Satu bulan terakhir Rimba libur sekolah. Sang ayah melarangnya dikarenakan penyakit ia yang dia derita. Sekarang Rimba tengah memperhatikan penampilan dia di depan kaca full body di kamarnya.
Rambut Rimba berwarna cokelat terang, kemeja sekolah yang dikeluarkan, dasi tidak terpasang, celana sekolah yang sedikit ketat, sepatu berwarna merah menyala. Penampilan Rimba secara keseluruhan tidak sesuai aturan sekolah.
Tangan besar Rimba mengacak-acak rambut cokelatnya. "Begini baru diriku. Di rumah bosan, mana papa sering bunuh orang tanpa melibatkan diriku," keluh Rimba.
"Dan!" panggil seseorang.
Mendengar panggilan sayang dari sang abang Argo. Tanpa Rimba sadari ia tersenyum lebar. "Abang!" pekik Rimba.
Ia langsung berlari dan memeluk erat tubuh sang abang. Tubuh abangnya lebih kecil daripada Rimba. Argo mengelus rambut sang adik yang lembut.
"Jangan keseringan berlarian. Paru-paru belum sembuh sepenuhnya," nasihat Argo.
"Abang akan ke sekolah aku?" tanya Rimba.
"Begitulah. Abang akan berikan surat keterangan mengenai kondisi kamu," jawab Argo.
"Papa kemana?" tanya Rimba.
"Biasa ada urusan di sekolah adek," jawab Argo.
"Oh mengenai study tour itu?" tanya Rimba.
"Iya," jawab Argo.
"Papa pasti akan ikut mengawal. Dia itu sangat overprotektif kepada kita bertiga," gerutu Rimba.
"Kita perlu bersyukur memiliki papa yang sangat perhatian. Di luar sana banyak yang tidak mendapatkan peran seorang papa dalam hidupnya," ujar Argo.
"Guan dan Yuda tidak mendapatkan peran ayah selama mereka hidup," ujar Rimba.
"Iya, kamu jangan menggerutu tentang segala perhatian dari papa ya," nasihat Argo kepada adiknya.
"Papa terlalu baik kepadaku. Padahal aku anak yang kurang ajar terhadapnya," ujar Rimba.
"Ternyata kamu sadar diri sekali, Dan," sindir Argo.
"Abang juga kurang ajar sama papa. Jangan menasihati aku tentang menghormati papa deh," sindir Rimba.
"Hey kalian berdua! Cepat berangkat sana!" pekik Edward.
"Lha kok Om Ed disini?" heran mereka berdua.
"Stevan menyuruhku untuk mengawasi anaknya yang seperti anak kembar, selama dia tidak ada di rumah," jawab Edward.
"Gaji Om berapa sih?" tanya Rimba.
"Cukuplah untuk membeli satu buah mobil ferrari," sahut Edward.
"Pernah dipotong gajinya sama papa?" tanya Rimba.
"Paling apabila Om gagal menjaga kalian," jawab Edward.
Edward melirik kearah jam. "Sudah jangan banyak bertanya. Om tahu kamu ingin mengulur waktu Rimba," ujar Edward mengerti maksud Rimba.
Tangan besar Edward menarik kedua tangan anak si bosnya. Sang bos berkata bahwa dia bebas untuk mengatur dan memarahi anak-anaknya. Edward tentu saja senang akan ucapan dari sang bos Stevan.
Dikarenakan ketiga anak dari Stevan lumayan susah sekali diatur. Mereka sering membuat dia berulangkali dipotong gaji akibat ulah mereka sendiri. Penyebab utama Edward kehilangan gajinya adalah Rimba. Anak tengah Stevan ini banyak sekali tingkahnya setiap harinya.
Selama dia berada di rumah saja telah banyak korban dari ulah kejahilan Rimba. Beberapa dari bodyguard saja mengaku lelah ketika menjaga Rimba di rumah. Mereka bahkan meminta kepada Stevan untuk misi pembunuhan saja daripada menjaga Rimba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...