Hari ini, setelah pulang sekolah, Rimba langsung meluncur ke restoran tempat dia bekerja. Setibanya di sana, Rimba sengaja memberi tahu manajer restoran untuk merahasiakan identitasnya.
Rimba malas berurusan dengan orang-orang penjilat, jadi dia memutuskan untuk menguji bagaimana para karyawan restoran ini.
Beberapa menit kemudian, para staf restoran sudah berjejer. Sang manajer menepuk pundak Rimba, memberi isyarat agar dia memperkenalkan dirinya.
“Hay semuanya! Aku Rimba! Kebetulan aku anak SMA dan ingin mencari uang di sini. Salam kenal,” ujar Rimba.
Semua staf menyambutnya dengan tangan terbuka. Manajer restoran kemudian undur diri untuk mengecek semua pengeluaran dan pemasukan restoran.
Para staf lama dengan pelan mulai mengajarkan Rimba berbagai hal penting. Ketika jam menunjukkan pukul satu lewat, seorang pria datang terlambat. Ia bahkan tidak meminta maaf dan langsung duduk begitu saja.
Rimba yang ingin mendekat, ditarik oleh salah satu staf lama. “Jangan dekat-dekat, itu keponakan dari pemilik restoran,” bisik staf itu pada Rimba, memperingatkannya agar tidak berurusan dengan pria tersebut.
Rimba tidak peduli dengan peringatan staf itu. Dengan santai, dia berjalan mendekat kepada pria yang duduk dengan sikap tidak bersalah itu. Rimba berhenti tepat di depannya, menatap pria itu dengan tajam.
“Hei, kamu tahu nggak sih, orang datang tepat waktu itu penting? Kalau terlambat, setidaknya ada sopan santun buat minta maaf, bukan malah duduk santai seperti nggak ada masalah!” ujar Rimba dengan nada tegas.
Pria itu menoleh dengan raut wajah tidak terkejut. Dia hanya mengangkat bahu, seakan tidak peduli dengan teguran Rimba. Pria itu bernama Agus Hermawan, pemuda 20 tahun, terkenal sok berkuasa di restoran ini, mengaku sebagai keponakan pemilik. Bertubuh tinggi besar dan sedikit berisi, membuat para karyawan enggan melawannya.
“Apa sih, kamu pikir kamu siapa? Ini restoran punya keluarga aku,” jawab Agus dengan nada suaranya sinis.
Rimba menatapnya dengan tajam. “Aku nggak peduli siapa kamu. Kalau di sini mau kerja, semua orang harus saling menghargai. Termasuk kamu.”
Suasana menjadi tegang, dan beberapa staf lain yang mendengar percakapan itu mulai menatap cemas. Mereka tahu siapa pria itu, tapi Rimba jelas tidak takut.
“Sudah, jangan ganggu dia. Biarkan dia belajar dari pengalaman,” kata staf yang sebelumnya memperingatkan Rimba, mencoba menenangkan situasi. Tapi Rimba tetap berdiri di sana, tidak peduli dengan peringatan apa pun.
Rimba tetap berdiri di sana, menatap pria itu dengan tatapan tidak teralihkan. Dia merasa tidak ada salahnya untuk memberikan pelajaran, apalagi jika orang itu merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain hanya karena hubungan keluarga.
“Dengar ya, kalau kamu memang merasa restoran ini milik keluarga kamu, itu bukan berarti kamu bisa semena-mena. Semua orang di sini kerja keras,” ujar Rimba, sambil menekankan setiap kata dengan penuh keyakinan.
Agus mulai merasa risih, meski wajahnya tetap tenang. “Jangan sok mengajari aku, anak SMA! Kalau mau jadi seperti mereka, silahkan saja,” jawabnya, sedikit mengejek.
Rimba menyeringai, tidak terpengaruh. “Bukan masalah jadi seperti mereka. Masalahnya adalah punya rasa tanggung jawab. Kalau kamu nggak bisa hargai waktu dan kerja keras orang lain, lebih baik nggak usah kerja di sini.”
Beberapa staf yang semula ragu mulai merasa sedikit bangga melihat keberanian Rimba. Mereka tahu Rimba berani berkata apa yang mereka rasakan tapi tidak punya keberanian untuk diungkapkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Ficción GeneralNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...