempuan, dia tetap anakku. Aku nggak bisa pilih kasih antara ketiga anakku,” jawab Stevan tegas.
“Jadi, lu pernah nggak bentak Rimba, waktu dia berantem sama Argo atau Fano?” tanya Edward, nada suaranya mulai menunjukkan ketertarikan lebih dalam pada perasaan Stevan.
Stevan terdiam sejenak, matanya beralih memandang meja di depannya, seolah mencari jawaban dari pertanyaannya sendiri. Wajahnya tampak ragu, seolah mempertimbangkan dengan hati-hati.
“Pernah,” jawab Stevan akhirnya, suaranya terdengar berat. "Tapi setelah itu, aku merasa seperti menghukum diri sendiri. Rasanya, aku nggak bisa lepas dari rasa bersalah. Aku selalu ingin jadi ayah yang baik, tapi kadang emosi itu datang begitu saja."
Edward mengangguk, seolah memahami perasaan Stevan tanpa kata-kata lebih lanjut. “Rimba itu keras kepala, tapi dia juga punya banyak rasa cinta, Stevan. Kamu nggak bisa lari dari itu. Kadang, kita sebagai orang tua, lupa kalau kita juga harus mengerti perasaan mereka, bukan cuma aturan kita yang harus mereka ikuti.”
Stevan mendesah, merenung. “Aku nggak ingin kehilangan mereka, Edward. Aku nggak ingin mereka merasa nggak dihargai atau terabaikan. Tapi kadang, aku merasa terjebak. Aku harus menjaga jarak, tapi juga tetap dekat dengan mereka.”
Edward tersenyum tipis, seakan memberi tahu Stevan bahwa dia tidak sendirian dalam perjuangan ini. “Terkadang, kita terlalu fokus pada apa yang kita inginkan, Stevan. Tapi kalau kamu mau jadi ayah yang baik untuk mereka, kamu harus belajar mendengarkan, bahkan ketika itu bukan yang kamu ingin dengar.”
Stevan mengangguk perlahan, meresapi kata-kata Edward. “Aku akan coba lebih sabar. Aku akan coba lebih mengerti mereka, terutama Rimba.”
“Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Stevan. Kamu sudah melakukan yang terbaik,” kata Edward dengan nada meyakinkan.
Stevan menghela napas panjang, matanya kini penuh tekad. “Terima kasih, Edward. Aku akan lebih baik lagi.”
Rimba datang menghampiri Stevan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat serius, tetapi ada keraguan di balik tatapan matanya. Stevan yang sedang terlarut dalam pikirannya mendongak dan terkejut melihat Rimba sudah berdiri di depannya.
Tanpa berkata-kata, Rimba langsung melangkah ke arah Stevan dan memeluknya erat. Stevan terkejut sejenak, tetapi langsung merespons pelukan itu dengan memeluk tubuh Rimba lebih kuat. Di dalam pelukan itu, Rimba merasakan kehangatan dan perlindungan yang selalu ia harapkan dari ayahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Fiksi UmumNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...