1 - Lost and an Unexpected Kiss

347 38 5
                                    

WARNING!!!
CERITA INI MENGANDUNG HAL-HAL SENSITIVE DAN RATE 18/21++
BACA DENGAN TANGGUNG JAWAB!!!

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan jejak warna jingga keemasan di langit kota M. Jaemin berdiri di trotoar yang padat, dengan tas ransel menggantung di bahunya. Wajahnya kusut dan penuh penyesalan, bibirnya terus menggerutu pelan.

"Kenapa aku tidak menerima tawaran Ayah, ya?" gumamnya sambil menendang-nendang kerikil kecil di trotoar. Ia ingat bagaimana ayahnya menawarkan untuk mengirim supir ke bandara, tetapi Jaemin dengan percaya diri menolak. "Aku sudah dewasa, Ayah. Masa masih harus diantar jemput terus?" Begitulah ia berkata penuh keyakinan. Kini, di tengah hiruk-pikuk kota asing ini, rasa mandiri yang ia banggakan mulai terasa seperti beban berat.

Rencana awalnya sederhana: setelah sampai di kota M, ia akan menjelajahi tempat-tempat terkenal, mencoba makanan lokal, dan menikmati suasana baru. Namun, masalah dimulai saat iPhone-nya kehabisan baterai. Power bank-nya? Tentu saja, ia lupa mengisi dayanya sebelum berangkat. Uang tunai? Tidak ada. Seluruh uangnya tersimpan di e-wallet, yang kini tidak bisa ia akses karena baterainya mati.

"Bagus, Jaemin. Sangat dewasa sekali," katanya pada dirinya sendiri sambil menghela napas panjang. Ia mencoba bertanya arah ke beberapa orang, tetapi kebanyakan mereka terlalu sibuk atau tak memahami aksennya yang asing di telinga mereka. Kota M yang awalnya terasa penuh janji petualangan, kini berubah menjadi labirin yang membingungkan.

Perutnya mulai keroncongan. Ia melirik ke sebuah gerobak kecil di tepi jalan yang menjual makanan goreng-gorengan. Aroma gurihnya membuat air liur Jaemin hampir menetes. Tapi tanpa uang tunai, apa yang bisa ia lakukan?

Saat itu, seorang anak kecil mendekatinya. Bocah itu menjual balon-balon warna-warni dan tampak ceria meski bajunya sudah lusuh. "Kakak tersesat, ya?" tanya bocah itu polos, menatap wajah Jaemin yang kebingungan.

"Bisa dibilang begitu," jawab Jaemin dengan senyum masam.

"Kakak mau ke mana?" Bocah itu melanjutkan.

"Ke... apartemen," kata Jaemin sambil mencoba mengingat nama hotel yang sudah ia pesan. "Apartemen Maple... atau apa ya, pokoknya yang dekat pusat kota."

"Oh, tahu! Tapi jauh dari sini," bocah itu menyahut sambil menunjuk ke arah yang berlawanan dari jalan yang tadi Jaemin lalui.

"Sungguh?" Jaemin hampir ingin menjatuhkan diri ke trotoar. "Kenapa aku malah makin jauh?"

Bocah itu menatapnya dengan senyum lebar. "Kalau Kakak mau, aku bisa antar. Tapi nanti aku dibeliin roti, ya?"

Jaemin menatap bocah itu dengan mata melebar, separuh tidak percaya. "Tunggu, kamu tahu jalan ke sana?"

Bocah itu mengangguk penuh percaya diri. Meski awalnya ragu, Jaemin akhirnya memutuskan mengikuti bocah itu. Dengan segala keterbatasan yang ada, mungkin ini awal dari cerita yang akan ia kenang sepanjang hidup.

Langit yang sebelumnya berwarna jingga kini berubah gelap, hanya disinari oleh lampu jalan yang redup. Jaemin terus mengikuti bocah itu, meskipun hatinya mulai merasa ada yang aneh. Lingkungan sekitar semakin sepi, jauh dari keramaian jalan utama. Suara kendaraan mulai jarang terdengar, digantikan oleh gema langkah kaki mereka di jalan berbatu.

"Ini benar jalan ke hotel?" Jaemin bertanya dengan nada ragu, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.

Bocah itu menoleh sebentar, tersenyum lebar, lalu mengangguk. "Iya, Kak. Tinggal sedikit lagi."

Namun, insting Jaemin berteriak lain. Ia berhenti sejenak, mengamati sekitar. Sebuah gang sempit dengan dinding-dinding yang penuh coretan grafiti dan aroma lembap yang menusuk hidung. Tidak ada tanda-tanda tempat yang layak disebut dekat hotel. Sebelum ia sempat bertanya lagi, bocah itu berlari ke ujung gang, bersembunyi di balik punggung empat pria bertubuh kekar yang tubuhnya penuh tato.

F For Five || MobxJaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang