Pagi hari datang dengan sinar matahari lembut yang masuk melalui celah tirai kamar Jaemin. Ia terbangun dengan perasaan aneh—ringan, tetapi juga dipenuhi oleh sesuatu yang ia tak bisa jelaskan. Ingatan tentang malam sebelumnya muncul dengan cepat, membuat wajahnya memanas lagi. Ia menggulung dirinya dalam selimut, mencoba mengusir rasa malu yang entah kenapa masih terasa.
"Kenapa aku terus memikirkannya?" bisiknya pelan. Tapi tidak ada yang bisa menghentikan pikirannya untuk kembali ke momen itu, ketika Jeno menciumnya di puncak kepala dengan begitu lembut. Jaemin menarik napas panjang dan akhirnya memutuskan untuk bangun.
Sementara itu, di lantai 12, Jeno sudah terjaga lebih awal seperti biasanya. Ia duduk di sofa dengan secangkir kopi di tangannya. Ekspresinya tenang, tapi pikirannya sibuk memutar ulang kejadian tadi malam. Ia jarang melakukan hal-hal impulsif seperti itu, tapi ada sesuatu tentang Jaemin—kehadiran, kepolosannya, atau mungkin caranya selalu mencoba terlihat kuat meski rapuh—yang membuat Jeno ingin melindunginya lebih dari sekadar seorang senior terhadap juniornya.
"Jeno, kau melamun?" suara Taehyung membuyarkan pikirannya. Pria itu berjalan ke dapur, membuka kulkas untuk mengambil susu. Meskipun mereka semua punya kamar apartemen masing-masing, bahkan Jeno memiliki satu lantai penuh untuk dirinya sendiri namun mereka semua sepakat untuk masalah makanan dan persediaan lainnya diletakkan di lantai 12 untuk memastikan setidaknya mereka tetap bertemu dan tahu keadaan satu sama lain.
"Sedikit," jawab Jeno, menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil menyesap kopinya.
Taehyung menatapnya dengan alis terangkat. "Tentang Jaemin?"
Jeno hanya mengangguk kecil, tidak berusaha menyembunyikan pikirannya. Taehyung tertawa pelan sambil menuang susu ke dalam gelasnya. "Kau benar-benar memperlakukannya dengan istimewa. Bahkan aku merasa kau lebih perhatian padanya dibanding kami."
Jeno hanya tersenyum tipis, tidak membantah. "Dia berbeda," katanya singkat.
Taehyung duduk di kursi di seberang sofa, menatap Jeno dengan pandangan penasaran. "Berbeda bagaimana?"
"Entahlah," Jeno mengangkat bahu. "Dia mengingatkanku pada seseorang yang pernah kuberikan perhatian penuh... dan aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama."
Taehyung tidak menekan lebih jauh, tapi ada pemahaman di matanya. "Sepertinya perkataanmu kemarin lebih kepada dirimu sendiri yang tidak yakin dengan perasaanmu. Dan lagi jangan lupa Jen, kali ini kau bersaing dengan kami semua."
Jeno mendesah pelan. Ia tahu kata-kata Taehyung ada benarnya. Tapi bagaimana ia bisa mengungkapkan sesuatu yang bahkan dirinya sendiri belum sepenuhnya pahami?
Di tempat lain, Jaemin akhirnya keluar dari kamarnya setelah bersiap. Ia memutuskan untuk naik ke lantai 12, ingin mengucapkan terima kasih lagi pada seniornya untuk malam sebelumnya. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu apartemen mereka. Hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya, seolah tubuhnya tahu ia akan bertemu Jeno lagi.
"Ayo, Jaemin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," katanya pada dirinya sendiri sebelum mengetuk pintu.
Ketukan itu disambut dengan suara Taehyung dari dalam. "Masuk saja, pintunya tidak terkunci!"
Jaemin membuka pintu perlahan, matanya langsung menangkap sosok Jeno yang duduk di sofa, memegang cangkir kopi dengan tatapan sedikit termenung. Hatinya berdebar lagi, tapi kali ini ia mencoba mengabaikannya.
"Selamat pagi, hyung," sapa Jaemin dengan senyum kecil.
Jeno menoleh dan langsung berdiri, menyambut Jaemin dengan senyuman yang hangat. "Pagi, Jaemin. Sudah sarapan?"
"Belum," jawab Jaemin jujur, merasa canggung dengan perhatian Jeno yang begitu intens. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih lagi untuk semalam."
Taehyung melirik mereka berdua dengan senyuman penuh arti sebelum bangkit dari kursinya. "Aku akan pergi ke balkon. Kalian lanjutkan saja obrolan kalian."
Begitu Taehyung pergi, Jaemin merasa suasana menjadi lebih intim. Jeno melangkah mendekat, menatapnya dengan mata yang sulit dibaca. "Semalam... apa kau merasa tidak nyaman?"
Jaemin menggeleng cepat. "Tidak, hyung. Aku... aku tidak menganggapnya apa-apa." Ia tertawa kecil, meskipun canggung. "Maksudku, kau bahkan pernah menciumku sebelumnya hanya untuk bercanda atau hal-hal iseng lainnya. Jadi, aku tidak terlalu memikirkannya."
Mendengar itu, senyum Jeno menghilang sesaat, dan rahangnya mengeras. Ia menatap Jaemin dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan, seolah ingin membantah perkataan Jaemin. Namun, sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, terdengar suara Taehyung yang tiba-tiba tersedak minumannya.
Kekacauan kecil itu memecah suasana di antara mereka, membuat Jeno hanya bisa menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menjawab dengan nada yang terdengar setengah hati. "Kalau begitu... bagus kalau kau tidak menganggapnya apa-apa," katanya sambil berpaling, suaranya terdengar datar.
**
Jaemin berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan pakaian kasualnya sambil menghela napas panjang. Orientasi sudah berakhir, dan kini ia harus menghadapi hari di kampus. Sebuah ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Jaemin, kau sudah siap?" suara Vernon terdengar dari luar.
Jaemin buru-buru membuka pintu, mendapati Vernon berdiri di sana dengan senyum santainya. "Ayo, yang lain sudah menunggu di bawah. Kau mau terlambat lagi?" goda Vernon sambil menyipitkan mata.
Jaemin terkekeh pelan. "Aku tidak terlambat. Hanya... memastikan semuanya rapi."
Vernon mengangguk, lalu mengamati Jaemin dari ujung kepala hingga kaki. "Hmm... cukup rapi. Tapi, kau terlalu formal. Kau mau kuliah atau wawancara kerja?"
"Yah... aku tidak tahu harus berpakaian seperti apa," Jaemin menjawab malu-malu sambil menggaruk tengkuknya, kebiasaan yang mulai Vernon kenali.
Vernon menghela napas pendek, lalu dengan gerakan cepat menarik kerah Jaemin sedikit, membuatnya terlihat lebih kasual. "Begini lebih baik. Kau terlalu tampan untuk terlihat tegang," katanya sambil mengedipkan mata.
Jaemin hanya bisa tertawa kecil, wajahnya kembali memerah karena pujian itu. "Kau selalu tahu cara membuat orang merasa canggung, hyung."
"Bakat alami," Vernon menjawab santai sambil memasukkan tangannya ke saku celana. "Ayo, kita harus turun sebelum Jeno mencarimu dengan wajah seramnya."
Mereka berjalan bersama menuju lobi apartemen. Dalam perjalanan, Vernon tetap menjaga pembicaraan tetap ringan, menanyakan hal-hal sederhana seperti apakah Jaemin sudah terbiasa dengan lingkungan kampus atau bagaimana ia tidur tadi malam.
"Hyung, kenapa kau selalu terlihat santai?" Jaemin bertanya tiba-tiba, merasa penasaran. "Kau tidak pernah terlihat stres atau tertekan seperti yang lain."
Vernon tertawa pelan, nada suaranya lebih lembut kali ini. "Mungkin karena aku tidak suka memperlihatkan stresku pada orang lain. Hidup ini sudah cukup sulit tanpa harus membebani orang lain, kan?"
Jaemin merenungkan kata-kata itu, merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyum Vernon yang selalu ceria. "Tapi, bukankah itu melelahkan? Menyimpan semuanya sendiri?"
Vernon berhenti sejenak, menatap Jaemin dengan pandangan yang sedikit serius. "Terkadang, ya. Tapi aku percaya kalau aku bisa membuat orang lain merasa lebih ringan, itu sudah cukup untuk membuatku tetap berjalan."
Percakapan mereka terhenti ketika mereka mencapai lobi, di mana Jeno, Taehyung, Baekhyun, dan Hyunjin sudah menunggu. "Lama sekali kalian!" seru Hyunjin, memasang ekspresi pura-pura kesal.
"Maaf, maaf. Aku harus memastikan adik kecil kita ini terlihat layak untuk kampus," jawab Vernon sambil mengacak rambut Jaemin, membuat pemuda itu menggerutu pelan.
To Be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ay~~
KAMU SEDANG MEMBACA
F For Five || MobxJaemin
Fanfiction🔞🔞 "Lima? Kalian serius? Bagaimana mungkin kalian semua bisa menyukaiku bersamaan? Aku bahkan tidak memberikan alasan untuk kalian menyukaiku? Dan lagi bagaimana bisa kalian membiarkan orang yang kalian sukai bersama orang lain?" Jaemin tidak perc...