Sejak kecil, Rimba mengerti arti perbedaan antarumat beragama. Itu adalah ajaran dari mendiang mamanya, Lusiana. Sang ibu selalu berkata bahwa setiap orang memiliki kepercayaan masing-masing, dan kita perlu menghormati itu semua.
Sekarang, Rimba tengah bersama ketiga sahabatnya yang lain. Mereka akan mengantar Bagas untuk membeli takjil berbuka puasa. Namun, mereka malah merengek ingin ikut memilih takjil bersama Bagas. Yah, tidak ada pilihan lain, Bagas akhirnya membiarkan saja tingkah ketiga sahabatnya.
Di antara keempatnya, hanya Bagas yang beragama Islam. Rimba beragama Kristen, Yuda Katolik, sementara Guan menganut Khonghucu. Keempat sahabat ini memiliki agama yang berbeda satu sama lain, tetapi mereka selalu saling menghormati tanpa ada masalah.
“Oh iya, nanti kita cicipin dulu biar Bagas punya pilihan terbaik untuk berbuka puasa,” usul Rimba dengan santai.
“Kau tidak malu? Nanti ada anak kecil yang tengah berpuasa melihatmu,” tanya Yuda, cukup heran dengan ucapan Rimba.
Geplakan di kepala langsung didapatkan Rimba dari Guan yang tidak habis pikir dengan ide aneh sahabatnya itu.
“Kau ini, hargai mereka yang tengah berpuasa!” kesal Guan.
Rimba mengusap kepalanya sambil meringis. “Aduh, sakit, Guan! Aku kan cuma bercanda.”
Bagas hanya menggelengkan kepala sambil terkekeh. “Bercanda macam apa itu? Lagian, aku bisa milih sendiri kok, nggak perlu dicicipin dulu.”
Rimba melipat tangan di dada, pura-pura kesal. “Huh, pelit banget. Aku kan cuma mau memastikan kalau yang kamu beli enak.”
Yuda tertawa kecil. “Kalau gitu, beli sendiri aja, Rim. Biar bisa cicipin sesuka hati.”
Guan masih menatap Rimba tajam sebelum akhirnya menghela napas. “Dengar, ya. Dari dulu kita udah diajarin buat saling menghormati. Jangan bertingkah aneh kalau lagi di tempat orang yang lagi puasa.”
Rimba mengangguk cepat, lalu menepuk bahu Bagas. “Iya, iya, aku ngerti. Udah, ayo beli takjilnya!”
Mereka berempat pun berjalan menuju pasar takjil. Suasana ramai dengan orang-orang yang berburu makanan untuk berbuka. Meski berbeda agama, mereka tetap menikmati waktu bersama tanpa ada perasaan canggung.
Bagas tersenyum kecil melihat tingkah sahabat-sahabatnya. Di antara mereka memang tak pernah ada perdebatan soal keyakinan. Justru perbedaan itu membuat mereka semakin menghargai satu sama lain.
Selama berburu takjil, yang paling bersemangat justru para non-Muslim yang menemani Bagas. Mereka sibuk memilih dan mencicipi berbagai macam jajanan, sementara Bagas yang berpuasa justru hanya membeli dua bungkus takjil saja.
Lihat saja Rimba, dia malah lumayan banyak membeli takjil dengan berbagai macam jenis.
“Rim, kau yang puasa atau aku sih?” tanya Bagas heran.
“Aku kan hanya ingin mendukungmu berbuka dengan penuh kebahagiaan,” jawab Rimba santai sambil menaruh beberapa bungkus takjil ke dalam kantong belanjaannya.
Yuda dan Guan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah sahabat mereka yang kelewat antusias.
Tepat pukul lima sore, mereka akhirnya memutuskan untuk mengakhiri perburuan takjil. Bagas melihat jam di ponselnya dan berkata, “Sudah cukup, takut keburu adzan. Aku masih harus sampai rumah dulu.”
Rimba, Yuda, dan Guan mengangguk setuju. Mereka berjalan menuju parkiran dengan kantong belanjaan penuh di tangan masing-masing. Namun, sebelum mereka benar-benar pergi, tanpa terduga Rimba justru berhenti di pinggir jalan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rimba
Fiksi UmumNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Rimba dan jovetic sosok anak tengah yang menjadi pelipur lara bagi keluarganya. Remaja yang setiap hari akan membuat sang ayah menghela nafas kasar akan segala tindakan nakalny...