Ruangan serba hitam adalah markas dari Rimba. Ia membeli sebuah beberapa perumahan yang tidak dihuni sama sekali. Dengan sedikit usaha ia bersama para sahabatnya berhasil merombaknya menjadi sebuah markas.
Disini adalah tempat privasi bagi Rimba selain kamar. Sang ayah juga tidak masalah mengenai itu semua. Selagi Rimba memberitahu dimana dia berada maka Stevan akan tenang.
Tepat di depan markas tubuh Rimba diturunkan oleh sang ayah. "Kasih tahu papa kalau kakak mau pulang ke rumah," ujar Stevan mengelus rambut Rimba.
"Papa ada misi apa?" tanya Rimba.
"Setelah ini papa akan menjemput abang dan adikmu. Lalu pergi ke markas untuk mengatasi seorang koruptor," ujar Stevan.
"Oh baiklah," ujar Rimba.
Stevan menarik pipi Rimba. Sekarang pipi itu sedikit kurus mungkin efek Rimba yang terlalu memikirkan tentang penyakitnya.
"Jangan dipikirkan terlalu keras nak. Papa akan berusaha untuk menyembuhkan kamu," ujar Stevan.
"Liburan natal mau kemana papa?" tanya Rimba.
"Terserah kalian saja. Papa akan ikut kemanapun asal bersama ketiga putra papa," jawab Stevan.
Rimba mencium pipi kanan sang ayah. "Kakak akan telepon papa saat kakak akan pulang," ujar Rimba.
"Baiklah. Bersenang-senanglah nak," ujar Stevan.
Sang remaja tersenyum mendengar ucapan ayahnya. Ketika Stevan pergi dari markas keempat pemuda mulai masuk ke dalam. Sebelum masuk ada sebuah scan sidik jari agar tidak ada penyusup masuk seenaknya.
Setiap anggota disini bahkan perlu menyertakan sebuah ktp atau kk sebagai jaminan ketika bergabung. Bahkan kartu pelajar saja bisa dijadikan jaminan untuk masuk geng milik Rimba. Cukup aneh memang syarat masuk komunitas milik Rimba. Tidak semua orang disini mampu berkelahi. Rata-rata adalah korban dari keegoisan orangtua mereka masing-masing.
Rimba hanya menampung mereka selayaknya keluarga saja tidak lebih. Ia kasihan akan nasib mereka. Apalagi ia memiliki tiga sahabat yang memiliki nasib serupa.
Baru saja masuk semua orang menyambut Rimba dengan sapaan hangat. Dibalas senyuman lebar oleh Rimba. Beberapa waktu belakangan ini Rimba jarang kesini akibat dilarang oleh ayahnya Stevan.
Sebagai anak yang baik hati dan tidak sombong ia menurut saja. Walaupun Rimba melimpahkan rasa isengnya kepada para bodyguard di rumah.
Tiba di ruangan pribadinya Rimba duduk diatas meja. Bagas, Guan dan Yuda memperhatikan saja apa yang dilakukan oleh Rimba.
"Lu mau memerintahkan apa sama anak-anak disini?" tanya Bagas.
"Kita beli bahan-bahan sembako, dan membagikannya kepada para pengemis serta anak jalanan," jawab Rimba.
"Kita berempat atau mereka yang beli?" tanya Yuda.
"Kita saja. Anak-anak bagian peking barang saja, dan sekalian beli makan siang juga," jawab Rimba.
"Makan starbuck dong bos," ujar Yuda.
"Iya gua beliin untuk kalian. Jatah jajan bulanan gua dari papa masih banyak. Kemarin-kemarin gua dilarang jajan sembarangan," ujar Rimba.
"Perkara penyakit paru-paru lu?" tanya Bagas.
"Iya. Serba dilarang mulu menyebalkan," gerutu Rimba.
"Demi kesembuhan lu kali," ujar Guan.
"Gua tahu kok," ujar Rimba.
"Ya udah. Gua panasin mobil milik kita," ujar Yuda.
"Sana buruan. Gua udah laper nih," ujar Rimba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...