Setelah memastikan pintu apartemen Jaemin terkunci dengan rapat, Vernon dan Jeno masuk ke dalam lift yang akan membawa mereka ke lantai 12.
Lift bergerak perlahan naik, dan suasana di dalam terasa hening. Hanya ada suara pelan dari mesin lift yang bekerja. Jeno berdiri bersandar di dinding lift, tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket, sementara Vernon berdiri dengan tangan menyilang di dada, tatapannya kosong menatap angka-angka yang bertambah di layar kecil di atas pintu.
Ketika angka "10" menyala, Vernon akhirnya memecah keheningan. Suaranya tenang, tetapi ada sesuatu yang tersirat di balik nada bicaranya. "Apa kau memikirkan yang aku pikirkan?"
Jeno menoleh, menatap Vernon dengan sorot mata yang serius. Ia tidak perlu waktu lama untuk menjawab, anggukan kecilnya sudah cukup untuk mengkonfirmasi pemikiran yang sama.
Vernon menghela napas panjang, pandangannya kini beralih ke pintu lift yang tertutup rapat. "He's too innocent," gumamnya pelan. "Jika dia tidak merasakan apa-apa dari sekian banyak tatapan orang di kampus, apa yang bisa dia rasakan dari kita berlima?"
Jeno menunduk sejenak, seolah memikirkan sesuatu yang sulit diungkapkan. "Dia tidak menyadari apapun," katanya pelan, suaranya sedikit serak. "Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri, dengan tugas-tugas, dengan kesempurnaan yang dia kejar. Kita bahkan tidak ada dalam radar perhatiannya, Vern."
"Dan itu membuat semuanya terasa lebih rumit," sambung Vernon sambil tertawa kecil, tapi nadanya tidak terdengar senang. "Di satu sisi, aku tidak ingin dia kehilangan kepolosannya. Itu salah satu hal yang membuat dia... menarik."
"Tapi di sisi lain?" potong Jeno, kali ini dengan nada yang lebih tajam.
Vernon menoleh ke arah Jeno, mata mereka bertemu. "Di sisi lain, aku ingin dia paham. Aku ingin dia bisa membaca isyarat, kode-kode kecil yang kita berikan. Bukankah itu membuat kita tidak perlu terus-menerus berputar di sekitar asumsi dan harapan kosong?"
Jeno mengangguk kecil, ekspresinya menjadi lebih serius. "Ya. Aku juga ingin dia bisa membaca lebih dari sekadar kata-kata. Tapi aku takut."
"Takut apa?" tanya Vernon, alisnya sedikit terangkat.
"Takut kalau ketika dia akhirnya mengerti," Jeno menelan ludah, suaranya sedikit bergetar. "Dia tidak menyukai apa yang dia lihat. Kau pikir bagaimana reaksinya ketika dia tiba-tiba menyadari Lima seniornya ternyata menatapnya dengan buas?"
Vernon terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Jeno. Lift akhirnya mencapai lantai 12 dengan bunyi pelan, tetapi tidak ada dari mereka yang bergerak keluar.
**
Setelah keluar dari lift, Jeno dan Vernon berjalan ke ruang tengah apartemen mereka. Baekhyun sudah berbaring malas di sofa, sementara Taehyung duduk di kursi dengan segelas minuman, dan Hyunjin bersandar di meja dengan ekspresi bosan.
"Kenapa kalian kelihatan serius sekali," tanya Baekhyun sambil melirik mereka.
Vernon langsung duduk di kursi kosong dan menghela napas panjang. "Ini tentang Jaemin."
Taehyung menoleh dengan minat. "Lagi? Hei, aku mulai merasa kita lebih sering membicarakan dia daripada hidup kita sendiri."
Baekhyun tertawa kecil. "Sejak kapan kita jadi begini? Aku tidak menyangka akan tiba saatnya di mana kita berlima membahas strategi mendekati seseorang seserius ini. Ahahaha!"
Jeno duduk di sebelah Taehyung, bersandar ke belakang dengan ekspresi tenang tapi jelas memikirkan sesuatu. "Ini bukan strategi biasa," katanya pelan. "Kalau tidak dipikirkan, dia tidak akan pernah sadar."
KAMU SEDANG MEMBACA
F For Five || MobxJaemin
Fanfiction🔞🔞 "Lima? Kalian serius? Bagaimana mungkin kalian semua bisa menyukaiku bersamaan? Aku bahkan tidak memberikan alasan untuk kalian menyukaiku? Dan lagi bagaimana bisa kalian membiarkan orang yang kalian sukai bersama orang lain?" Jaemin tidak perc...