32 (manja sama abang!)

830 64 22
                                    

Selama beberapa hari terakhir, Rimba terus mengikuti ke mana pun Argo pergi. Mulai dari ke gym, ke toko buku, bahkan sekadar jalan-jalan di taman, Rimba selalu berada di belakang atau di sampingnya. Hal ini membuat Argo terkadang merasa seperti memiliki bayangan hidup.

Awalnya, Argo mengira Rimba hanya bercanda, tapi semakin hari ia menyadari adiknya benar-benar serius. Tidak peduli apa pun kegiatannya, Rimba selalu muncul dengan alasan yang sama, "Aku cuma mau jagain abang."

Suatu sore, ketika Argo sedang duduk santai di teras rumah setelah pulang dari kampus, Rimba muncul lagi dengan membawa dua gelas jus jeruk. Dia menyerahkan satu kepada Argo sambil duduk di kursi sebelahnya.

"Abang, besok ke mana lagi? Aku ikut," kata Rimba santai sambil menyeruput jusnya.

Argo tertawa kecil. "Kamu ini benar-benar nggak ada kerjaan lain selain ngikutin abang, ya?"

"Kerjaan aku sekarang cuma memastikan abang nggak dijodohkan sama teman-temannya Aunty," jawab Rimba dengan nada serius.

Argo menatap adiknya, lalu tersenyum. "Dan, kamu tahu nggak? Gara-gara kamu begini, abang jadi makin sayang sama kamu."

Rimba mengerutkan kening, sedikit bingung. "Maksudnya?"

Argo menghela napas sambil menepuk bahu adiknya. "Aunty tuh pinter. Dia tahu kalau dia bilang soal menjodohkan abang, kamu bakal makin lengket sama abang. Hasilnya, abang jadi punya partner ke mana-mana. Jujur, abang malah seneng banget."

Mata Rimba melebar. "Jadi... ini semua trik Aunty?"

"Yup," jawab Argo sambil tertawa kecil. "Dan abang harus bilang terima kasih sama aunty karena sekarang abang nggak pernah sendirian lagi."

Rimba mendengus kesal, tapi di dalam hati dia sedikit lega karena abangnya sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan serius dalam waktu dekat.

"Tapi abang janji, ya, kalau ada apa-apa soal perjodohan, aku harus tahu duluan!" ujar Rimba dengan nada setengah memerintah.

Argo mengangguk sambil tersenyum. "Iya, iya. Abang janji. Lagian, siapa juga yang bisa ngelakuin apa pun tanpa seizin kamu, Dan?"

Rimba tersenyum puas, lalu kembali menyeruput jusnya. Meskipun dia kesal karena ternyata ini adalah trik Latasya, dia tetap senang karena berhasil menjaga abangnya tetap dekat. Untuk sementara waktu, situasi ini terasa sempurna baginya.

Rimba meneguk habis jusnya dan segera mendekati Argo, sang abang yang berusia delapan belas tahun. Tanpa ragu, Rimba duduk di lantai, tepat di bawah kaki Argo, lalu memeluk erat kedua kakinya. Gestur itu seperti anak kecil yang enggan melepaskan mainannya.

Argo, yang terbiasa dengan tingkah manja Rimba, tidak memprotes. Sebaliknya, ia mengelus rambut Rimba dengan lembut, membuat adiknya semakin nyaman memeluknya. Ada kehangatan yang selalu ia rasakan setiap kali berinteraksi dengan kedua adiknya, termasuk Rimba yang terkenal keras kepala.

Tiba-tiba terdengar pekikan kecil dari arah pintu. "Kakak peluk-peluk Abang terus! Nggak adil!" Suara itu berasal dari Fano, adik bungsu mereka yang berusia sembilan tahun. Anak kecil itu tampak cemberut melihat kedekatan dua kakaknya, merasa dirinya diabaikan.

Rimba tetap bergeming. Ia sama sekali tidak peduli dengan keluhan Fano. Sebaliknya, ia semakin erat memeluk kaki Argo, seolah ingin menunjukkan bahwa posisinya sebagai adik favorit Argo tidak bisa diganggu gugat. "Diam aja, bocah. Sana main sendiri," jawab Rimba santai, tanpa melirik ke arah Fano.

Tak lama, sosok Stevan, ayah mereka, muncul dengan beberapa paperbag di tangannya. Di belakangnya, Fano membawa satu paperbag kecil berisi mainan yang baru saja ia minta dibelikan. Mereka berdua baru saja pulang setelah izin keluar rumah untuk membeli beberapa kebutuhan.

RimbaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang