Kelompok Jaemin mulai membuka diskusi mereka. Karina, dengan laptop terbuka di depannya, memimpin percakapan seperti biasa, sementara Sunwoo dan Yuna mendengarkan dengan santai. Jaemin sendiri mencoba fokus pada pembagian tugas yang sedang dibahas, tetapi sesuatu mengganggu pikirannya.
Dari sudut matanya, Jaemin tahu Jeno, Vernon, dan Mark masih duduk di meja itu. Mereka terlihat santai, menikmati minuman mereka sambil sesekali bercakap-cakap dengan nada rendah. Tidak ada yang mengganggu atau menyela diskusinya, namun...
Jaemin merasakan tatapan Jeno lebih dulu—tidak mencolok, tetapi tajam seperti ujung pisau. Jeno menyandarkan tubuhnya dengan santai, satu tangan memegang gelas yang berembun, sementara tangannya yang lain menggantung di sandaran kursi. Matanya terpaku pada Jaemin, meskipun bibirnya sesekali tersenyum kecil, seolah mendengarkan percakapan dengan Vernon dan Mark.
Jaemin menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan ganjil itu. Namun, setiap kali ia mengangkat pandangan untuk berbicara dengan Karina atau Sunwoo, ia bisa merasakan mata Jeno mengawasi setiap gerakannya. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—campuran perhatian dan kepemilikan dalam tatapan itu, membuat Jaemin aneh sekaligus... nyaman?
Vernon, berbeda dengan Jeno, tidak terlalu jelas dalam mengarahkan tatapannya. Ia lebih memilih pendekatan yang halus. Ketika Karina berbicara panjang lebar tentang strategi tugas mereka, Vernon tampak santai, mengaduk kopi dengan gerakan lambat sambil sesekali mengarahkan pandangan lembut ke arah Jaemin.
Namun, ada intensitas di balik kelembutan itu. Setiap kali Sunwoo atau Karina tertawa kecil karena sesuatu yang dikatakan Jaemin, Vernon hanya tersenyum tipis, tetapi matanya tampak menilai—seolah memastikan apakah mereka layak menerima perhatian Jaemin.
Jaemin mencoba fokus pada diskusi kelompoknya, tetapi ia merasa sulit bernapas dengan nyaman. Ia tahu tidak ada yang aneh secara langsung, tetapi suasana di meja itu terasa terlalu padat. Kata-kata Karina mulai terdengar seperti gema di latar belakang, tergantikan oleh detak jantungnya sendiri.
Sesekali, Mark tertawa kecil di antara percakapan para senior, tetapi Jeno dan Vernon tetap diam. Hanya mulut mereka yang berbicara—sedangkan matany mengawasi, menimbang, dan menuntut perhatian Jaemin, meskipun mereka tidak mengatakan sepatah kata pun.
Ketika Karina akhirnya menutup laptopnya dan mengakhiri diskusi, Jaemin merasa seperti baru saja lolos dari tekanan yang tidak kasat mata.
Saat kelompok Jaemin bersiap untuk pergi, Vernon mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Jadi, bagaimana diskusinya? Sudah selesai?"
Karina tersenyum dan mengangguk. "Ya, semuanya sudah dibagi. Semoga Jaemin tidak terlalu terbebani."
Jeno, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara, suaranya dalam dan tenang. "Tentu saja tidak. Kalau ada yang membuatnya merasa berat, dia bisa datang kepada kami. Kami selalu di sini untuk Jaemin."
Senyuman Jeno itu ramah, tetapi ada sesuatu yang membuat Karina kehilangan kata-kata. Bahkan Sunwoo, yang biasanya santai, hanya bisa mengangguk sebelum beranjak dari meja.
Saat kelompok Jaemin pergi dan meninggalkannya sendiri dengan para senior, suasana di meja sedikit berubah. Vernon, yang biasanya santai, tampak lebih aktif mengambil alih suasana. Ia menepuk tempat kosong di sampingnya sambil menatap Jaemin dengan senyum samar.
"Jaemin, kemarilah," ucap Vernon. Nadanya ramah, tapi ada sesuatu di balik suaranya yang tak dapat diabaikan.
Jaemin ragu sejenak. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Vernon sudah meraih pinggangnya dengan satu gerakan halus namun tegas, menariknya untuk duduk lebih dekat. Sentuhan itu lembut, hampir tidak terasa, tapi cukup untuk membuat Jaemin tertegun. Ada sensasi seperti sengatan listrik yang menjalari tubuhnya.
"Kenapa kau tegang seperti itu?" Vernon bertanya sambil tertawa kecil, membiarkan tangannya terhenti di pinggang Jaemin sejenak sebelum menariknya kembali ke sisi tubuhnya.
