Hari pertama Rimba kembali ke sekolah setelah masa skorsing langsung menarik perhatian banyak orang. Dengan langkah santai dan senyum penuh percaya diri, ia melangkah masuk ke gerbang sekolah sambil membawa tas yang terlihat lebih besar dari biasanya. Beberapa siswa yang melihatnya langsung berbisik-bisik.
“Eh, itu Rimba, kan? Udah balik ternyata.”
“Wah, pasti ada yang bakal rame lagi nih!”
Rimba hanya melambaikan tangan santai ke arah mereka, seolah menyadari bahwa dirinya memang pusat perhatian. Ia langsung menuju ke kelasnya, dan seperti biasa, ia memulai hari dengan membuat kehebohan.
Di kelas, ia meletakkan tas besarnya di atas meja, menarik perhatian sahabat-sahabatnya yaitu Bagas, Guan, dan Yuda.
“Apa lagi yang lo bawa, Rim?” tanya Bagas curiga.
“Nggak ada yang aneh, cuma perlengkapan buat eksperimen,” jawab Rimba dengan senyum misterius.
Guan menyipitkan mata, tahu betul bahwa “eksperimen” ala Rimba selalu berarti kekacauan. “Lu beneran nggak bakal bikin ulah, kan?”
“Gue? Bikin ulah? Yaelah, santai aja,” balas Rimba sambil mengeluarkan beberapa balon berwarna cerah dari tasnya.
Tidak lama, bel tanda masuk berbunyi, dan kelas pun dimulai. Namun, selama pelajaran berlangsung, Rimba terlihat sibuk mengerjakan sesuatu di mejanya. Ia meniup balon-balon kecil secara diam-diam, lalu menyelipkannya di bawah meja beberapa teman sekelasnya.
Ketika istirahat tiba, salah satu teman mereka, Riko, mencoba menarik kursinya tanpa sadar bahwa ada balon di bawahnya.
“DUAAARR!”
Ledakan kecil itu langsung membuat Riko melompat kaget, sementara seluruh kelas tertawa terbahak-bahak. Rimba tertawa paling keras, merasa puas dengan hasil kerjanya.
“Lu kenapa sih, Rim? Nggak bisa sehari aja nggak bikin orang deg-degan?” protes Riko sambil memijat dadanya.
“Hidup itu butuh hiburan, bro. Kalau nggak ada gue, kalian pasti bosan,” balas Rimba sambil tersenyum lebar.
Namun, kehebohan tidak berhenti di situ. Di kantin, Rimba kembali membuat ulah dengan mengganti saus sambal di botol dengan jus stroberi. Ketika salah satu siswa mencoba menuangkannya ke makanan, ia langsung menyadari keanehan rasanya.
“Kenapa saus sambalnya manis?!” tanya siswa itu dengan bingung.
Rimba yang duduk tidak jauh darinya hanya mengangkat bahu sambil terkekeh. “Mungkin sausnya lagi patah hati, jadi manis.”
Hari itu, seperti biasa, Rimba berhasil membuat sekolah menjadi lebih hidup meskipun dengan cara yang membuat beberapa orang geleng-geleng kepala. Satu hal yang pasti kehadirannya selalu menjadi topik pembicaraan, baik di kalangan guru maupun siswa.
Setelah membuat kehebohan di kantin, Rimba berjalan santai menuju lapangan sekolah. Ia melihat beberapa siswa sedang bermain bola basket, sementara yang lain duduk-duduk santai di pinggir lapangan. Namun, mata Rimba langsung tertuju pada seorang guru olahraga, Pak Tio, yang sedang sibuk mengatur alat-alat olahraga.
Senyum jahil muncul di wajahnya. Ia melirik teman-temannya, Bagas, Guan, dan Yuda, yang sedang duduk tidak jauh darinya.
“Gue punya ide,” bisiknya sambil mendekat ke mereka.
“Apaan lagi, Rim?” tanya Guan curiga.
“Lu liat Pak Tio? Gimana kalau kita kasih dia sedikit kejutan?” jawab Rimba sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya sebuah klakson udara kecil.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...