Di sebuah lorong gelap, dua orang berbicara dengan nada serius, membahas sesuatu yang tampak penting. Di sudut ruangan, sosok pria lain mengawasi mereka dalam diam, memperhatikan setiap gerak-gerik mereka.
Percakapan itu mengarah pada satu keputusan: mereka berencana menghabisi seseorang yang dianggap menghalangi jalan menuju balas dendam.
Si pengintai sedikit terkejut mendengar ucapan tersebut. Secara refleks, ia mundur perlahan. Namun, tanpa sengaja kakinya menyenggol sebuah kaleng minuman bekas, menghasilkan suara nyaring yang memecah kesunyian.
"Celaka," gumamnya dalam hati, mengutuk kecerobohannya.
Dua pria itu segera berbalik arah, mengarahkan senjata ke tempat suara berasal dan menembak tanpa ragu.
Sang pengintai sigap berlari, menghindari tembakan. Namun salah satu pria berhasil mengejarnya, mencoba menarik tubuhnya. Serangan itu berhasil ia tepis, memicu perkelahian sengit.
Perkelahian dua lawan satu tak terhindarkan. Meski jumlah tak menguntungkan, si pengintai menunjukkan keahlian bela diri yang luar biasa, membuat kedua lawannya kewalahan.
Beberapa menit berlalu. Kedua pria itu mulai kehilangan tenaga, sementara si pengintai tetap berdiri kokoh. Dari balik topengnya, ia tersenyum tipis, seolah mengejek kelemahan mereka.
"Makanya jangan sok berani," ujarnya dengan nada dingin. "Aku akan menghabisi kalian nanti."
Dengan gerakan lincah, ia memanjat atap gedung dan menghilang dalam kegelapan.
---
Di tempat lain, Stevan tampak gusar. Anak keduanya, Rimba, menghilang tanpa jejak. Ia telah memerintahkan anak buahnya untuk mengawasi Rimba, tetapi nyatanya mereka tak becus menjalankan tugas.
"Apa gunanya aku menggaji kalian kalau menjaga anakku saja tak mampu?" bentaknya.
Argo, anak sulungnya, mencoba menenangkan ayahnya. "Papa, aku sudah mencari Rimba ke seluruh penjuru kota, tapi tak ada jejak sama sekali."
"CCTV rumah menunjukkan Rimba keluar dua jam lalu. Tapi kenapa tak ada yang menyadarinya?" geram Stevan, merutuki kelengahan mereka.
Ia sangat khawatir, terutama karena kondisi kesehatan Rimba yang belum pulih sepenuhnya. Penyakit yang diderita Rimba membuat Stevan membatasinya di rumah, namun Rimba tampaknya sudah muak dikurung.
"Kau harus menemukannya, Argo," ujar Stevan dengan tegas. "Aku tak mau musuh menculik dia."
Namun sebelum Argo bergerak, suara pintu depan terbuka keras. Semua mata tertuju ke sana.
Di ambang pintu, berdiri Rimba bersama Fano, si bungsu yang sedang memakan es krim.
"Rimba!" Stevan langsung berlari memeluk anak keduanya.
Fano memandang ayahnya dengan bingung. "Papa peluk aku juga dong," ujarnya polos.
Stevan tertawa kecil, mengangkat Fano ke pelukannya, sementara Rimba hanya berdiri santai, menikmati es krimnya.
"Rimba, lain kali beri tahu Papa kalau mau pergi," ujar Stevan, menahan nada marahnya.
"Tadi aku sudah bilang kok ke Om Edward. Papa aja yang sibuk dengan urusan dunia bawah," jawab Rimba dengan santai.
Argo yang kesal langsung menjitak kepala adiknya. "Kau ini bikin semua orang panik! Abang sudah keliling kota cari kau!"
Rimba hanya tersenyum tipis. "Aku kan sudah ahli bela diri, Bang. Nggak mungkin aku kalah."
"Kamu memang ahli bela diri, tapi refleksmu masih buruk," potong Stevan tegas. "Musuh bisa menyerang dengan racun atau senjata jarak jauh. Itu yang Papa khawatirkan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Fiction généraleNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...