Jaemin mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak tidak teratur. Ia melirik ke arah Jeno, yang duduk di seberang meja.
Jeno hanya menatap. Tidak ada senyuman di wajahnya, tidak juga kata-kata. Namun, matanya berkata banyak—mereka mengamati setiap gerakan Vernon, setiap reaksi Jaemin, dan setiap detail kecil di antara keduanya. Tatapan itu dingin, menusuk, dan membuat Jaemin merasa seperti ia sedang disalahkan atas sesuatu yang tidak ia pahami.
"Kelompokmu tampaknya cukup kooperatif," Vernon melanjutkan, memecah keheningan. Tangannya mengambil gelas kopi, tapi matanya tetap pada Jaemin. "Tapi kau tahu, kau bisa meminta aku atau Jeno untuk membantu tugasmu. Tidak perlu sungkan, bukan begitu, Jeno?"
Jeno mengangkat alis, mengambil waktu beberapa detik sebelum menjawab. "Tentu." Satu kata itu terdengar datar, tapi ada kekuatan di baliknya, seolah-olah ia memperingatkan Vernon untuk berhati-hati.
Jaemin mencoba tersenyum, meskipun suasana di meja terasa semakin menekan. "Aku rasa kelompokku cukup baik. Kami baru saja memulai, jadi belum ada masalah."
"Baguslah," jawab Vernon, suaranya tenang tapi sedikit lebih rendah. "Tapi, kau harus hati-hati, Jaemin. Tidak semua orang sebaik yang terlihat."
Kalimat itu membuat Jaemin mengerutkan kening. Ia tidak yakin apakah Vernon sedang berbicara tentang teman sekelompoknya, atau mungkin sesuatu yang lain.
Vernon mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, jarak antara mereka hampir tidak ada. "Apa kau sadar saat ini sudah menjadi orang paling populer di kampus karena berteman dengan kami?"
Jaemin berkedip beberapa kali, ekspresinya bingung sekaligus tidak percaya dengan pernyataan Vernon. Ia menoleh sedikit, mencoba memahami apakah Vernon sedang bercanda atau serius. Namun, tatapan Vernon tetap intens, membuat Jaemin semakin gelisah.
"Populer?" gumam Jaemin pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. "Aku?"
Vernon tertawa kecil, sebuah tawa rendah yang terdengar penuh arti. "Kau bahkan tidak sadar? Setiap kali kau berjalan bersama kami, orang-orang di sekitarmu tidak pernah berhenti membicarakanmu."
Jaemin memiringkan kepalanya, ekspresi polosnya semakin terlihat. "Tapi... kenapa? Bukankah mereka harusnya memperhatikan kalian? Kenapa aku?"
Jeno, yang sejak tadi diam dengan tatapan tak terbaca, tiba-tiba bersuara, suaranya terdengar sedikit tajam meski masih tenang. "Mereka memperhatikan kami, tapi kau—kau menjadi pusat perhatian karena sesuatu yang lain."
Jaemin mengerutkan kening, semakin bingung. "Sesuatu yang lain? Apa maksudnya?"
Mark yang duduk di ujung meja menyikut lengan Vernon dengan santai. "Lihat? Aku bilang kan, Jaemin benar-benar clueless. Dia tidak sadar betapa menariknya dia di mata orang lain."
Vernon tersenyum, menambahkan dengan nada menggoda, "Haaah, Jaemin-ah. Kau seperti ini makin membuatmu begitu imur, begitu spesial. Aku terasa ingin menggigitmu."
Jaemin menggaruk tengkuknya, merasa aneh mendengar penilaian seperti itu. "Aku tidak merasa ada yang istimewa. Lagipula, aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan."
Vernon menepuk bahu Jaemin dengan lembut, senyumnya semakin lebar. "Dan justru itu yang membuatmu menarik."
Jeno, yang memperhatikan interaksi mereka, meletakkan gelasnya dengan sedikit lebih keras dari yang diperlukan. Suaranya rendah tapi tegas saat ia menyela. "Hati-hati, Vernon. Jangan terlalu membuatnya berpikir banyak. Kau juga Jaemin, tidak perlu mempedulikan mereka. Fokus saja pada dirimu sendiri."
Jaemin, yang tidak menyadari nada di balik kata-kata Jeno, hanya mengangguk kecil.
To Be Continued..
Jangan Lupa Like and Comment nya ya~~
KAMU SEDANG MEMBACA
F For Five || MobxJaemin
Fanfiction🔞🔞 "Lima? Kalian serius? Bagaimana mungkin kalian semua bisa menyukaiku bersamaan? Aku bahkan tidak memberikan alasan untuk kalian menyukaiku? Dan lagi bagaimana bisa kalian membiarkan orang yang kalian sukai bersama orang lain?" Jaemin tidak perc...